Harus ke Psikiater

959 Kata
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Sayang," ucap Ratna sambil mengusap lembut rambut Evelyn. Evelyn perlahan membuka matanya. Pandangannya masih buram, tetapi ia segera mengenali langit-langit kamar yang begitu akrab. Bau khas kamarnya menyergap indra penciumannya, membuatnya sadar bahwa ia telah dibawa pulang. Di sisi tempat tidurnya, ibunya, Ratna, duduk dengan senyum lelah namun lembut. Evelyn menatap ibunya dengan bingung. Ingatan terakhirnya tentang kata-kata Billy menyeruak kembali, membuat dadanya kembali sesak. Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa lemah. "Bu... aku mau ke rumah Billy," gumamnya pelan, tapi penuh tekad. Ratna menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Sayang, dengar Ibu ya. Kamu lupakan Billy. Dia sudah bilang sendiri, dia nggak mau sama kamu." Evelyn memandang ibunya dengan ekspresi tak percaya. Air mata mulai mengalir di pipinya. "Lupa bagaimana, Bu? Aku kan mau nikah sama Billy... Semua sudah dipersiapkan... Seserahannya, undangannya, semuanya, Bu... Aku... aku nggak bisa." Suara Evelyn pecah, tubuhnya bergetar menahan tangis yang tak bisa lagi ia kendalikan. Ratna menggenggam tangan putrinya, berusaha menenangkan meski hatinya sendiri hancur melihat penderitaan Evelyn. "Sayang," kata Ratna dengan suara lembut namun tegas. "Pernikahan itu bukan cuma soal pesta, dekorasi, atau seserahan. Pernikahan itu butuh dua hati yang saling mencintai dan mau berjuang bersama. Kalau Billy sudah menyerah sebelum kalian mulai, untuk apa kamu bertahan?" Evelyn terisak, menutup wajahnya dengan tangan. "Tapi aku sayang Billy, Bu. Aku nggak tahu harus bagaimana tanpa dia." Ratna memeluk Evelyn erat, membiarkan putrinya menangis di bahunya. "Ibu tahu kamu sayang, Sayang. Tapi kamu juga harus sayang sama dirimu sendiri. Ibu dan Ayah selalu ada buat kamu. Kita akan melewati ini bersama." Kata-kata ibunya seolah menjadi selimut hangat di tengah dinginnya hati Evelyn. Meski rasa sakit itu masih mengakar dalam, pelukan ibunya membuatnya merasa bahwa ia tidak sepenuhnya sendiri. Namun, di sudut hatinya, Evelyn tahu perjalanan untuk melupakan Billy akan menjadi perjuangan yang panjang. Evelyn memandang ibunya dengan mata yang masih sembab. Perlahan, ia berkata dengan suara lemah, "Bu... aku lapar." Ratna tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa sedihnya. "Ibu ambilkan makanan, ya, Sayang. Kamu istirahat dulu di sini." Namun Evelyn menggeleng pelan. "Aku bisa ke dapur sendiri, Bu." Ratna ingin melarang, tetapi melihat wajah Evelyn yang begitu keras kepala, ia hanya bisa mengangguk. "Baiklah, tapi pelan-pelan, ya." Evelyn turun dari ranjang, mengenakan sandal rumahnya, lalu berjalan keluar kamar. Namun, begitu ia melangkah ke ruang tengah, pandangannya langsung tertuju pada sesuatu yang membuatnya tertegun. Dekorasi pernikahan yang sebelumnya menghiasi rumahnya kini tengah dibongkar oleh para petugas. Tubuh Evelyn membeku sejenak, sebelum ia tiba-tiba berteriak histeris, "Apa yang kalian lakukan?! Jangan bongkar! Jangan! Itu untuk pernikahanku!" Para petugas dekorasi menghentikan pekerjaan mereka, bingung dengan reaksi Evelyn. Salah satu dari mereka mencoba menjelaskan, "Maaf, Mbak Evelyn. Kami diberi arahan untuk membongkar dekorasinya..." Evelyn memotong dengan suara tinggi yang bergetar, "Siapa yang suruh?! Aku nggak pernah bilang begitu! Pasang lagi semuanya! Aku masih akan menikah!" Ratna, yang baru saja keluar dari kamar, langsung tersentak melihat putrinya histeris. Hatinya terasa hancur melihat Evelyn berusaha menyangkal kenyataan. Ia hendak mendekat, tetapi sebelum sempat berbicara, Fandi tiba tepat waktu. Dengan suara tegas namun tenang, Fandi berkata kepada para petugas, "Pasang kembali semuanya seperti semula. Jangan ada yang dibongkar." Para petugas mengangguk, segera melanjutkan pekerjaan mereka untuk memasang kembali dekorasi. Evelyn menghela napas lega, tetapi matanya masih penuh dengan kesedihan yang mendalam. Ratna menghampiri Fandi, memandang suaminya dengan air mata yang menggenang. "Mas, lihat Evelyn... Dia benar-benar terguncang. Dia masih berpikir pernikahan ini akan terjadi." Fandi merangkul bahu istrinya, mencoba menenangkannya. "Ratna, biarkan Evelyn tenang dulu. Kita tidak bisa memaksanya menerima kenyataan ini begitu saja. Kita harus sabar." Ratna hanya bisa mengangguk, meski hatinya terasa perih. Di sisi lain, Evelyn berdiri di tengah ruang tamu, matanya terpaku pada dekorasi yang sedang dipasang ulang. Dalam pikirannya, ia masih menggenggam harapan rapuh bahwa Billy akan kembali, dan pernikahan impiannya akan tetap terwujud. Namun, jauh di lubuk hati, ia tahu bahwa kenyataan mungkin tidak seindah yang ia harapkan. Evelyn melangkah ke dapur sendiri dengan langkah cepat, berharap melihat suasana ramai seperti biasanya. Namun, ketika tiba di sana, pemandangan yang ia lihat membuatnya tertegun. Dapur yang sebelumnya dipenuhi sanak saudara yang sibuk membuat kue kini kosong melompong. Ia berdiri terpaku sejenak sebelum akhirnya berteriak, "Mana semua orang? Kenapa nggak ada di sini?! Harusnya mereka bantu-bantu, kan?" Ratna dan Fandi yang mendengar teriakan Evelyn segera menyusul ke dapur. Evelyn, dengan wajah penuh amarah, memandang mereka dengan mata berkilat. "Ibu, Ayah, suruh mereka semua kembali! Kita ini sedang mempersiapkan pernikahan, kok malah mereka nggak ada?!" Fandi mencoba menenangkan, "Sayang, mereka pulang sebentar untuk istirahat. Nanti juga kembali." Namun, Evelyn tidak bisa menerima jawaban itu. "Panggil mereka sekarang! Kalau mereka nggak kembali, aku yang akan jemput mereka satu-satu!" Ratna, yang melihat emosi putrinya semakin meluap-luap, akhirnya mengangguk. "Baik, Sayang. Ibu panggil mereka. Kamu tenang dulu, ya." Dengan arahan Fandi, para sanak saudara kembali berdatangan ke rumah. Mereka pura-pura sibuk membuat kue dan mengatur dapur kembali seperti semula. Melihat suasana dapur yang ramai lagi, Evelyn tersenyum puas, seolah semua berjalan normal. Ratna memandang putrinya dengan tatapan penuh kekhawatiran, sementara Fandi berdiri di sudut, mengamati situasi dengan pikiran berkecamuk. Ia tahu Evelyn sedang dalam kondisi yang tidak stabil. Tak lama, sepupu Evelyn, Naura, menghampiri Fandi dengan hati-hati. "Om, maaf sebelumnya. Tapi menurut saya, Evelyn harus segera dibawa ke psikiater. Dia jelas sangat terguncang, dan ini nggak bisa dibiarkan terlalu lama." Fandi menatap Naura dengan ragu, tetapi ia tahu sepupu Evelyn itu benar. Evelyn tidak bisa terus-menerus hidup dalam ilusi ini. Ia menghela napas panjang, mencoba mencari cara untuk membawa Evelyn ke psikiater tanpa memperburuk kondisinya. "Terima kasih, Naura. Om akan pikirkan caranya," jawab Fandi dengan suara pelan. Di sudut dapur, Evelyn masih sibuk memberi arahan kepada sanak saudaranya, seolah-olah hari pernikahannya tinggal hitungan hari. Namun, Fandi dan Ratna tahu, keputusan besar harus segera diambil demi kebaikan putri mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN