RONALD tidak menyangka jika dia akan bertemu dengan Clara di sini, karena selama ini dia sama sekali tidak percaya yang namanya kebetulan. Jika hidup bisa berjalan semudah itu, dia tidak akan pernah kelabakan mencari keberadaan Clara selama berbulan-bulan.
Ronald sudah memastikan jika perempuan yang tadi dilihatnya memanglah Clara melalui data yang ada di perusahaan ini. Nama itu benar-benar tercatat di sana, dengan foto serta nomor ponsel dan alamat tempat tinggalnya.
Ronald jadi merasa seperti sedang dipermainkan sejak awal oleh kakaknya. Kevan pasti mengetahui masalah ini, oleh sebab itu dia mau membantu pamannya untuk membujuk Ronald dengan embel-embel sebuah informasi berharga beberapa bulan sebelumnya.
Kevan pasti sengaja tidak mau memberitahunya, karena dia ingin tahu bagaimana reaksi Ronald selanjutnya. Pria sialan itu ... entah hadiah apa yang akan Ronald berikan padanya di hari pernikahannya tahun depan nanti sebagai balasan perbuatan menyebalkannya ini.
Ronald menghubungi kakaknya. Tanpa basa-basi, dia langsung memuntahkan amarahnya seperti biasa. "Sialan, ya, lo!"
Ada jeda cukup lama sebelum ia bisa mendengar respon dari seberang sana. "Lo kenapa coba? Datang-datang langsung maki orang? Padahal lo baru aja ngasih kabar setelah balik ke sini, kan?"
"Halah, nggak usah banyak alasan lagi lo! Lo pasti sengaja nyembunyiin semuanya dari gue, kan?!" serangnya langsung.
"Bentar ... bentar ... gue sengaja ngapain? Perasaan gue nggak pernah ngapa-ngapain lo akhir-akhir ini?" Kevan bertanya dengan nada tidak mengerti.
"Halah, lo pssti sengaja bantuin Om Andrew biar gue kerja di sini, karena lo tahu pasti dia ada di sini. Iya, kan? Ngaku aja lo, nggak usah banyak bacot lagi!" Ronald mendengkus keras. Dia benar-benar kesal dengan perbuatan kakaknya yang sama sekali tidak menyenangkan itu.
"Oh, karena itu ...," Kevan mendengkus pelan, "udah hampir sebulan dan lo baru sadar sekarang? Dasar lemot! Lo pikir, ngapain gue bantuin tua bangka itu sukses kalau nggak ada maksud lain, hah?!" Dia malah memaki balik adiknya yang membuat Ronald jadi jengkel setengah mati.
"Kalau gitu, apa susahnya lo ngasih tahu gue semuanya sejak awal, hah?!" bentaknya emosi.
"Buat apa? Kalaupun lo tahu dia ada di sana, lo berharap kalian ketemu dan lo bakal langsung ngajak dia balikan, gitu? Otak dipake! Dia mana mau langsung balikan sama lo setelah apa yang lo perbuat ke dia, berengsek!" umpat Kevan yang sama sekali tidak ngaca dengan perbuatannya sendiri.
"Seenggaknya, kalau gue tahu sejak awal, gue bisa bikin persiapan buat dapatin perhatiannya, sialan!" maki Ronald balik, masih tidak terima dengan perbuatan kakaknya.
"Terserah apa kata lo! Itu urusan lo sama dia, gue cukup bantu lo sampai ketemu lagi sama dia. Sisanya, selesaiin sendiri masalah kalian berdua! Jangan jadi bocah yang apa-apa minta bantuan kakaknya buat nyelesaiin masalah!"
"Emang sejak kapan gue butuh bantuan lo buat nyelesaiin gue sama dia, hah?!" umpatnya tidak terima.
"Susah ngomong sama cowok PMS kayak lo! Babay adikku tercintaaahhh, selamat menempuh hari penuh darah dan air mata untuk orang tercinta! Ingatlah selalu, gue selalu sayang sama lo, muach!"
"JIJIK BANGET GUE SAMA LO, SIALAN!"
Telepon terputus begitu saja dengan kedongkolan Ronald berada di ujung batas. Dia mengepalkan tangan kanannya dan menggebrak meja dengan keras, suaranya pasti sampai ke luar, karena dua ketukan yang awalnya sedang terdengar di pintu masuk ruangannya tiba-tiba saja berhenti berbunyi begitu saja.
"Masuk!" perintahnya.
Anya sang sekretaris yang tadi mengetuk pintu dan harus melangkah masuk untuk berhadapan dengan bosnya merasa jika kakinya langsung gemetaran. Terutama tatapan tajam dan nada suaranya yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya.
Perempuan muda itu menelan ludahnya susah payah. Dia sudah berharap bakal dipecat dengan pesangon cukup untuk bertahan setidaknya selama sebulan, sebelum dia mendapat pekerjaan baru. Namun, dia yakin tidak akan mendapatkan harapannya semudah itu.
"E-err ... saya membawa beberapa dokumen yang harus Bapak periksa dan tanda tangani segera. Selain itu, saya mau mengingatkan jika pukul tiga sore nanti Bapak punya jadwal temu dengan pemilik PT. Angkasa."
Dia masih mencoba melakukan tugasnya dengan baik, walau tampang bosnya saat ini sama sekali tidak sedap untuk dipandang. Jika beberapa orang suka punya atasan tampan dan rupawan yang enak dipandang, dia lebih suka punya atasan biasa saja asal tatapan mata dan suaranya tidak bisa bikin jantungnya melompat tidak keruan atau isi kepalanya yang keluar berantakan.
Ronald memang tampan, mukanya juga sedap dipandang. Namun, ada saat-saat tertentu isi perintahnya bisa bikin jantungan dan isi kepalanya keluar berserakan.
"Saya masih mengingat jadwalnya dengan baik. Kamu letakkan saja dokumennya di atas meja, nanti akan saya periksa. Lalu, satu lagi! Jangan ganggu saya hari ini kalau kamu masih sayang nyawa sendiri!"
Dia mengerti. Lagi pula, kalau dia tidak sayang gaji, Anya pasti sudah mengenyahkan dirinya sejak lama dari hadapan monster berwujud tampan di depan matanya ini!
"Baik, Pak!"
***
Niat awal pulang dan tidur cepat hilang begitu ingat besok hari minggu dan Alea mengajak mereka pergi ke kelab malam setelah lama tidak hung out bersama.
Stevy sudah berniat menolak, karena Clara benar-benar butuh istirahat. Namun, Clara mengatakan jika dia baik-baik saja. Toh, dia bisa tidur lelap seharian besok tanpa ada seorang pun yang akan mengusik ketenangannya. Stevy pun pasrah dan menerima keputusan Clara yang berniat mengiyakan ajakan Alea.
Sedangkan Clara ingin sekalian menanyakan soal direktur baru yang sedang menjadi perbincangan hangat di kantor mereka. Alea pasti punya banyak informasi tentangnya. Terutama jika rumor yang beredar memang seperti itu, Alea pasti sudah melakukan gerak pertama untuk menggaetnya lebih dulu.
"Penasaran banget kayaknya lo sama dia? Awas nyesel lo waktu ngelihat dia!" kata Stevy sesaat sebelum mereka berangkat menuju tujuan.
Clara tertawa terbahak-bahak. "Emang apa yang bisa bikin gue nyesel ngelihat dia coba?"
Stevy mengedikkan bahu sembari memasuki mobil bagian kemudi. "Siapa yang tahu, kan?"
Clara hanya geleng kepala sembari menyusul di kursi seberangnya. "Lagian gue cuma mau lihat fotonya doang, kok. Kali aja gue nggak sengaja papasan sama dia, jadi gue bisa nyapa gitu biar sopan?"
"Yakin, cuma mau nyapa buat sopan santun aja? Bukan buat digaet terus dijadiin laki, ya?" Stevy tertawa terbahak-bahak saat Clara mendelik ke arahnya.
"Lo kan tahu, gue nggak mau nikah. Apa mungkin elo yang naksir sama dia lagi? Mau gue bilangin Tante Silva, nggak? Kali aja dia mau jodohin lo sama si Bos, kan?" tawar Clara balik.
Stevy mendelik dengan ekspresi ngeri. "Amit-amit! Cowok kayak dia gitu bukan tipe gue banget! Dia masih kurang jantan menurut gue!"
Clara meringis, tipe cowok idaman Stevy memang laki-laki berotot serta berbadan kekar. Dia tidak begitu mementingkan rupa wajah, tapi fisik tubuhnya benar-benar sangat dia perhatikan.
