Dokter Devan menghela napas perlahan, menatap Evelyn dengan penuh empati. "Aku tahu ini sangat berat untukmu, Evelyn. Dikhianati oleh seseorang yang kamu cintai memang menyakitkan. Tapi..." Devan berhenti sejenak, memastikan Evelyn masih mendengarkannya. "...terkadang, orang yang kita percaya tidak selalu setia. Dan mungkin, Billy bukan orang yang tepat untuk mendampingimu dalam hidup."
Evelyn mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, matanya penuh kebingungan dan kesedihan. "Tapi aku mencintainya, Dokter... Aku sudah membayangkan hidup bersamanya, membangun rumah tangga dengannya..." suaranya terdengar semakin lirih.
Dokter Devan tersenyum tipis, tetap dengan nada lembut, "Aku tahu, Evelyn. Tapi mencintai seseorang tidak berarti kita harus membiarkan diri kita disakiti oleh mereka, bukan?"
Evelyn terdiam, kata-kata itu terasa menampar hatinya. Ia menggigit bibir, berusaha menahan tangisnya yang semakin deras. "Tapi kenapa, Dokter? Kenapa Bang Billy melakukan ini padaku?" suaranya bergetar, penuh rasa sakit yang mendalam.
Dokter Devan meletakkan tangannya di atas meja, sedikit condong ke arah Evelyn. "Itu bukan salahmu, Evelyn. Perilaku Billy adalah cerminan dirinya, bukan cerminan dari siapa kamu."
Evelyn menatap Devan, matanya yang berlinang perlahan menunjukkan tanda-tanda kebingungan bercampur dengan pemahaman. Namun, luka di hatinya masih terlalu dalam untuk langsung menerima kenyataan.
Dokter Devan tahu, ini baru awal dari proses panjang. Evelyn butuh waktu. Dan ia siap membantunya melalui ini semua.
Evelyn menggenggam erat gelas teh hangat di tangannya. Matanya masih berkabut oleh air mata, tetapi ada tekad yang kuat di dalamnya. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Aku ga bisa terus begini, Dokter."
Dokter Devan menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu Evelyn melanjutkan.
"Aku ga mau malu... Semua orang tahu aku mau menikah. Aku ga mau dilihat sebagai perempuan yang ditinggalkan. Aku harus tetap menikah," lanjut Evelyn dengan nada putus asa.
Devan tetap menjaga ketenangannya, lalu bertanya pelan, "Menikah dengan siapa, Evelyn?"
Evelyn terdiam. Dadanya naik turun menahan emosi. "Ya dengan Bang Billy, siapa lagi?" suaranya terdengar ragu di akhir kalimat.
Dokter Devan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Evelyn, kamu ingin menikah karena cinta atau karena takut apa yang orang lain pikirkan?"
Evelyn membuka mulutnya, tetapi tidak ada kata yang keluar. Ia memejamkan mata, lalu menggeleng pelan. "Aku cinta Bang Billy... Aku yakin dia mencintaiku juga. Dia pasti akan kembali padaku dan ga akan bohong lagi," bisiknya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Dokter Devan menghela nafas perlahan. "Evelyn, kamu berhak mendapatkan seseorang yang menghargaimu, bukan seseorang yang meninggalkanmu dan menyakitimu."
Evelyn menggigit bibirnya, air matanya jatuh lagi. "Tapi aku ga mau sendirian, Dokter... Aku takut..."
Dokter Devan tersenyum tipis, penuh empati. "Kamu tidak sendirian, Evelyn. Ada keluargamu yang selalu mendukungmu. Dan aku di sini untuk membantumu melewati ini semua."
Evelyn menundukkan kepala. Untuk pertama kalinya, ada keraguan di hatinya tentang pernikahan yang ia paksakan.
Evelyn perlahan mengangkat kepalanya, matanya masih sedikit sembab, tetapi ada kilatan penasaran di sana. Ia menatap Dokter Devan dengan serius dan tiba-tiba bertanya, "Dokter sudah punya istri atau kekasih?"
Devan terkejut dengan pertanyaan itu. Alisnya terangkat sedikit sebelum akhirnya ia tersenyum tipis. "Itu privasi saya, Evelyn," jawabnya santai, berusaha menghindari topik yang tidak ia duga.
Namun, Evelyn merajuk, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang tidak puas dengan jawaban yang didapat. "Kenapa privasi? Aku kan mau tahu! Jawab dong, Dokter!" desaknya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Devan menghela nafas pelan. Ia melirik sekilas ke arah Fandi yang duduk di meja lain, seakan meminta bantuan. Namun, Fandi hanya mengangkat bahu, membiarkan Devan menangani putrinya sendiri.
Tak ingin membuat Evelyn menangis lagi, akhirnya Devan menjawab, "Aku belum menikah dan saat ini tidak sedang menjalin hubungan dengan siapa pun."
Evelyn terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. Dengan nada ringan tapi penuh keyakinan, ia berkata, "Ya sudah, kalau begitu aku mau menikah sama Dokter saja."
Devan menganga, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bahkan Fandi, yang sejak tadi diam menjadi pengamat, terbatuk kaget.
"Evelyn... Apa maksudmu?" tanya Devan dengan ekspresi bingung.
Evelyn mengangkat bahunya santai. "Ya, kalau Bang Billy ga bisa menikah sama aku, aku harus cari calon pengganti, kan? Dan Dokter orangnya baik, perhatian, sabar, cocok jadi suami," ujarnya polos.
Devan semakin tidak percaya. Ia bahkan harus memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Sementara itu, Fandi menatap Evelyn dengan tatapan tidak habis pikir, lalu mengusap wajahnya, mencoba menahan tawa kecil bercampur keheranan.
"Evelyn... Pernikahan bukan seperti memilih pengganti barang yang hilang," kata Devan akhirnya, mencoba menjelaskan dengan tenang. "Kamu tidak bisa menikah hanya karena ingin tetap menikah. Itu keputusan besar."
Namun, Evelyn tetap tersenyum manis, seolah sudah yakin dengan pilihannya. "Ya sudah, kalau Dokter belum siap sekarang, aku tunggu, kok," katanya santai.
Devan hanya bisa menatap Fandi dengan ekspresi meminta bantuan, sementara Fandi menghela napas panjang, tahu bahwa masalah ini akan semakin rumit.