Devan menghela napas panjang, lalu menatap adiknya dengan serius. "El, aku ada permintaan padamu," katanya dengan nada tegas.
Elmira mengernyit bingung. "Apa itu, Kak?" tanyanya penasaran.
Devan menatapnya dalam. "Aku ingin kamu jangan bilang ke Evelyn kalau aku kakakmu."
Elmira terbelalak. "Hah? Kenapa?!" tanyanya kaget.
Devan mengusap wajahnya, mencoba menjelaskan. "Evelyn masih dalam kondisi emosional yang tidak stabil. Aku nggak mau dia makin terikat secara emosional hanya karena tahu aku ini kakaknya sahabatnya. Aku ingin dia menjalani proses ini tanpa pengaruh tambahan. Aku juga butuh ruang buat memahami situasinya lebih baik."
Elmira menggigit bibirnya, berpikir sejenak. "Tapi Kak, nanti kalau dia tahu sendiri dari orang lain? Atau kalau aku keceplosan?"
Devan menatapnya dengan serius. "Aku akan hadapi kalau saatnya tiba. Tapi untuk sekarang, aku ingin semuanya tetap seperti ini. Tolong, El."
Elmira menghela napas. Ia masih ragu, tapi melihat keseriusan kakaknya, akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, Kak. Aku nggak akan bilang ke Evelyn. Tapi kalau nanti dia tahu sendiri, Kakak harus siap, ya?"
Devan tersenyum tipis. "Aku tahu, El. Terima kasih."
Elmira masih merasa ada yang aneh dengan semua ini, tapi ia memilih untuk menurut. Evelyn sudah cukup terguncang, dan ia tak ingin memperburuk keadaan sahabatnya.
Devan menghela napas panjang, merasa lelah dengan semua yang terjadi hari ini. Ia menatap Elmira yang masih tampak berpikir, mungkin masih terkejut dengan fakta bahwa Evelyn melamarnya.
"El, aku ke kamar dulu, ya," kata Devan sambil bangkit dari kursinya.
Elmira menoleh dan mengangguk. "Iya, Kak. Istirahat aja dulu."
Devan hanya tersenyum tipis sebelum melangkah menuju kamarnya. Elmira memperhatikannya sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan mengalihkan pandangannya ke meja makan. Banyak hal yang harus ia cerna hari ini, terutama tentang Evelyn dan kakaknya.
Sementara itu, Devan masuk ke kamarnya, menutup pintu, dan duduk di tepi ranjang. Ia mengusap wajahnya, mencoba mencerna kembali kejadian sore tadi. "Apa yang telah aku setujui…?" gumamnya pada diri sendiri.
Ia tahu Evelyn masih terguncang, dan ia tak bisa begitu saja menolak permintaan gadis itu tanpa membuatnya semakin hancur. Tapi di sisi lain, Devan juga sadar bahwa menerima lamaran Evelyn bukanlah keputusan yang bisa dianggap remeh.
Dengan perasaan campur aduk, Devan akhirnya merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamarnya. Malam ini, ia merasa pikirannya lebih penuh daripada biasanya.
Beberapa saat kemudian Devan kembali duduk di tepi ranjang, mengambil ponselnya sari saku celana. Ia membuka layar, memeriksa apakah ada panggilan atau pesan masuk. Kosong.
Ia menghela napas, "Aku kira dia akan segera menghubungiku. Ternyata aku salah," gumamnya pelan.
Ia menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum meletakkannya kembali. "Ah, lagian kenapa aku seperti berharap pada pasien sendiri? Ingat, Dev, Evelyn hanya pasienmu. Jangan baper."
Devan mengusap wajahnya, mencoba menyingkirkan pikirannya yang mulai melenceng. Ia tahu Evelyn sedang dalam kondisi emosional yang tidak stabil. Keputusannya tadi untuk menerima ‘lamaran’ Evelyn pun bukan hal yang bisa dianggap enteng.
Ia menggelengkan kepalanya, lalu merebahkan diri di kasur. "Fokus, Dev. Ini hanya bagian dari tugasmu sebagai dokter. Jangan sampai perasaan ikut campur."
Namun, jauh di dalam pikirannya, ia tak bisa menepis rasa penasaran—apakah Evelyn benar-benar serius dengan ucapannya tadi? Atau ini hanya luapan emosinya sesaat?
Keesokan harinya, di rumah Evelyn. Hari ini seharusnya menjadi hari pernikahan Evelyn. Namun, tak ada dekorasi, tak ada gaun pengantin, dan tak ada Billy. Evelyn sudah tahu pernikahannya gagal, dan pagi ini ia tetap menjalani harinya seperti biasa.
Ratna dan Fandi masih mengawasinya dengan cermat, khawatir jika sewaktu-waktu Evelyn kembali terpuruk. Namun, yang mereka lihat justru Evelyn yang tampak baik-baik saja. Terlalu baik malah, seperti seseorang yang tidak mengalami luka sedikit pun.
Tiba-tiba, bel rumah berbunyi. Seorang gadis muda dengan rambut panjang yang diikat rapi berdiri di depan pintu. Dia adalah Naura, adik sepupu Evelyn, hanya terpaut satu tahun lebih muda darinya.
Ratna membukakan pintu dan tersenyum. “Naura, masuk, Nak.”
Naura melangkah masuk dan langsung mencari sosok sepupunya. “Kak Eve mana, Tante?”
“Di ruang tamu,” jawab Ratna, sambil mengarahkan Naura ke sana.
Saat tiba di ruang tamu, Naura melihat Evelyn duduk santai di sofa, mengenakan pakaian kasual. Wajahnya segar, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda habis mengalami patah hati.
Naura mendekati Evelyn dan duduk di sampingnya. “Kak, aku kesini karena khawatir. Aku dengar dari Mama kalau pernikahan Kakak batal.”
Evelyn menoleh dan tersenyum. “Iya, betul, Naura.”
Naura menatap Evelyn lekat-lekat, mencari tanda-tanda kepedihan di matanya. “Kakak nggak apa-apa?”
Evelyn menghela napas pendek, lalu tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Aku sudah menerima semuanya. Billy memang nggak mencintaiku lagi, jadi buat apa aku memaksakan pernikahan?”
Naura terdiam sejenak, tidak menyangka Evelyn bisa setenang ini. “Serius, Kak?” tanyanya ragu.
Evelyn mengangguk. “Serius. Aku malah merasa lega. Aku nggak mau hidup dengan seseorang yang hatinya nggak untukku.
Naura menatap Evelyn dengan ekspresi bingung. Rasanya aneh melihat kakaknya begitu santai setelah pernikahan yang seharusnya terjadi hari ini dibatalkan. Namun, ia juga tidak ingin mengungkit luka lama jika Evelyn memang sudah ikhlas.
“Kalau Kakak memang sudah siap move on, aku ikut senang,” kata Naura akhirnya.
Evelyn tersenyum dan meraih tangan sepupunya. “Aku sudah punya calon suami baru.”
Mata Naura membesar. “Hah?! Cepat banget!”
Evelyn terkekeh. “Aku melamar dia kemarin.”
Naura semakin terkejut. “Astaga, Kak Eve! Siapa? Kok bisa secepat itu?”
Evelyn tersenyum penuh arti. “Seorang dokter muda yang tampan dan baik hati.”
Naura makin kebingungan. Ia datang ke rumah ini untuk menghibur Evelyn yang patah hati, tapi justru menemukan Evelyn yang lebih ceria daripada sebelumnya—dan bahkan sudah punya calon suami baru!
Naura masih tercengang dengan pengakuan Evelyn. “dia beneran jadi calon suami baru? Kakak serius?” tanyanya memastikan.
Evelyn mengangguk dengan senyum lebar. “Iya, Naura. Namanya Dokter Devan. Dia psikiater yang membantu aku pulih dari patah hati ini.”
Naura mengerutkan kening. “Dokter psikiater? Kakak serius melamar dokter yang baru Kakak kenal?”
Evelyn mengangguk lagi. “Kenapa enggak? Dia orang baik, Naura. Aku cuma butuh laki-laki baik untuk jadi suamiku.”
Naura masih tak habis pikir. “Tapi, Kak… Dia beneran masih single? Maksudku, dia kan dokter, pasti banyak yang suka sama dia.”
Evelyn tersenyum penuh percaya diri. “Iya, dia bilang masih single. Dia bahkan bilang nggak sedang menjalin hubungan dengan siapa pun.”
Naura masih ragu. “Dan Kakak yakin dia nggak nolak Kakak cuma karena kasihan?”
Evelyn terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku nggak peduli alasannya. Yang penting, dia setuju.”
Naura menghela nafas panjang. “Kakak ini nekat banget…”
Evelyn hanya tersenyum senang. Baginya, keputusan ini sudah bulat. Dokter Devan adalah calon suami yang jauh lebih baik daripada Billy.
Evelyn menatap Naura dengan penuh keyakinan. “Kalau kamu nggak percaya, nanti aku kenalin langsung sama Dokter Devan,” katanya dengan nada santai.
Naura mengangkat alisnya, masih setengah ragu. “Serius, Kak? Kakak nggak main-main?”
Evelyn tersenyum penuh percaya diri. “Tentu saja serius! Aku bahkan sudah memanggilnya ‘calon suami’. Jadi, nggak lama lagi kamu bakal lihat sendiri.”
Naura menghela napas sambil menggelengkan kepala. “Aku nggak tahu ini nekat atau luar biasa, tapi aku penasaran sih. Aku tunggu perkenalannya, Kak.”
Evelyn tertawa kecil. “Tunggu aja! Kamu pasti bakal setuju kalau dia memang calon suami yang jauh lebih baik dari Billy.”
Naura hanya bisa menatap Evelyn dengan bingung. Ia tak tahu harus kagum atau khawatir dengan kepercayaan diri kakak sepupunya itu.
Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian Evelyn dan Naura. Evelyn segera berdiri dan berjalan menuju pintu dengan santai. Namun, begitu pintu terbuka, senyumnya langsung memudar.