"Siapa yang tahu dia jantan atau enggak, kalau lo belum cobain dulu, Stev?" jawabnya dengan muka tanpa dosa yang langsung ditimpuk Stevy menggunakan sekotak tisu yang masih tersisa seperempat. Clara meringis pelan.
"Lo ngomong kayak gitu sampai kedengeran mama gue? Yakin deh lo bakal dijodohin secepatnya! Serius!" Stevy tergelak, Clara pun ikut tergelak dengannya.
Stevy menyalakan mobil dan melajukannya menuju kelab malam. Alea sudah menunggu di dalam. Mereka hanya perlu masuk dan bergabung dengan teman kantor beda divisi mereka satu itu.
Alea terlihat sedang bersama seorang pria saat mereka mendekat. Dengan fisik sempurna dan sosok yang mudah akrab dengan banyak orang, Alea jelas mudah didekati oleh siapa saja. Mereka tidak lagi kaget, bahkan mereka sudah terbiasa melihat Alea berciuman dengan siapa saja pria yang baru bertemu dengannya.
"Hai!" sapa Alea lalu melambaikan tangan pada pria yang sejak tadi menemaninya. "Kirain bakal batal datang lo berdua!"
"Clara ada perlu sama lo." Stevy mengangkat bahunya santai. "Kayaknya dia masih penasaran banget sama si Bos! Kasih tahu, gih! Biar malam ini dia bisa tidur nyenyak dan mimpi indah!"
Clara menyiku pelan perut sahabatnya. "Sialan lo! Mentang-mentang hampir setiap malam gue mimpi buruk, bukan berarti gue mau lihat muka si Bos buat dimimpiin juga kali!"
"Lah, iya juga nggak apa-apa kali? Iya nggak, Le?" Stevy mengedipkan sebelah matanya menggoda.
Alea hanya tertawa pelan. "Nggak apa-apa, lah! Lagian, anak-anak lain pasti pernah mimpiin dia sekali atau dua kali saking terpesonanya sama ketampanannya, kok."
Clara meringis. "Emang dia beneran seganteng itu apa?"
"Lo beneran belum pernah ngelihat dia emangnya?" Alea balik bertanya.
"Emang dia suka mondar-mandir, ya? Sampai harus gitu semua orang pernah ngelihat mukanya?" Clara mengernyitkan dahi heran.
Alea tersenyum miring. "Kadang dia emang suka mondar-mandir kayak nggak ada kerjaan, sih. Tapi maksud gue bukan itu, tahu kan si Anya kapan hari pernah share nomor pribadinya ke grup kantor? Nah, waktu itu dia pakai foto asli dia."
"Nah, sekarang dia masih pakai fotonya, nggak?" tanya Clara langsung tanpa basa-basi lagi.
"Bentar, kita cari tempat duduk dulu. Ntar gue lihatin, deh! Kasihan banget cuma elo yang belum pernah ngelihat mukanya. Iya, nggak, Stev?" Alea mengedik ke arah Stevy yang mengangguk setuju.
"Emang ngenes banget nasib dia. Ada bibit unggul, tapi nggak jodohnya!"
Clara tak menggubris, dia mencari tempat kosong dan menunjuk sebuah ujung. Alea mengangguk setuju dan mereka pergi ke sana. Setelah duduk, Alea langsung mengeluarkan ponselnya.
Dia mencari kontak si Bos, tapi ternyata foto profilnya sekarang sudah berubah. Alea berdecak. "Perasaan kemarin masih pake foto asli deh, kenapa sekarang udah ganti jadi foto monyet lagi ngakak begini, ya?"
Ucapan Alea langsung membuat Stevy dan Clara tertawa. "Ebuset, Pak Bos serius pakai gambar monyet lagi ngakak?" Stevy bertanya sambil melongokkan kepala untuk melihat isi ponsel Alea.
"Seriusan, ih! Lihat aja, nih!"
Clara ikut melirik dan dia benar-benar tertawa melihatnya. "Humoris banget ya, dia?"
Stevy dan Alea langsung geleng kepala tak lupa tangannya yang bergerak ke kanan dan ke kiri dengan cepat. "Kalau dia humoris, si Anya nggak mungkin sampai nekat kayak gitu," sangkal Stevy.
"Nggak-nggak, dia orangnya serius banget. Kayak kulkas berjalan yang dibuat khusus di Kutub Utara, tahu!" Alea mengatakannya sambil mengirimkan sebuah chat ke Pak Bos.
Sebelumnya, dia memang pernah pedekate dengan bos barunya. Sayangnya, tidak banyak reaksi yang dia dapatkan. Alhasil, dia merasa seperti usahanya kayak sia-sia saja dan dia pun menyerah. Walaupun begitu, Pak Bos masih cukup baik padanya.
"Lah, gue kirain orangnya humoris." Clara mengedikkan bahunya tak peduli. "Terus, gue nggak jadi bisa lihat gimana wajahnya, nih?" Dia mengangkat sebelah alisnya ke arah Alea yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Sebentar, gue lagi chat dia. Mumpung dia online, jadi sekalian aja gue tanyain fotonya, kan?" Alea menjawabnya tanpa dosa.
"Emang dia ngebales chat elo, Le? Gue pikir dia nggak mau balas chat siapa-siapa selama ini?" Stevy bertanya heran.
"Karena gue pengecualian. Gue udah punya kontaknya sebelum disebar sama si Anya. Udah beberapa kali chatan juga sama dia," katanya bangga, lalu berdeham pelan.
"Bener kan tebakan gue, dia beneran udah pedekate sama dia!" Stevy tertawa bangga, Clara hanya geleng kepala. Hal seperti itu memangnya bisa dibanggakan? "Terus gimana hasilnya? Kepancing, nggak?"
"Zonk! Dia kayak nggak doyan cewek, padahal muka-mukanya tipe buaya gitu, tapi ternyata ...." Alea mengangkat bahu. "Buaya insyaf."
"Berarti lo udah telat, ya?" Clara tersenyum tipis.
"Telat, tapi ya udah sih. Kayak cowok ganteng cuma dia aja di dunia ini. Eh, dia udah bales, dong!" Alea menunjukkan ponselnya di mana si Bos membalas isi pesannya.
Pak Bos Ronald : "Lihat aja di IG rnldclr."
Clara langsung mengeluarkan ponselnya sendiri dari tas yang ia bawa, lalu mencari nama IG dari bos baru mereka. Tampilan sosok laki-laki tampan yang berfoto dengan banyak pose membuat Clara terdiam selama beberapa detik.
Dia merasa seperti tidak asing saat melihat foto di layar ponselnya. Seperti ... dia sudah pernah melihatnya entah di mana.
Clara memejamkan mata, mengingat-ingat pertemuan anehnya dengan seorang pria di lorong sepi saat jam makan siang tadi. Benar, mereka mirip. Jadi, ternyata dia sudah pernah bertemu dengan bos baru mereka sebelumnya?
"Gimana, Ra? Ganteng, kan?" kata Alea dengan nada bangga yang tidak pada tempatnya.
"Eh, Le, gue masa baru tahu kalau nama dia Ronald?" Pertanyaan Stevy sontak membuat Clara membeku di atas tempat duduknya. Sepertinya Stevy menyadari perubahan gerak-gerik Clara sekarang. "Namanya mirip sama si Donald Duck, tapi masa iya, sih, beneran dia, Ra?"
Clara menyangkal dengan cepat, "Ya kali, nama Ronald kan emang pasaran, Stev!"
Kemudian dia terdiam selama beberapa saat, menggali memori terdalamnya tentang sosok Ronald yang pernah berada dalam masa lalunya, lalu dia membandingkan wajahnya dengan Ronald yang kini ada di layar ponselnya sambil menyusuri halaman profilnya sampai bawah.
Perempuan itu tersentak saat melihat apa yang ada di bagian bawah halaman profil bos barunya. Wajahnya berubah dengan cepat menjadi tegang dan tampak pucat. Clara menelan ludahnya susah payah.
Foto itu ... dia jelas mengingatnya dengan sangat baik, karena dialah orang yang mengambil foto itu beberapa tahun lalu atas permintaan laki-laki itu.
Dan foto-foto lain di bawahnya ... salah satunya ada foto dia saat masih berseragam sekolah.
"Mustahil," gumamnya terlalu pelan yang tertelan oleh suara keras musik dansa yang mulai bersahutan, "nggak mungkin dia ...."
Tidak. Bukan tidak mungkin, tapi itu memang dia. Mantan kekasih berengseknya.