Evelyn Sangat Bahagia

691 Kata
Suasana kafe yang tadinya tenang mendadak tegang ketika tiba-tiba Dokter Devan menatap Fandi dengan ekspresi serius. Tanpa basa-basi, ia berkata dengan nada tegas, "Pak Fandi, lebih baik Bapak pergi dari sekarang juga." Fandi mengernyit, tidak langsung beranjak. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dengan nada penuh tanya, ia bertanya, "Memangnya kenapa, Dokter?" Dokter Devan melirik ke arah tangga yang menuju lantai dua kafe, lalu kembali menatap Fandi dengan ekspresi mendesak. "Evelyn kembali," jawabnya singkat. Mata Fandi langsung membesar. Tanpa pikir panjang, ia segera berdiri dan berjalan cepat meninggalkan meja Dokter Devan. Ia tahu, jika Evelyn melihatnya masih ada di sana, bisa-bisa rencananya untuk mendekati Devan akan berantakan. Dokter Devan menghela napas lega begitu melihat Fandi pergi. Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar dari arah tangga. Evelyn muncul dengan senyum cerah, langsung menghampiri meja Devan. "Dokter, aku lupa sesuatu!" katanya penuh semangat. Dokter Devan hanya bisa tersenyum tipis, berusaha menyiapkan diri menghadapi kejutan lain dari Evelyn. Evelyn dengan wajah ceria mengeluarkan sebuah kain kecil dari tasnya, lalu meletakkannya di atas meja di depan Dokter Devan. "Ini untuk dokter," katanya dengan senyum penuh arti. Dokter Devan mengernyit, lalu mengambil kain kecil itu. "Apa ini?" tanyanya. "Sapu tangan," jawab Evelyn cepat. "Buat lap keringat. Aku perhatiin tadi dokter beberapa kali ngelap kening pakai tangan. Jadi, pakai ini aja biar lebih bersih." Dokter Devan terdiam sejenak, lalu mengangguk dan menerima sapu tangan itu. "Terima kasih, Evelyn." Evelyn tersenyum puas. "Tapi dokter harus janji, jaga sapu tangan itu baik-baik, ya! Jangan sampai hilang." Dokter Devan hanya bisa tersenyum tipis dan mengangguk lagi. "Baik, aku akan menjaganya." Evelyn menatapnya sejenak, lalu menghela napas lega. "Kalau begitu, aku benar-benar pamit sekarang, ya, dokter. Sampai jumpa!" "Sampai jumpa, Evelyn," balas Devan. Evelyn pun berbalik dan berjalan pergi dengan langkah ringan, meninggalkan Dokter Devan yang masih menatap sapu tangan di tangannya. Ia menggeleng pelan, merasa tak habis pikir dengan tingkah pasiennya yang satu ini. Dokter Devan berdiri dari kursinya dan memperhatikan Evelyn yang berjalan menuju mobilnya. Gadis itu masuk ke dalam dengan wajah ceria, lalu sopir pribadinya menutup pintu dan segera menjalankan mobil. Devan menghela napas panjang, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia menggelengkan kepala pelan, merasa tak habis pikir dengan tingkah Evelyn yang begitu impulsif. Tiba-tiba, suara Fandi terdengar di sebelahnya. "Maafkan anak saya ya, Dokter." Devan menoleh dan melihat Fandi berdiri dengan ekspresi penuh rasa bersalah. Devan tersenyum tipis. "Tidak apa, Pak. Saya mengerti. Evelyn masih terguncang, dan ini adalah caranya untuk bertahan." Fandi menghela napas berat. "Saya benar-benar khawatir padanya. Saya hanya ingin dia sembuh dan bisa menerima kenyataan." Devan mengangguk. "Saya juga, Pak. Saya akan berusaha membantu sebisa saya. Tapi, prosesnya mungkin tidak akan mudah." Fandi menatap Devan dengan harapan. "Terima kasih, Dokter. Saya titip anak saya." Devan menatap pria itu dengan serius. "Jangan khawatir, Pak Fandi. Saya akan melakukan yang terbaik." Fandi mengangguk pelan, lalu menepuk bahu Devan sebelum akhirnya pergi, meninggalkan Dokter Devan yang masih berdiri di tempatnya, menatap langit sore yang mulai berubah warna. Evelyn tiba di rumah dengan wajah berseri-seri. Begitu turun dari mobil, ia langsung berlari masuk ke dalam rumah. Ratna, yang sedang duduk di ruang tamu, terkejut saat putrinya tiba-tiba memeluknya erat. "Eve? Ada apa, Nak?" tanyanya bingung. Evelyn semakin mengeratkan pelukannya sebelum akhirnya melepaskan diri dan menatap ibunya dengan mata berbinar. "Mama! Aku punya calon suami baru!" serunya penuh semangat. Ratna mengerutkan kening. "Apa?" "Iya, Ma! Dia dokter muda yang tampan, baik, dan perhatian. Aku yakin dia akan jadi suami yang jauh lebih baik dari Bang Billy!" Evelyn bercerita dengan penuh antusias. Ratna semakin bingung. "Tunggu sebentar, calon suami? Evelyn, ibu bahkan tidak tahu kalau kamu sudah punya hubungan dengan pria lain." Evelyn tersenyum lebar. "Ya, aku juga baru tahu hari ini, Ma! Aku yang melamar dia duluan!" Ratna membelalak kaget. "Apa?!" Evelyn menjawab, “nanti akan aku ceritakan ya bu. Tapi nanti. Aku ke kamar dulu.” Evelyn mengecup pipi Ratna, setelah itu ia pergi ke kamarnya. Fandi yang baru masuk ke dalam rumah langsung menghela napas berat saat mendengar percakapan itu. Ratna menoleh ke suaminya dengan ekspresi penuh tanda tanya, sementara Fandi hanya bisa mengusap wajahnya. "Nanti aku jelaskan, Bu." katanya pasrah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN