"Sayang, ayo kita jalan-jalan sebentar. Udara pagi bagus untukmu," bujuk Ratna dengan suara lembut.
Pagi itu, Fandi dan Ratna masuk ke kamar Evelyn dengan senyum hangat. Ratna duduk di tepi ranjang dan mengusap lembut tangan putrinya.
Namun, Evelyn langsung menggeleng dengan wajah panik. "Nggak bisa, Bu! Pernikahanku dua hari lagi! Kalau ada tamu yang datang, siapa yang menyambut mereka?"
Fandi mencoba menenangkan, "Paman dan bibimu ada di rumah. Mereka bisa menerima tamu kalau ada yang datang."
Evelyn tetap kukuh. "Enggak! Aku harus di sini! Aku yang mau menikah, aku yang harus ada di rumah!"
Ratna dan Fandi saling bertukar pandang. Mereka tahu tak akan mudah membawa Evelyn keluar tanpa membuatnya semakin emosi. Akhirnya, Fandi memutuskan untuk meninggalkan Evelyn di bawah pengawasan adiknya, Jeremy, dan istrinya, Wendy.
Fandi menepuk bahu Evelyn dengan lembut. "Baiklah, Sayang. Kami gak akan memaksamu. Tapi om Jeremy dan tante Wendy akan menemanimu, ya?"
Evelyn hanya mengangguk pelan, tidak terlalu peduli.
Ratna menarik napas dalam, lalu menggandeng tangan suaminya. Bersama sopir keluarga, mereka berangkat menuju rumah sakit yang telah mereka hubungi sehari sebelumnya.
Begitu tiba di rumah sakit, Fandi dan Ratna langsung menuju bagian pendaftaran. Karena mereka sudah melakukan pendaftaran online, mereka tak perlu menunggu lama. Dalam waktu lima belas menit, seorang perawat keluar dari ruangan dan tersenyum ramah.
"Pak Fandi dan Bu Ratna?"
"Ya, kami," jawab Fandi.
"Silakan masuk, dokter sudah menunggu."
Mereka bangkit dan saling menggenggam tangan, berharap mendapatkan solusi terbaik untuk putri mereka yang sedang mengalami masa sulit. Dengan langkah mantap, mereka memasuki ruangan konsultasi, siap mencari cara terbaik untuk menyelamatkan Evelyn dari luka yang semakin dalam.
Di Ruang dokter, Fandi dan Ratna melangkah masuk ke ruangan dengan hati yang dipenuhi harapan. Di dalam, seorang dokter muda dengan jas putih rapi dan kacamata duduk dibalik meja. Senyum ramah menghiasi wajahnya yang tampan dan segar, menciptakan aura yang menenangkan.
Di atas meja kerjanya, sebuah papan nama tertulis jelas:
dr. Devan Aditya Bagas Wicaksana, Sp.KJ
Dokter Devan berdiri dan menyambut mereka dengan hangat. "Selamat pagi, Pak Fandi, Bu Ratna. Silahkan duduk."
Fandi dan Ratna duduk berhadapan dengannya. Ratna tampak sedikit gelisah, sementara Fandi berusaha tetap tenang.
"Terima kasih, Dok," ujar Fandi. "Kami datang karena anak kami… Evelyn."
Dokter Devan mengangguk dengan penuh perhatian. "Baik, bisa diceritakan apa yang terjadi?"
Ratna menarik napas panjang sebelum akhirnya bercerita. "Evelyn… dia baru saja mengalami sesuatu yang berat. Pernikahannya seharusnya berlangsung dua hari lagi, tapi calon suaminya tiba-tiba membatalkannya. Evelyn menolak menerima kenyataan itu."
Fandi melanjutkan, "Dia masih yakin pernikahannya tetap akan terjadi. Kami sudah mencoba menjelaskan, tapi dia menolak mendengar. Bahkan, dia memaksa semua persiapan tetap berjalan, termasuk meminta dekorasi dipasang kembali."
Dokter Devan mengangguk pelan, mencatat sesuatu di bukunya. "Dari yang Bapak dan Ibu ceritakan, Evelyn tampaknya mengalami gangguan penyesuaian akibat stres berat. Ini bisa berkembang menjadi kondisi yang lebih serius jika tidak segera ditangani."
Ratna menggenggam tangan suaminya, matanya berkaca-kaca. "Jadi… apa yang harus kami lakukan, Dok?"
Dokter Devan tersenyum lembut, mencoba memberikan ketenangan. "Pertama-tama, kita harus mendekati Evelyn dengan cara yang tidak membuatnya merasa terancam. Jika dia merasa dipaksa atau dihakimi, itu bisa memperburuk keadaannya. Saya sarankan untuk bertemu langsung dengannya, tentu saja dengan pendekatan yang halus."
Fandi mengangguk. "Kami siap melakukan apa pun yang terbaik untuk Evelyn, Dok."
Dokter Devan menatap mereka dengan penuh empati. "Saya akan membantu sebisa mungkin. Kita bisa mulai dengan sesi pendekatan dulu, melihat bagaimana respons Evelyn sebelum mengambil langkah lebih lanjut."
Ratna menghela nafas lega, setidaknya kini mereka memiliki harapan. "Terima kasih, Dokter Devan. Kami benar-benar ingin Evelyn bisa menerima kenyataan dan kembali seperti dulu."
Dokter Devan tersenyum lagi. "Kita akan usahakan bersama, Bu. Jangan khawatir."
Setelah pembicaraan yang cukup panjang, Fandi dan Ratna keluar dari ruang dokter.
Di luar ruangan, Fandi dan Ratna saling berpandangan. Mereka kini memiliki harapan baru untuk menyelamatkan putri mereka dari keterpurukan.
Di dalam Mobil, dalam Perjalanan Pulang, Mobil yang membawa Fandi dan Ratna melaju tenang di jalanan siang itu. Udara di dalam mobil terasa berat, seolah menyimpan banyak beban yang belum terungkap. Ratna duduk diam di samping suaminya, tangannya bertaut di pangkuan, sementara Fandi memandang lurus ke depan dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Pikiran Fandi masih tertuju pada percakapannya dengan dokter Devan beberapa jam lalu.
Beberapa Jam Sebelumnya, di Ruang Konsultasi
Fandi menarik napas panjang sebelum akhirnya mengungkapkan segalanya pada dokter muda itu.
"Dok, pernikahan Evelyn dibatalkan karena Billy… dia sudah menghamili wanita lain," suara Fandi bergetar, tapi nadanya tetap tegas.
Dokter Devan yang duduk di seberangnya mendengarkan dengan saksama, wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya menunjukkan empati yang mendalam.
"Sejak kapan Anda mengetahui hal ini, Pak Fandi?" tanyanya lembut.
Fandi meremas tangannya sendiri. "Baru kemarin. Setelah Evelyn menunjukan percakapan dengan Billy lewat pesan singkat dan pesan dari Billy mengarah ke akan batalkanya pernikahan. Kami langsung ke rumah orang tua Billy dan di sana billy mengatakan sudah tak menyukai Evelyn dan kalimat itu secara tidak langsung Billy mengungkapkan tak mau jadi menikahi Evelyn.”
“Evelyn syok dan langsung jatuh pingsan. Saya tidak terima, saya desak alasan sebenarnya dan ibunya Billy mengaku bahwa sebenarnya Billy telah menghamili wanita lain. Saat itu juga saya bawa Evelyn pulang,” jelas Fandi.
Ratna yang duduk di samping Fandi menyeka air matanya yang tak terbendung. "Kami tidak tahu bagaimana cara memberi tahu Evelyn, Dok. Dia begitu mencintai Billy, bahkan sampai sekarang dia masih menunggu hari pernikahannya seolah semuanya baik-baik saja."
Dokter Devan mengangguk pelan. "Dari yang Anda ceritakan, Evelyn mengalami trauma psikologis yang cukup berat. Dia belum bisa menerima kenyataan yang menyakitkan ini, sehingga pikirannya menciptakan semacam mekanisme pertahanan. Itu sebabnya dia tetap percaya bahwa pernikahannya akan terjadi."
Fandi menunduk, merasakan dadanya semakin sesak. "Saya hanya ingin yang terbaik untuk Evelyn, Dok. Dia anak kami satu-satunya. Saya ingin dia bahagia, ingin dia mendapat pasangan yang benar-benar mencintainya, bukan seseorang yang mengkhianatinya seperti ini."
Dokter Devan tersenyum kecil, mencoba menenangkan mereka. "Saya mengerti, Pak. Ini bukan hal yang mudah, baik untuk Anda sebagai orang tua maupun untuk Evelyn sendiri. Tapi percayalah, ini adalah awal dari proses pemulihannya. Anda telah mengambil langkah yang tepat dengan datang ke sini."
Kembali ke Mobil, dalam Perjalanan Pulang. Fandi kembali dari lamunannya saat Ratna menggenggam tangannya lembut.
"Kamu memikirkan Evelyn, ya Ayah?" suara Ratna lirih, tapi penuh pengertian.
Fandi mengangguk, matanya masih fokus ke jalan. "Ya. Aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana cara menyelamatkan Evelyn dari luka ini. Aku ingin dia tahu bahwa hidupnya tidak berakhir hanya karena Billy meninggalkannya."
Ratna menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Aku percaya, Sayang. Kita pasti bisa membantu Evelyn melewati ini. Dia anak kita satu-satunya, dan kita akan selalu ada untuknya."
Fandi mengangguk, mengeratkan genggamannya pada tangan Ratna.
"Aku hanya berharap… suatu hari nanti, Evelyn bisa melihat bahwa apa yang terjadi sekarang adalah jalan Tuhan untuk menjauhkannya dari orang yang salah," ucap Fandi lirih.
Mobil terus melaju menuju rumah, membawa harapan kedua orang tua itu agar putri mereka bisa kembali menemukan kebahagiaan yang sejati.