Dulu, setelah putus ‘secara tidak baik-baik’ dengan Moza, Andra yang sebenarnya gagal move-on memutuskan menjalin hubungan dengan wanita lain untuk membantunya melupakan segala tentang Moza. Apalagi saat itu Moza semakin naik daun sehingga Andra terus melihat gambar Moza di mana-mana, yang membuatnya semakin sulit untuk melupakan.
Sampai kemudian Andra memutuskan menikah dengan wanita bernama Kiara. Andra menikahinya saat usianya menginjak 23 tahun. Ya, Andra benar-benar menikah muda. Sayangnya, pernikahan mereka hanya bertahan dua tahun.
Dalam kata lain, di usianya ke-25 tahun, Andra resmi menyandang status duda. Sampai saat ini Andra yang genap 32 tahun, sama sekali belum menikah lagi. Ia lebih fokus mendalami dunia akting yang digelutinya sejak beberapa tahun belakangan.
“Permisi,” ucap Moza saat wanita itu baru saja memasuki ruangan privat sebuah restoran yang sengaja Andra reservasi sebelumnya untuk mereka bisa mengobrol dengan nyaman.
“Duduklah.” Andra yang semula berdiri untuk menyambut Moza kini sudah duduk kembali.
Moza pun telah menarik kursi di hadapan Andra lalu duduk. Jangan ditanya betapa canggungnya mereka. Ini lebih dari canggung!
“Meskipun ini sangat-sangat-sangat terlambat, perkenalkan … saya Andra, kakak ipar kamu.”
Apa-apaan ini? Apa Andra sengaja? Namun, Moza berusaha tidak memberikan reaksi aneh. Siapa tahu saja dengan begini kecanggungan di antara mereka akan berkurang.
“Seharusnya kita bertemu sejak dua tahun yang lalu, bukan? Saat ibuku dengan papa mertuamu menikah.”
“Ya…,” jawab Moza. Memangnya mau menjawab apa lagi?
“Namamu Moza, kan? Bahkan sebelum kita bertemu sore ini, aku sudah sering melihatmu di TV, iklan, media sosial dan beberapa film yang kamu bintangi,” kata Andra lagi. “Ternyata kamu jauh lebih cantik aslinya, aku pikir bukan hal aneh kalau Joe tergila-gila padamu.”
Sungguh, Moza tak paham. Kenapa Andra bersikap seolah-olah mereka tidak pernah saling mengenal bahkan menjalin hubungan sebelumnya? Apa Andra sengaja berpura-pura lupa? Atau pria itu sungguh telah melupakan kisah cinta mereka di masa lalu yang berakhir dengan cara yang buruk.
Jika benar Andra sungguh lupa, itu justru bagus. Memangnya siapa yang mau mengingat-ingatnya? Kalau bisa memilih, Moza pun ingin menghapus chapter tentang dirinya yang pernah jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan Andra.
Baiklah, kalau begitu. Moza akan mengimbangi Andra. Ia juga akan bersikap seolah-olah kisah mereka tak pernah ada. Akting? Bukankah itu keahliannya?
“Ya, namaku Moza.”
“Bisa-bisanya aku nggak pernah hadir di acara keluarga satu kali pun, sampai-sampai bertemu adik ipar aja harus dengan cara begini.”
“Kalau boleh tahu, kenapa….” Moza menghentikan perkatakaannya sejenak. “Haruskah aku panggil Mas Andra aja?”
Dulu, Moza juga memanggil Andra dengan sebutan Mas.
“Ya, boleh,” jawab Andra sambil mengangguk-angguk. “Tadi kamu mau bilang apa?” lanjutnya.
“Kenapa Mas Andra nggak pernah hadir di acara keluarga? Bahkan, bukan hanya di hari pernikahan ibu dan papa. Setelah itu pun Mas Andra sama sekali nggak pernah hadir.”
Moza sangat ingat pernikahan papa mertuanya berlangsung setelah Moza menikah dengan Joe. Dalam kata lain, anniversary mereka tentu berdekatan.
“Jujur, aku nggak pernah setuju dengan pernikahan ibu dan papa mertua kamu. Itu sebabnya aku satu kali pun belum pernah hadir di acara keluarga baru ibu. Bisa dibilang, selain papa … keluarga baru ibu yang pertama kali aku temui yaitu kamu. Sekarang pun sebenarnya bukan pertemuan keluarga, betul? Kita bertemu untuk membahas proyek film.”
Moza mengangguk-angguk. Sungguh, ini di luar ekspektasi Moza. Ia pikir akan ada ketegangan antara mereka mengingat apa yang pernah terjadi di masa lalu. Namun, Moza sama sekali tak pernah mengira kalau Andra akan bersikap begini.
Tunggu, Andra mustahil tidak ingat tanpa alasan, kan? Rasanya terlalu absurd. Bukankah lebih masuk akal kalau pria itu sedang berpura-pura lupa?
“Kalau boleh tahu, kenapa Mas Andra nggak setuju dengan pernikahan ibu dan papa?” tanya Moza, agak berhati-hati. Ia juga masih mempertahankan sikap seolah tidak ada kisah masa lalu di antara mereka.
“Entahlah, itu juga yang masih menjadi tanda tanya bagiku.”
Moza mengernyit. “Hah? Kok gitu?”
“Sejujurnya, aku mengalami gegar otak ringan setelah kepalaku terbentur saat terjatuh dari motor. Saat kecelakaan itu, aku nggak memakai helm. Ada banyak memori yang aku lupakan, salah satunya … alasan aku nggak setuju dengan pernikahan baru ibu. Aku yakin aku punya alasan, tapi aku gagal mengingatnya.”
Andra melanjutkan, “Dan setelah dua tahun pernikahan tersebut, sepertinya ibu selalu terlihat bahagia. Itu sebabnya aku udah nggak peduli dengan alasan kenapa aku nggak merestui ibu menikah dengan papa mertuamu. Kini secara nggak langsung aku merestui mereka. Meski sampai detik ini aku nggak pernah ingin hadir di acara keluarga. Aku terlalu malu untuk datang.”
Moza bertanya-tanya, apa Andra benar-benar hilang ingatan karena gegar otak yang pria itu katakan barusan? Sungguh, Moza tak bisa membedakan Andra saat ini sedang jujur atau sekadar mengada-ada. Ini membuatnya sangat bingung.
“Ya ampun, kenapa kita membahas urusan keluarga? Padahal tujuan kita bertemu bukan untuk itu,” kata Andra lagi. “Bagaimana kalau kita mulai pembahasan tentang film yang ditawarkan pada kita berdua?”
“Ya, mari kita mulai.”
Moza masih tak habis pikir. Ia berhadapan langsung dengan Andra, tapi pria itu sungguh seperti bukan Andra yang pernah dikenalnya dulu.
“Kamu serius akan mengambil peran itu?” tanya Andra kemudian.
“Aku pasti gila kalau nggak mengambil peran itu. Bagaimana dengan Mas Andra?”
“Aku tentu nggak akan menolak tawaran berharga ini. Aku yakin kita punya alasan yang hampir sama. Ini karya penulis ternama,” ucap Andra. “Hanya saja, kamu nggak merasa canggung beradu akting denganku? Walaupun kita baru bertemu, tapi status kita saudara ipar.”
Sungguh, segala perkataan Andra membuat Moza semakin yakin kalau pria itu benar-benar tidak ingat apa pun yang terjadi antara mereka sepuluh tahun lalu.
“Itu yang pertama kali aku pikirkan saat tahu Mas Andra yang akan menjadi lawan mainku,” ucap Moza kemudian.
“Maka dari itu, Moza. Jika di antara kita ada yang harus mundur dalam proyek ini … kamu aja.”
“Kenapa aku? Aku juga mau bekerja sama dengan penulis Jofa!”
“Aku yang pertama kali mendapatkan tawaran, aku nggak bisa diganti sedangkan aku dengar female lead-nya masih bisa diganti. Utamanya, sih, aku udah tanda-tangan kontraknya.”
“Aku nggak bakalan mundur,” tegas Moza.
Mana mungkin Moza mundur padahal kesempatan untuk kembali bersinar ada di depan matanya? Selain itu, setelah menjadi pemeran utama di film karya penulis Jofa, besar potensinya untuk bisa bekerja sama lagi dengan sang penulis di proyek selanjutnya. Tak hanya itu, tidak menutup kemungkinan tawaran proyek-proyek potensial lain pun akan datang bermunculan.
Intinya jika Moza menolak proyek ini, sama halnya dengan mengubur kariernya yang semakin meredup. Moza justru berharap Andra yang mundur. Sayangnya harapannya langsung terjawab bahwa itu mustahil. Di antara mereka tidak ada yang bersedia untuk mundur.
“Kalau begitu kamu beneran nggak masalah kalau kita menjadi lawan main?”
“Aku seorang profesional,” balas Moza. “Aku bahkan pernah beradu akting dengan pria yang aku tolak cintanya.”
“Ah, benar juga. Secara karier kamu lebih senior dariku.”
“Soal rumor, seharusnya kita nggak perlu mengkhawatirkan apa pun, kan, Mas? Enggak banyak yang tahu kalau kita sebenarnya saudara ipar. Aku benar?”
Sejak dulu Moza dan Joe memang sangat menjaga privasi. Mereka tidak pernah memublikasikan keluarga sehingga publik tidak tahu kalau papanya Joe menikah dengan ibunya Andra.
“Ya, kamu benar. Penulis Jofa aja tadinya nggak tahu, makanya kepikiran untuk memasangkan kita dalam film-nya, ya karena memang hanya orang-orang tertentu aja yang tahu kita ipar,” ucap Andra. “Tapi bagaimana dengan suamimu? Dia mungkin keberatan….”
“Jangan lupa, Joe juga aktor. Dia nggak kalah profesional,” kata Moza.
Hal yang cukup penting, Moza dan Joe mempunyai perjanjian pra-nikah yang bukan hanya mengatur soal pemisahan harta, melainkan tentang hal-hal tertulis yang mereka sepakati, salah satunya profesionalisme pekerjaan mereka. Namun, Moza berjanji tetap akan cerita pada Joe soal ini.
Bersamaan dengan itu, ponsel Andra bergetar tanda ada panggilan masuk. Pria itu memohon izin untuk mengangkat teleponnya sebentar. Tentu saja Moza mempersilakan.
Selama Andra keluar dari ruangan ini untuk menjawab telepon, selama itu pula Moza memanfaatkan waktu untuk membuka peramban di ponselnya. Ia mencari tahu informasi tentang Andra, apakah benar pria itu pernah mengalami cedera lantaran kecelakaan motor?
Jujur saja, tidak banyak yang Moza tahu tentang Andra karena baginya sangat kurang kerjaan untuk stalking mantan. Hanya saja, sekarang Moza malah mengetikkan nama Andra dalam mesin pencarian.
“Ternyata benar,” gumam Moza yang saat ini membuka salah satu artikel teratas yang menyatakan bahwa Andra terlibat kecelakaan sekitar satu tahun yang lalu.
Jadi, Mas Andra sungguh amnesia? Kekonyolan macam apa lagi ini?
Sampai kemudian, Andra kembali masuk ruangan dan membuat Moza segera menekan home. Untuk mengurangi kecanggungan, Moza meraih minuman di meja dan meminumnya sedikit.
“Maaf,” ucap Andra seraya duduk di kursi seperti semula.
“Bukan masalah. Santai aja,” jawab Moza sambil meletakkan gelas di tempat semula.
Andra kemudian berbicara, “Jadi kesimpulannya, kita sama-sama nggak ada yang mau mundur. Sederhananya, kita sepakat untuk menjadi pasangan dalam film Bos Dingin itu Mantanku atau disingkat BDIM.”
“Ya,” jawab Moza.
“Kalau begitu, mohon kerja samanya, Moza Karenina,” ucap Andra sambil mengulurkan tangannya, mengajak Moza berjabat tangan.
Moza pun membalas uluran tangan Andra dan untuk pertama kalinya mereka kembali berjabat tangan setelah sekian lama.
“Ya, selamat bekerja sama,” balas Moza.
Tanpa mereka sadari, ini adalah awal. Awal dari kisah mendebarkan yang tak seharusnya dimulai.
Mas Andra … amnesia beneran, kan?