Pasca kecelakaan, Andra merasa hidupnya terasa hampa lantaran banyak memori yang terlupakan. Andra merasa tersiksa lantaran sebagian dari dirinya ingin kembali mengingat segala yang terlupakan itu. Namun, semakin Andra berusaha mengingatnya, semakin sakit kepalanya.
Sampai kemudian Andra berada di titik pasrah. Ia tidak peduli lagi ingatannya kembali atau tidak, sekarang yang terpenting baginya adalah … tetap melanjutkan hidup yang sedang dijalaninya.
Andra kemudian secara alami dekat dengan seorang fashion stylist yang tidak terlalu terkenal, namanya Karin. Saat itu Andra benar-benar belum terlalu terkenal di industri hiburan sekalipun sudah mengambil peran dalam beberapa film.
Andra sampai mencari tahu dan menonton ulang beberapa film yang diperankan olehnya dan memang tidak terlalu booming. Bersamaan dengan itu, Karin dan Andra semakin sering berinteraksi. Mereka melakukan pendekatan sampai akhirnya sama-sama merasa nyaman. Hingga akhirnya mereka memutuskan menjalin hubungan.
Setelah itu, entah kebetulan atau memang sudah takdirnya bahwa nama Andra Dirgantara perlahan mulai bersinar setelah menjadi second lead dalam film yang cukup booming. Andra pun semakin naik daun dan bisa se-terkenal sekarang yang sampai mendapatkan penawaran untuk menjadi pemeran utama karya penulis terkenal. Ya meskipun Andra harus menjadi lawan main adik iparnya sendiri.
Jadi bisa dikatakan bahwa Andra menjalin hubungan dengan Karin sejak dirinya belum se-terkenal sekarang.
“Jadi Mas Andra langsung ke sini setelah syuting podcast?” tanya Karin yang saat ini berduaan dengan sang pacar.
“Ya, tiba-tiba kangen kamu.”
Andra bohong, padahal di otaknya saat ini dipenuhi oleh Moza, Moza dan Moza. Ya, semenjak berciuman dengan Moza tadi, bahkan sampai malam begini Andra masih memikirkan adik iparnya itu.
Andra sengaja mendatangi Karin agar bisa melupakan apa yang terjadi antara dirinya dengan Moza hari ini, tapi Moza malah seakan tak mau pergi dari pikirannya.
“Tiba-tiba kangen?” Karin pun terkekeh. “Tiba-tiba banget?” tambahnya.
“Sebenarnya setiap hari aku kangen, tapi mau gimana lagi? Belakangan aku sibuk.”
“Ya, proyek film baru kamu lumayan bikin kamu sibuk, kan, Mas? Belum lagi jadwal kamu yang lain.”
Semenjak memutuskan menjadi pacar dari seorang aktor, tentu Karin sudah paham betul bahwa ia harus bisa menahan cemburu saat Andra harus dipasangkan dengan perempuan lain dalam sebuah film. Ya, Karin tahu betul itu adalah risiko yang harus diambilnya saat menjalin hubungan dengan seorang aktor.
“Aku udah mulai mengurangi jadwal lainnya, kok, karena memang harus fokus pada film BDIM,” kata Andra kemudian.
“Gimana rasanya beradu akting sama adik ipar kamu, Mas? Belakangan Mas Andra lebih sering berduaan sama Moza Karenina, kan? Dibanding sama aku,” tanya Karin sambil tertawa agar tidak terkesan sedang marah karena faktanya wanita itu santai terlepas dari siapa pun lawan main Andra.
Meski tak bisa dimungkiri Karin agak ketar-ketir setelah tahu akan ada kissing scene dan bed scene yang intens, tapi mau bagaimana lagi? Ia tak bisa melarang Andra.
Sekali lagi, ini adalah risiko yang harus Karin ambil saat berpacaran dengan seorang aktor. Karin bahkan tidak menuntut agar hubungan mereka go public. Ia justru setuju sebaiknya hubungan mereka tetap menjadi rahasia demi kenyamanan mereka berdua.
“Rasanya berakting dengan adik ipar? Biasa aja.”
Memang benar awanya biasa saja, tapi setelah ciuman tadi … jelas bohong jika Andra masih bilang biasa saja. Sejujurnya Andra mulai penasaran kenapa ciumannya dengan Moza terasa familier, berbeda dengan ciumannya dengan Karin barusan yang bahkan debarannya tak se-hebat saat melakukannya dengan Moza.
Andra menambahkan, “Seperti peran-peran sebelumnya aja. Kami sama-sama profesional,” jelas Andra yang tidak sepenuhnya jujur.
Profesional apanya? Hari ini untuk pertama kalinya Andra terbawa suasana setelah beberapa kali berlatih sekaligus melakukan pendekatan dengan Moza. Dan sepertinya pria itu bukan sekadar terbawa suasana saja, melainkan terbawa perasaan juga.
Selain itu, Andra merasa dejavu seolah ada tanda-tanda ingatannya mau kembali sampai sakit kepala. Haruskah Andra membuktikan apakah benar ada keanehan saat dirinya berciuman dengan Moza? Cara membuktikannya … tentu pria itu harus mencium Moza sekali lagi.
Ah, sial. Bahkan pada saat-saat begini, bisa-bisanya Andra semakin memikirkan Moza, padahal di hadapannya jelas-jelas ada Karin. Seharusnya Andra jangan begini.
Tapi ini di luar kendaliku. Aku memikirkan Moza bukan karena aku ingin, melainkan karena sosoknya terlintas begitu saja di otakku….
***
Bersamaan dengan Andra yang terus memikirkan Moza, tentu saja Moza juga tak henti-hentinya memikirkan Andra. Padahal ini sudah malam dan Moza sudah melakukan berbagai aktivitas dari berenang di rumah mertuanya hingga beres-beres apartemennya, wanita itu tetap tak bisa menghilangkan Andra dari pikirannya.
Bahkan setelah Moza mandi keramas, berusaha membuat kepalanya jauh lebih segar … sayangnya tidak ada yang berbeda, Andra seolah tak mau pergi dari otaknya.
Sekarang waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Moza masih duduk di depan cermin meja rias di kamarnya. Ia sudah memakai setelan tidurnya dan saat ini sedang melakukan rutinitasnya dalam merawat kulit wajahnya dengan memakai serangkaian skincare dari brand ternama.
Konyolnya, Moza terus-terusan membayangkan saat Andra melumat bibirnya. Jantungnya berdetak sangat cepat seolah itu merupakan ciuman pertama mereka, padahal secara teknis bukan karena saat mereka menjadi kekasih dulu … mereka pernah berciuman.
Namun, tidak salah juga jika tadi dikatakan ciuman pertama mereka. Lebih tepatnya ciuman pertama dengan status mereka sebagai saudara ipar.
“Apa aku tadi terkesan menikmatinya?” gumam Moza setelah selesai dengan skincare-nya yang berjajar rapi di meja rias.
Bahkan, sampai detik ini Andra belum menghubunginya untuk meminta maaf atau setidaknya menjelaskan arti dari ciuman tadi. Ah, lagi pula kenapa Moza berharap Andra menjelaskan? Memangnya apa yang ingin wanita itu dengar?
Moza kemudian menggeleng. Jika saat mereka bertemu lagi nanti lalu Andra bersikap seolah ciuman hari ini tidak pernah terjadi … Moza juga akan melakukan hal yang sama.
Stop memikirkan Andra! Sekarang yang harus Moza pikirkan adalah Joe. Kenapa suaminya itu belum pulang? Padahal Joe sempat bilang kalau perkiraan tiba tidak akan lebih dari jam sembilan. Apa jalanan se-macet itu?
Moza kemudian mengecek ponselnya, tidak ada chat dari Joe yang menyatakan kalau pria itu akan pulang terlambat. Moza kemudian mengirimkan pesan pada Joe, bertanya kalau sekarang suaminya itu ada di mana? Masih di lokasi syuting atau dalam perjalanan pulang. Sayangnya, Joe tidak membalas. Jangankan membalas, dibaca pun tidak.
Sambil menunggu balasan Joe, Moza ke dapur untuk mengambil air dingin di kulkas. Ia butuh minum yang banyak sekarang. Bersamaan dengan Moza yang sedang meletakkan gelas bekas minumnya ke bak cuci piring, terdengar suara seseorang masuk. Sudah pasti itu Joe.
Moza kemudian menghampiri Joe yang kini sedang membuka sepatunya.
“Aku haus, Sayang,” ucap Joe.
Tanpa ba-bi-bu, Moza segera kembali ke dapur untuk mengambil air minum. Ia kemudian menyerahkannya pada sang suami.
“Kamu ngirim pesan? Maaf aku baru lihat, tadi lagi di jalan,” kata Joe sambil meletakkan ponselnya di meja, lalu mengambil alih sebotol air yang Moza serahkan padanya.
Memang benar saat Moza mengirim pesan, Joe sedang di jalan setelah bersenang-senang dengan Shenna di apartemen lawan mainnya itu. Joe seharian ini syuting, tapi alih-alih langsung pulang ke apartemennya saat selesai, Joe malah menghabiskan waktu di tempat Shenna dulu.
Joe yang awalnya ogah-ogahan, sialnya mulai menikmati perselingkuhan tak disengaja ini. Konyolnya, malam ini Joe berhubungan intim dengan Shenna sampai dua ronde. Itu sebabnya Joe yang niatnya ingin mampir ngamar di apartemen Shenna paling lama hanya satu jam, malah lebih.
Joe sampai berpikir … jangan-jangan dirinya diguna-guna oleh Shenna.
“Kamu mau langsung mandi?”
Joe tidak langsung menjawab karena saat ini pria itu sedang menenggak minumannya. Setelah menyisakan sepertiga air dari botol tersebut, Joe kemudian menatap Moza.
“Ya, aku mau langsung mandi dan tidur. Aku udah capek syuting ditambah kena macet. Jadi dobel-dobel capeknya.”
“Kalau aku bilang aku butuh dipuaskan malam ini juga … apa aku bakalan dianggap nggak pengertian?” tanya Moza yang memang kenyataannya sedang butuh dipuaskan bahkan sejak beberapa waktu yang lalu.
Hanya saja, kondisi seperti malam ini terus terulang. Joe pulang dalam keadaan lelah dan ingin langsung tidur.
“Sayang….”
“Aku kadang merasa aneh loh. Aku normal nggak, sih, begini? Maksudku … biasanya laki-laki yang menggebu-gebu pengen berhubungan intim, tapi kenapa belakangan hanya aku yang pengen?”
Bahkan, beberapa hari yang lalu Moza sempat melakukannya sendirian menggunakan tangannya. Lebih gilanya lagi, Moza sampai kepikiran untuk membeli alat untuk membantunya mendapatkan kepuasan. Namun, wanita itu tidak serta merta sampai membelinya. Apa-apaan?
“Kamu normal banget, Sayang. Wajar orang yang udah menikah ingin berhubungan terlebih bersama suaminya….”
“Ya iyalah sama suami. Memang sama siapa lagi kalau bukan sama kamu, Joe?”
“Moz, aku paham banget keinginan kamu. Kamu pasti kesepian karena aku sibuk banget. Tapi mau gimana lagi? Sinetronku stripping dan….”
“Kalau ini jadi bahan debat, ujung-ujungnya aku yang dianggap nggak ngertiin kesibukan kamu,” potong Moza.
“Enggak, Sayang. Aku yang salah karena gagal membagi waktu. Seharusnya kamu tetap yang utama, seharusnya aku menyempatkan memberimu kepuasan batin sekalipun aku sibuk. Aku yang salah.”
“Terserah deh. Udahlah sana mandi.”
“Aku janji malam ini yang terakhir, Sayang. Aku janji hal-hal seperti malam ini nggak bakalan terjadi lagi. Aku janji untuk selanjutnya … tanpa kamu minta pun, aku bakalan ngajakin kamu duluan. Terlepas dari se-sibuk dan se-capek apa pun aku. Aku janji.”
Andai malam ini Joe tidak ‘bermain’ dengan Shenna sampai dua ronde, sudah pasti ia akan menyelesaikan masalah ini dengan menggiring Moza ke ranjang lalu melakukan aktivitas panas yang selama ini menjadi favorit mereka. Masalahnya adalah … Joe tidak yakin bisa maksimal setelah energinya terkuras bersama Shenna. Itu sebabnya lebih baik tidak usah. Daripada membuat Moza semakin merasa kecewa karena staminanya loyo.
“Aku janji besok pagi kita melakukannya, Sayang,” kata Joe lagi.
“Kenapa besok pagi?” Jujur, Moza pikir Joe akan merayunya dengan penuh effort lalu ujung-ujungnya mereka akan melakukannya. Namun, pria itu bilang besok bahkan setelah melihat Moza se-kecewa ini?
“Kalau sekarang, gimana kalau permainan jariku yang lihai dulu?”
“Enggak usah.”
“Sayang….”
“Udahlah, mandi sana. Terus tidur dan istirahat.”
“Terus kamunya gimana?” Joe yakin istrinya bukan sekadar marah, pasti sangat kecewa. Terlebih ini bukan pertama kalinya ia menolak berhubungan suami istri.
“Maafkan aku, Moza,” batin Joe.
“Aku juga mau tidur.”
“Kamu mau aku temenin berlatih?” tawar Joe. Mereka memang terkadang saling membantu berlatih.
“Aku mau tidur,” tegas Moza lalu berjalan menuju kamarnya, meninggalkan sang suami yang terlihat merasa bersalah.
Di dalam kamar, Moza langsung berbaring di tempat tidurnya. Ia sudah menarik selimutnya saat Joe masuk ke kamar.
“Kalau begitu aku mau mandi,” ucap Joe seraya meletakkan ponselnya di atas nakas. Pria itu juga telah mengambil handuknya.
Moza tidak menjawab, lebih memilih berbaring menyamping membelakangi Joe. Sementara itu, Joe tampaknya sudah masuk ke kamar mandi. Moza menoleh ke arah pintu kamar mandi dan memang benar suaminya itu sudah menutup pintu kamar mandi dari dalam.
Bersamaan Moza yang kembali ke posisi semula, membelakangi Joe. Terdengar Joe keluar dari kamar mandi. Tidak mungkin pria itu sudah selesai mandi karena belum ada lima menit Joe masuk ke sana.
Tunggu, jangan bilang ini akan menjadi upaya terakhir yang Joe lakukan. Ya, jangan-jangan Joe akan memaksanya berhubungan intim agar ia tak marah lagi. Kalau begitu, dengan senang hati Moza akan menyambutnya.
Moza mulai membayangkan Joe yang hanya memakai handuk di pinggangnya, mendekat ke arah ranjang lalu memulai aktivitas yang sangat Moza inginkan sekarang. Moza tersenyum dan berpura-pura memejamkan mata, terlebih langkah kaki Joe perlahan mulai mendekat. Namun, tanpa diduga pria itu kembali lagi ke kamar mandi.
Untuk memastikan, Moza kembali membuka matanya dan duduk sejenak. Rupanya Joe benar-benar balik lagi ke kamar mandi. Sekarang pertanyaannya … untuk apa Joe barusan keluar? Memangnya ada yang ketinggalan? Atau Joe balik lagi karena mengira Moza sudah tidur sehingga tak ingin mengganggu?
Sampai kemudian Moza menyadari satu hal. Di nakas tidak ada ponsel Joe. Apa suaminya itu keluar untuk mengambil ponsel? Memangnya sejak kapan Joe mandi membawa ponsel? Moza sampai heran.
“Bikin curiga aja. Padahal selama ini aku nggak pernah mengecek ponsel kamu, Joe,” gumam Moza.
Berusaha tidak peduli, Moza memilih kembali berbaring dan memejamkan matanya. Curiga hanya akan membuang-buang energi, terlebih Moza saat ini harus fokus pada proyek film.
***
“Aku janji besok pagi kita melakukannya, Sayang.”
Perkataan Joe masih terngiang jelas di telinga Moza. Sekarang buktinya apa? Pagi-pagi sekali Joe sudah berangkat ke lokasi syuting. Pria itu pasti lupa dengan janjinya tadi malam. Ah, lagian Moza juga tidak akan mengingatkan sekalipun pria itu masih ada di sini.
Moza saat ini sedang berlatih dialog-dialog yang akan ia katakan saat berperan sebagai Asa, tiba-tiba ponselnya bergetar tanda ada pesan masuk. Rupanya Sely yang mengirim pesan.
Moz, jangan lupa kirim foto selfie kamu pas lagi pakai jam tangan Qivee. Aku perlu unggah dan tag brand-nya.
Ah, benar juga. Moza baru ingat sejak tadi malam ia belum melihat keberadaan jam tangan itu. Sebentar … Moza berusaha mengingat-ingat. Terakhir kali ia memakainya kemarin di rumah mertuanya.
“Sebelum berenang, aku copot jam-nya dan setelah itu aku nggak pakai lagi.”
Bisa dipastikan jam-nya ketinggalan di kamar pribadinya dengan Joe yang ada di rumah Nando. Tanpa pikir panjang, Moza berangkat menuju kediaman mertuanya. Ia mengemudikan mobilnya sendiri, karena ini memang kesalahannya yang teledor sehingga menurutnya tidak perlu merepotkan Sely agar mengambilkan jam itu untuknya.
Moza juga langsung menghubungi mertuanya dan bilang kalau ia akan datang untuk mengambil jam yang ketinggalan. Moza juga kemungkinan hanya sebentar di sana.
***
Saat ini Moza baru saja meletakkan jam tangan ke dalam tasnya. Ya, alih-alih memakainya, Moza sengaja menyimpannya di dalam tas saja. Saat hendak keluar dari kamarnya di rumah ini, Moza samar-samar mendengar suara aneh yang membuatnya penasaran.
Sampai kemudian Moza menyadari suara aneh itu berasal dari ruang latihan yang pintunya terbuka. Letak kamar dengan ruang latihan memang berdekatan dan sama-sama berada di lantai dua.
Sebentar … kenapa ada suara di ruang latihan? Maksudnya, ini bukan tentang hal-hal berbau horor. Moza yakin suara itu berasal dari pengeras suara yang memang cukup keras agar saat menonton film di sana vibes-nya seperti menonton bioskop. Itu sebabnya di sana juga ada peredam suara sehingga baik saat latihan maupun menonton film akan jauh lebih nyaman.
Masalahnya adalah saat ini pintunya terbuka, membuat suara film yang diputar itu terdengar sampai ke kamar pribadi Moza dengan Joe.
Moza ingat … tadi dalam perjalanan, ia sempat berpapasan dengan Naya dan Nando yang sedang berjalan-jalan pagi. Jika bukan mereka yang sedang menonton, lalu siapa? Apa mereka lupa mematikan film-nya?
Perlahan Moza melangkah menuju ruang latihan untuk memastikan siapa yang sedang menonton film se-pagi ini. Semakin dekat, Moza semakin menyadari kalau film yang sedang diputar bukanlah film biasa, melainkan film dewasa yang secara kebetulan sedang menampilan adegan ranjang.
Moza yang awalnya mendengar suara desahan khas percintaan panas di ranjang, kini benar-benar melihat adegannya saat kakinya sudah berdiri di ambang pintu ruang latihan. Sebagai wanita normal terlebih sudah menikah dan tentunya tahu betul bagaimana rasanya, tentu Moza langsung bereaksi. Apalagi ia benar-benar sudah lama tidak melakukannya dengan Joe, membuat Moza kesulitan menahan diri.
“Ah, aku bisa gila,” batin Moza.
Bagaimana tidak, Moza yang belakangan memang sedang butuh sentuhan malah disuguhkan tontonan seperti ini. Sudah pasti hasratnya semakin menggila.
Moza kemudian masuk ke ruang latihan yang memang tidak ada siapa-siapa di sana. Dugaan sementara, Moza berpikir kalau mertuanya memang lupa mematikan film-nya. Moza bahkan memeriksa kamar mandi yang tersedia di ruang latihan tersebut dan memang sungguh tidak ada siapa-siapa.
“Mertuaku memang nakal, bukannya dimatiin dulu kalau mau jalan-jalan,” batin Moza lagi sambil menggeleng tak habis pikir.
Sekarang bukan hanya mertuanya yang nakal. Moza juga yang sudah terpancing hasratnya mulai nakal sehingga tanpa ragu menutup sekaligus mengunci ruang latihan dari dalam.
Aman.
Moza sungguh tak bisa mengendalikan dirinya lagi. Otaknya sudah dipenuhi gairah yang akan membuatnya uring-uringan jika tidak terlampiaskan. Itu sebabnya di sinilah Moza sekarang. Wanita itu sudah merebahkan tubuhnya dan bersiap memberikan kepuasan untuk dirinya sendiri.
Menurut Moza, apa yang akan dilakukannya tidak akan lama. Ia akan selesai sebelum mertuanya kembali.
Sambil berbaring, rok yang Moza pakai sudah tersingkap, kancing kemejanya pun telah dibuka beberapa sehingga bra-nya serta dua bulatan di dalamnya langsung terekspos.
Tanpa ragu, Moza memasukkan tangannya ke dalam underwear-nya. Ia mulai memejamkan mata sambil membayangkan sedang dipuaskan oleh Joe, seolah bukan sedang bermain sendirian seperti ini. Moza juga spontan mengeluarkan desahan sebagai tanda ia menikmati permainannya sendiri. Dan yang membuat Moza lebih liar adalah … film-nya seolah mendukung karena kembali menampilkan adegan ranjang.
“Mau aku bantu?”
Deg.
Moza langsung terperanjat saat mendengar suara berat yang sangat familier. Moza juga segera menghentikan permainan mandirinya.
I-itu … suara Mas Andra?
Oh tidak, mati aku!