Bicara Empat Mata

906 Kata
Fandi dan dr. Devan saling bertukar pandang, menyadari bahwa perjalanan ini masih panjang. Namun, ini adalah langkah pertama menuju kesembuhan Evelyn. Di dalam ruangan yang nyaman dengan pencahayaan lembut, dr. Devan menatap Evelyn dengan penuh perhatian. Ia bisa melihat bahwa perempuan di depannya ini sedang memendam sesuatu yang berat. "Evelyn, boleh aku tahu bagaimana perasaanmu hari ini?" Evelyn menatap dokter muda itu dengan bingung. "Perasaanku? Aku baik-baik saja, kok, Dok. Aku malah senang karena pernikahanku tinggal dua hari lagi." Fandi yang duduk di sebelah Evelyn menghela napas pelan, tapi ia tetap diam, membiarkan dokter Devan menangani percakapan ini. "Wah, pernikahan pasti momen yang sangat dinanti, ya? Kamu sudah mempersiapkan semuanya?" Evelyn mengangguk antusias. "Iya, aku sendiri yang memilih semua seserahan. Aku ingin yang terbaik. Bahkan dekorasi rumah sudah dipasang. Aku nggak sabar menunggu hari itu tiba!" Dokter Devan tersenyum kecil, lalu dengan hati-hati bertanya, "Billy pasti orang yang sangat spesial buatmu, ya?" Mata Evelyn berbinar. "Tentu! Kami sudah pacaran sangat lama. Aku sangat mencintainya. Dia pria terbaik yang pernah aku temui. Pacar pertama. Makanya aku sangat bahagia waktu dia melamarku." Devan mengangguk, lalu mengamati raut wajah Evelyn yang penuh semangat. Namun, ia juga menangkap sesuatu yang berbeda—seperti ada lapisan lain di balik kebahagiaannya. "Aku senang mendengar kamu begitu bahagia, Evelyn. Tapi… boleh aku bertanya sesuatu?" Evelyn menatapnya dengan sedikit curiga. "Tanya apa, Dok?" "Kapan terakhir kali kamu bertemu Billy?" Evelyn tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Kemarin aku chat dia, tapi dia belum balas. Mungkin dia sibuk. Aku yakin dia pasti sedang menyiapkan sesuatu untuk pernikahan kami." Fandi menundukkan kepala, tangannya mengepal di atas pangkuan. Devan melihat ekspresi pria itu, lalu kembali menatap Evelyn dengan lembut. "Kalau begitu, kapan terakhir kali kamu berbicara langsung dengannya?" Evelyn terdiam sesaat. Ia mengerutkan kening, seperti mencoba mengingat. "Hmm… Aku lupa. Sepertinya beberapa hari lalu? Tapi kenapa, Dok? Ini kan biasa saja. Billy pasti akan datang di hari pernikahan." Devan tersenyum tenang, lalu berkata dengan lembut, "Evelyn, bagaimana kalau hari ini kita ngobrol santai saja? Aku ingin lebih mengenal kamu dan kisah cintamu dengan Billy. Aku ingin tahu seberapa besar kebahagiaan yang kamu rasakan, karena kebahagiaan itu penting untuk kita semua." Evelyn tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, Dok. Aku akan cerita banyak!" Di sampingnya, Fandi menghela napas pelan. Ia tahu, ini baru awal dari perjalanan panjang untuk menyadarkan Evelyn. Namun, setidaknya, langkah pertama telah diambil. Evelyn tampak gelisah. Ia melirik ayahnya, lalu menunduk. Dengan suara pelan, ia berkata, "Dokter, aku malu kalau harus cerita di depan Ayah." Dokter Devan menatapnya dengan penuh pengertian, lalu ia sedikit membungkuk dan berbisik di dekat Evelyn, "Kalau begitu, bagaimana kalau kita bertemu di luar? Di tempat yang lebih santai?" Evelyn mengangkat wajahnya dengan penasaran. "Maksud dokter?" Devan tetap berbisik, "Nanti sore, kita ketemu di Kafe Seruni, di Jalan Mawar No. 5. Tapi kamu harus datang tepat waktu ya. Aku sibuk sekali, jadi aku nggak bisa atur jadwal lagi. Kita cuma punya waktu sore nanti." Sementara itu, Devan melirik ke arah Fandi dan memberi kode dengan tatapan matanya. Fandi langsung mengangguk pelan, memahami maksud dokter muda itu. Evelyn yang mendengar ajakan itu langsung tersenyum senang. "Siap! Demi kebahagiaanku dengan Billy, aku pasti datang, Dok!" Dokter Devan tersenyum lembut, "Bagus! Sampai ketemu nanti sore, Evelyn." Evelyn mengangguk penuh semangat. Dalam pikirannya, ini adalah kesempatan bagus untuk berbagi cerita tentang pernikahannya dengan Billy. Ia merasa lega bisa membicarakannya tanpa ada ayahnya yang mungkin akan menghakimi. Di sisi lain, Fandi menghela napas. Ia berharap rencana ini berhasil dan dokter Devan bisa membantu putri semata wayangnya keluar dari ilusi yang membelenggunya. Fandi dan Evelyn keluar dari ruang konsultasi, dan setelah mengucapkan terima kasih kepada Dokter Devan, mereka berjalan menuju mobil. Fandi sempat menatap putrinya dengan pandangan penuh harap, tapi ia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Di dalam mobil, suasana mulai hening. Evelyn melirik ke arah ayahnya dan kemudian membuka percakapan dengan bersemangat. "Ayah, nanti sore aku bakal ketemu sama Dokter Devan lagi, lho!" Fandi, yang masih memikirkan keadaan putrinya, sedikit terkejut. "Loh, kamu mau ketemu lagi sama dia?" Evelyn mengangguk dengan wajah antusias. "Iya, kan dia kayaknya ahli banget dalam pernikahan. Aku harus tanya banyak hal supaya pernikahanku sama Bang Billy langgeng. Dia pasti bisa bantu aku." Fandi menatap ke depan, sedikit ragu. Ia tidak ingin membebani putrinya dengan kenyataan yang pahit, jadi ia hanya mengangguk pelan. "Iya, kalau itu yang kamu pikirkan, biar kamu bisa lebih tahu." Evelyn melanjutkan, tanpa menyadari bahwa Dokter Devan adalah seorang psikolog yang membantu pasiennya mengatasi masalah emosional dan bukan seorang ahli pernikahan. "Aku harus banyak belajar dari dia, Ayah. Dia pasti ngerti banget soal hubungan. Aku merasa lebih percaya diri kalau bisa curhat sama dia." Fandi merasa beban itu semakin berat. Namun, ia tidak ingin mengecewakan putrinya. Dalam hatinya, ia berharap pertemuan itu dapat memberikan sedikit pencerahan bagi Evelyn, meskipun ia tahu bahwa apa yang dilakukan Evelyn saat ini bukanlah jalan keluar yang sebenarnya. "Baiklah, sayang. Semoga pertemuanmu nanti berjalan lancar." Evelyn tersenyum lebar dan menatap ayahnya dengan penuh harapan. "Terima kasih, Ayah. Aku pasti bisa!" Fandi hanya mengangguk, sambil berharap bahwa kepercayaan Evelyn pada Dokter Devan tidak akan membawa dia lebih jauh ke dalam kebingungannya. Sore itu, Kafe Seruni terasa tenang dengan alunan musik instrumental yang lembut. Di lantai dua, Dokter Devan sudah duduk di salah satu meja dekat jendela. Di atas meja, sudah tersedia segelas teh chamomile hangat dan sepiring camilan ringan. Ia melirik jam tangannya, baru sepuluh menit menunggu, dan tak lama kemudian, langkah cepat seorang gadis menarik perhatiannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN