Cara Instan Sembuhkan Patah Hati

553 Kata
Setelah ragu sejenak, Devan akhirnya menerima uluran tangan Evelyn. Mereka berjabat tangan, dan Evelyn dengan wajah berseri berkata, "Mulai sekarang, Anda adalah calon suami Evelyn Affandi!" Dokter Devan tersenyum tipis, meski dalam hatinya masih penuh keraguan. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini. Sementara itu, Fandi, yang menyaksikan semua ini dari meja lain, hanya bisa menggelengkan kepala dan mengusap wajahnya. "Ya ampun Eve..." gumamnya pelan, masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Evelyn masih tersenyum lebar, tatapannya penuh harapan. "Dokter, aku butuh nomor ponsel dokter. Kan kita sekarang dalam tahap pendekatan, jadi aku harus bisa menghubungi calon suamiku kapan saja!" katanya dengan nada manja. Dokter Devan menatap Evelyn sesaat, ragu-ragu. Namun, melihat tatapan penuh antusias Evelyn, ia akhirnya mengeluarkan ponselnya dan menyebutkan nomornya. Evelyn langsung mencatat di ponselnya dan memastikan dengan meneleponnya saat itu juga. "Coba dokter simpan ya, ini nomor aku!" kata Evelyn dengan penuh semangat. Devan melirik layar ponselnya yang kini menunjukkan panggilan masuk dari Evelyn. Ia menghela napas kecil dan menyimpan nomor itu. "Sudah, Evelyn. Aku sudah simpan." Evelyn tersenyum puas. "Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu. Aku merasa jauh lebih baik sekarang. Aku punya calon suami pengganti yang jauh lebih baik dari Bang Billy!" katanya penuh kebahagiaan. Dokter Devan hanya bisa tersenyum tipis. "Hati-hati di jalan, Evelyn." Evelyn mengangguk antusias, lalu beranjak dari kursinya. Ia melangkah keluar dari kafe dengan langkah ringan dan hati yang terasa lebih tenang. Dari kejauhan, Fandi yang masih duduk di meja lain memperhatikan semua itu dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia menatap Devan yang kini bersandar di kursinya dengan ekspresi kelelahan. Setelah Evelyn pergi, Fandi segera mendekati meja Dokter Devan. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan dokter muda itu, menghela nafas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Dokter Devan, saya benar-benar minta maaf atas sikap Evelyn tadi. Dia... dia sepertinya masih belum stabil." Dokter Devan tersenyum tipis, menatap Fandi dengan tenang. "Tidak apa-apa, Pak Fandi. Saya mengerti. Evelyn masih terguncang, jadi dia mencari cara instan untuk menyembuhkan luka hatinya. Dan entah bagaimana, dia merasa saya adalah solusinya, makanya dia langsung melamar saya begitu saja." Fandi mengusap wajahnya, tampak begitu lelah dengan keadaan putrinya. "Ya Tuhan... saya benar-benar tak menyangka Evelyn bisa sampai seperti ini. Saya hanya berharap dia segera sadar dan bisa menerima kenyataan bahwa pernikahannya dengan lelaki itu memang sudah batal." Dokter Devan mengangguk pelan. "Ini butuh waktu, Pak. Evelyn masih berada dalam fase denial. Tapi setidaknya, hari ini kita sudah mencapai satu titik di mana dia mulai membuka diri. Dia sudah menangis, sudah mulai mengingat kenyataan, dan itu langkah awal yang baik." Fandi menatap Dokter Devan dengan penuh harap. "Saya hanya ingin Evelyn bahagia, Dokter. Saya ingin dia bisa menerima semuanya tanpa harus menyakiti dirinya sendiri atau memaksakan sesuatu yang tidak bisa dia dapatkan." Dokter Devan menepuk punggung tangan Fandi dengan lembut. "Tenang saja, Pak. Saya akan berusaha membantu Evelyn. Kita lihat perkembangan kedepannya, ya." Fandi tersenyum tipis dan mengangguk. "Terima kasih, Dokter Devan. Saya benar-benar berterima kasih atas bantuan dan pengertiannya." Dokter Devan hanya membalas dengan anggukan. Dalam hatinya, ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia sudah bertekad untuk membantu Evelyn keluar dari ilusi pernikahan yang tak pernah terjadi. Tiba-tiba Dokter Devan mengusir Fandi. “Pak, sebaiknya bapak pergi dari sini sekarang juga,” ucap dokter Devan. Fandi tak menurut begitu saja, “memangnya kenapa dokter?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN