Devan hanya bisa menatap Fandi dengan ekspresi meminta bantuan, sementara Fandi menghela napas panjang, tahu bahwa masalah ini akan semakin rumit.
Dokter Devan menghela nafas panjang, berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan Evelyn. "Evelyn, kita baru bertemu hari ini. Ini pertama kalinya kita bertatap muka. Bagaimana bisa kamu melamarku untuk dijadikan suami?" tanyanya dengan nada yang masih dipenuhi ketidakpercayaan.
Evelyn, yang sejak tadi terlihat yakin, justru tersenyum santai. "Dokter kan psikiater? Ahli jiwa? Pasti dokter orang baik. Aku hanya butuh orang baik untuk jadi suamiku. Jadi, mau ya, Dokter?" tanyanya dengan nada yang terdengar seperti desakan, seolah tidak menerima penolakan.
Devan terdiam sejenak, menatap Evelyn yang serius dengan permintaannya. Ia menggaruk rambutnya yang tidak gatal, merasa benar-benar bingung dengan situasi ini. Baru kali ini ia menangani pasien seperti Evelyn—patah hati karena batal menikah, tapi malah mencari pengantin pengganti, dan yang dipilihnya adalah dirinya!
Fandi, yang mendengar semua itu dari meja lain, hampir tersedak minumannya. Ia tidak tahu apakah harus tertawa atau merasa khawatir dengan kondisi putrinya.
Devan akhirnya menghela napas lagi, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Evelyn, menikah itu bukan hanya tentang mencari orang baik. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan—perasaan, kecocokan, kesiapan mental, dan masih banyak lagi."
Namun, Evelyn tetap bersikeras. "Aku yakin dokter pasti cocok jadi suamiku. Aku juga kan juga orang baik. Jadi kita bisa saling melengkapi!" katanya polos, seolah keputusan menikah bisa semudah itu.
Devan benar-benar tak percaya dengan situasi ini. Ia harus mencari cara agar Evelyn memahami kenyataan tanpa membuatnya semakin terpuruk. Di sisi lain, Fandi menatap Devan dengan ekspresi campuran antara permintaan tolong dan rasa geli yang sulit disembunyikan.
Dokter Devan masih diam, mencoba mencari cara agar Evelyn mengerti bahwa pernikahan bukan hal yang bisa diputuskan secara instan. Namun, Evelyn justru menatapnya dengan tajam dan berkata, "Dokter gak mau nikah sama saya?"
Devan tetap diam, tidak ingin memberikan jawaban yang bisa memperburuk keadaan. Tapi reaksi itu justru membuat Evelyn semakin gelisah. Ia mengepalkan tangannya, lalu berkata dengan penuh tekad, "Kalau dokter gak mau, aku akan cari Bang Billy dimanapun dia berada! Aku akan paksa dia tetap menikahiku! Aku gak peduli dia sudah gak suka sama aku!"
Fandi, yang sejak tadi mendengarkan dengan cemas, segera memberikan kode kepada Devan. Tatapan pria itu jelas—jangan biarkan Evelyn mengejar Billy lagi!
Dokter Devan menghela napas panjang, lalu akhirnya berkata, "Oke baiklah, Evelyn. Aku mau jadi suamimu."
Mata Evelyn langsung berbinar, penuh kebahagiaan dan harapan. "Serius?!" tanyanya dengan penuh semangat.
Devan mengangguk perlahan. "Iya, tapi kita harus proses pendekatan dulu ya. Kita saling mengenal secara personal. Karena menikah itu menyatukan dua keluarga, jadi kita harus memastikan semuanya baik-baik saja."
Evelyn mengangguk dengan penuh semangat. "Baik! Aku setuju!" katanya cepat, lalu mengulurkan tangannya ke arah Devan.
Setelah ragu sejenak, Devan akhirnya menerima uluran tangan Evelyn. Mereka berjabat tangan, dan Evelyn dengan wajah berseri berkata, "Mulai sekarang, Anda adalah calon suami Evelyn Affandi!"