Pengakuan Mengejutkan

1163 Kata
Sesampainya di rumah, dokter Devan melangkah masuk dengan langkah yang sedikit lelah. Ia baru saja menghabiskan waktu yang panjang bersama Evelyn dan Fandi di kafe, dan sekarang ingin beristirahat sejenak di rumah. Begitu membuka pintu, ia disambut oleh adiknya, Elmira, yang sedang duduk di ruang tamu dengan sebuah buku di tangannya. "Selamat datang, Kak!" Elmira menyapa dengan ceria, menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut kedatangan kakaknya. Devan mengangguk sambil melepas jaketnya, tampak sedikit kelelahan. "Hmm, baru pulang dari sebuah pertemuan yang... menarik." jawabnya sambil tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kelelahan yang masih terasa. Elmira mengamati kakaknya dengan penasaran. "Pertemuan dengan pasien, ya? sepertinya ada yang berbeda." Devan menghela napas, kemudian duduk di kursi dekat meja makan. "Iya, dengan seorang pasien yang agak... unik." katanya sambil tersenyum ragu. Elmira duduk di sebelahnya, mengangkat alis. "Aneh bagaimana?" Devan merenung sejenak sebelum menjawab, "Ada seorang pasien yang tampaknya merasa sangat putus asa, jadi ia... langsung mengajukan lamaran padaku. Memintaku agar mau jadi calon suaminya." Elmira terkejut, hampir tak percaya. "Apa? Kakak serius?" Devan mengangguk sambil tersenyum. "Iya, dan dia bukan hanya meminta saran. Dia benar-benar melamarku." Elmira tertawa kecil. "Wah, Kak, kakak akan jadi terkenal di kalangan pasien!" katanya setengah bercanda. Devan menggelengkan kepala, sedikit canggung. "Aku tahu itu mungkin lucu, tapi ini bukan hal yang bisa dianggap enteng. Aku hanya bisa berharap dia bisa segera menyadari bahwa perasaannya perlu waktu untuk disembuhkan." Elmira diam sejenak, menatap kakaknya dengan serius. "Kak, apa kamu sudah benar-benar siap untuk mengambil langkah seperti itu?" Devan menatap ke depan, tampak memikirkan jawabannya. "Aku akan bantu dia, tapi aku tahu ini lebih dari sekedar masalah perasaan. Ada banyak hal yang perlu diselesaikan terlebih dahulu." Elmira mengangguk, mengerti bahwa kakaknya selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan besar. "Semoga kakak bisa membantu dia dengan cara yang terbaik, Kak." Devan tersenyum tipis, lalu menjawab, "Terima kasih, El. Aku akan berusaha." Dan untuk sementara, suasana kembali tenang di rumah itu, meski Devan tahu, ada banyak hal yang harus dipikirkan dan dihadapi dalam waktu dekat. Malam itu, di rumah Evelyn Suasana ruang makan terasa lebih hangat dari biasanya. Evelyn duduk di antara kedua orang tuanya, Fandi dan Ratna, menikmati makan malam bersama. Tak seperti biasanya, malam ini wajah Evelyn begitu ceria. Senyumnya tak henti-henti menghiasi wajahnya, seolah semua luka dan kesedihan yang sempat membebaninya telah lenyap. "Wah, makanannya enak sekali malam ini!" ujar Evelyn dengan semangat, menyendok sup ayam kesukaannya. Fandi, yang duduk di seberangnya, menatap putrinya dengan perasaan campur aduk. Ia senang melihat Evelyn bahagia, tapi di saat yang sama ia juga merasa miris. Ia tahu bahwa kebahagiaan yang Evelyn tunjukkan saat ini bukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Sikapnya yang begitu agresif terhadap dokter Devan—psikiater yang seharusnya membantunya—membuat Fandi khawatir. Namun, ia tak berani menegur Evelyn secara langsung. Ia takut menyinggung perasaannya, takut jika perkataannya justru membuat kondisi emosional Evelyn kembali memburuk. Di sisi lain, Ratna juga menyimpan kebingungan yang sama. Ia sudah mendengar dari Fandi bahwa Evelyn secara tiba-tiba melamar dokter Devan. Itu hal yang sangat mengejutkan. Namun, sebagai seorang ibu, Ratna juga melihat sisi lain dari situasi ini—untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Evelyn tampak bahagia. Ia tampak seperti Evelyn yang dulu, sebelum mengenal Billy. "Eve kelihatan senang sekali malam ini. Apa karena dokter Devan?" tanya Ratna akhirnya, mencoba menggali perasaan putrinya. Evelyn mengangguk penuh semangat. "Iya, Bu! Aku benar-benar merasa lebih baik sekarang. Aku pikir, Bang Billy memang bukan yang terbaik untukku. Dokter Devan itu orang baik, penyabar, dan dia pasti bisa jadi suami yang lebih baik dari Billy!" ujarnya dengan penuh keyakinan. Fandi dan Ratna saling bertukar pandang. Keduanya sama-sama tak tahu harus bagaimana. Mereka ingin melihat Evelyn bahagia, tapi mereka juga tahu bahwa semua ini terlalu cepat dan tak masuk akal. "Yang penting Evelyn bahagia dan sehat," ujar Fandi akhirnya, memilih untuk tidak memperdebatkan hal itu malam ini. Evelyn tersenyum lebar. "Tentu, Ayah! Aku pasti bahagia!" katanya yakin. Malam itu, mereka bertiga melanjutkan makan malam dengan obrolan ringan. Fandi dan Ratna memilih untuk membiarkan waktu yang menjawab segalanya. Yang terpenting bagi mereka saat ini hanyalah satu—mereka ingin Evelyn kembali seperti dulu, sebelum Billy hadir dalam hidupnya. Sementara itu di tempat lain, di rumah Dokter Devan. Devan dan Elmira duduk berhadapan di meja makan. Tidak ada suara selain dentingan sendok dan garpu yang menyentuh piring. Makan malam mereka berlangsung dalam keheningan. Mereka hanya tinggal berdua. Kedua orang tua mereka tinggal di luar kota. Devan, yang biasanya menikmati waktu makannya dengan santai, kali ini merasa pikirannya dipenuhi oleh satu hal—Evelyn. Pasien patah hati yang secara tiba-tiba melamarnya tadi sore. Ia tahu Evelyn masih dalam kondisi emosional yang labil, tapi tak disangka ia harus menghadapi situasi serumit ini. Di sisi lain, Elmira juga tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia memikirkan Evelyn, temannya yang sedang dalam kondisi mental yang rapuh. Ia kasihan pada Evelyn dan takut kondisinya semakin memburuk. Setelah makan malam selesai, Elmira merasa ia harus membicarakan ini dengan kakaknya. "Kak, ada yang ingin aku bicarakan," ujar Elmira memberanikan diri. Devan mengusap mulutnya dengan tisu, lalu menatap adiknya. "Ya, apa, El?" tanyanya, bersiap mendengarkan. Elmira menarik napas dalam, lalu berkata, "Aku punya teman, Kak. Dia patah hati, terguncang jiwanya karena batal menikah. Aku harap Kakak bisa membantunya. Jadi dia itu tetap merasa pernikahannya akan tetap berlangsung. Aku khawatir sekali." Mendengar itu, Devan menautkan alisnya. Ada firasat bahwa orang yang dibicarakan Elmira adalah Evelyn. "Apa namanya Evelyn?" tanya Devan memastikan. Elmira terkejut. "Iya, kok Kakak tahu?" tanyanya heran. Devan memperjelas pertanyaannya. "Apa namanya Evelyn Affandy?" Elmira semakin kaget. Matanya melebar penuh rasa tak percaya. "Loh, Kakak tahu? Kok bisa?" Devan tersenyum tipis, lalu bersandar di kursinya. "Dia sudah jadi pasienku, El… dan dia yang melamarku. Itu yang tadi aku ceritakan." Elmira menganga tak percaya. "APA?!" serunya kaget. "Evelyn yang… MELAMAR KAKAK?! Devan mengangguk pelan, mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa pegal. "Iya, begitulah," jawabnya dengan nada lelah. Elmira masih terkejut. "Ya ampun… aku tahu dia sedang patah hati, tapi aku nggak nyangka dia sampai sejauh ini. Kakak gimana?" Devan menghela napas panjang. "Aku menerima lamarannya sementara. Kalau aku menolak, aku takut dia makin terpuruk dan mengejar Billy lagi. Tapi aku juga nggak tahu harus bagaimana selanjutnya." Elmira menatap kakaknya dengan tatapan prihatin. "Kak… ini rumit. Evelyn temanku, tapi aku juga nggak mau Kakak terseret dalam masalah yang berat. Evelyn memang baik, tapi dia belum sepenuhnya sadar dengan apa yang dia lakukan." Devan mengangguk setuju. "Aku tahu. Aku akan coba hadapi ini dengan sabar. Semoga saja Evelyn bisa pelan-pelan sadar dan menerima kenyataan." Elmira masih sulit mencerna semuanya. Kakaknya yang seorang dokter psikolog, kini menjadi tunangan ‘dadakan’ dari sahabatnya sendiri yang baru saja patah hati. Ia hanya bisa berharap semuanya akan berakhir dengan baik. Elmira masih menatap Devan dengan ekspresi terkejut setelah mendengar cerita kakaknya. Ia masih sulit percaya bahwa Evelyn, sahabatnya, benar-benar melamar Devan secara spontan. Devan menghela napas panjang, lalu menatap adiknya dengan serius. "El, aku ada permintaan padamu," katanya dengan nada tegas. Elmira mengernyit bingung. "Apa itu, Kak?" tanyanya penasaran. Devan menatapnya dalam. "Aku ingin kamu
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN