Moza menuruni tangga yang menghubungkan lantai dua dengan ruang tamu di lantai satu. Ia kemudian keluar melalui pintu utama dan langsung berpapasan dengan mertuanya yang berada di beranda. Moza yakin Naya dan Nando pasti baru saja melepas kepergian Andra.
“Mas Andra udah pulang, ya?” tanya Moza, berusaha bersikap biasa saja. Seolah tidak ada hal tak lazim yang ia dan Andra lakukan beberapa menit yang lalu.
“Iya, katanya dia mau syuting di studio pribadinya salah satu artis terkenal. Papa dengar, sih, dia bakalan menjadi guest star di podcast-nya si artis,” jelas Nando.
Moza kemudian melirik jam di tangannya. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Tentu Moza tahu Andra akan mengisi acara podcast karena tadi pria itu juga sempat bercerita pada Moza kalau akan pulang paling cepat setidaknya pukul empat sore karena syuting podcast-nya dimulai pada pukul lima sore. Jaraknya dekat sehingga satu jam adalah waktu yang lebih dari cukup untuk bersiap-siap.
Hanya saja, ini masih jam tiga! Bukankah sangat jelas kalau Andra memang sengaja pulang jauh lebih cepat dari yang direncanakan?
Moza seharusnya tidak merasa heran mengingat apa yang ia dan Andra lakukan termasuk hal yang tidak seharusnya mereka lakukan. Untuk itu, biarkan saja Andra kabur duluan. Terlebih Moza juga pasti akan sangat canggung jika pria itu masih di sini.
“Padahal seharusnya dia anterin Moza pulang dulu,” timpal Naya.
“Aku nanti pulangnya dijemput Sely, Bu. Tenang aja,” balas Moza. “Lagian nggak se-arah juga kalau sama Mas Andra. Itu sebabnya aku mempersilakan Mas Andra pulang duluan.”
“Lagian Moza masih pengen di sini. Iya, kan?” Kali ini Nando yang bertanya.
“Iya, Pa. Sejujurnya aku pengen berenang di kolam belakang.”
“Kalau begitu berenanglah, Moz. Bersantailah seperti biasa. Bukankah kamu sudah menganggap ini seperti rumahmu sendiri sejak dua tahun lalu?”
Moza mengangguk-angguk. “Iya, Pa. Kalau nggak aku anggap rumah sendiri, nggak mungkin aku sengaja ninggalin beberapa pakaian ganti di sini.”
Ya, Moza memang punya kamar pribadi di rumah ini, yakni kamar yang dulunya Joe tempati. Ia juga tanpa sungkan meninggalkan beberapa pakaian di lemari agar jika sewaktu-waktu ia dan Joe berkunjung ke sini tidak perlu bingung jika butuh pakaian ganti.
“Benar juga. Kalau begitu kapan-kapan menginaplah di sini. Setelah dipikir-pikir, udah lama kamu nggak menginap. Kalau tidak salah terakhir lebih dari satu tahun yang lalu,” kata Naya. “Ajak Joe juga. Nanti kita barbeku-an di halaman belakang. Pasti menyenangkan.”
“Ya, akan sangat menyenangkan karena sekarang formasi keluarga ini udah lengkap. Andra udah mau bergabung bersama kita,” timpal Nando.
“Itulah yang ibu sangat syukuri, Pa,” balas Naya. “Ah iya, Moza. Silakan kalau mau berenang,” tambahnya sambil menoleh pada sang menantu.
“Kalau begitu aku ke sana dulu ya, Bu, Pa,” pamit Moza yang memang sangat ingin menyegarkan pikirannya dengan cara berenang. Siapa tahu saja setelah berenang, wanita itu bisa berpikir jauh lebih jernih.
Selain itu, bukan sekali dua kali Moza ingin berenang saat berkunjung ke rumah mertuanya ini, jadi ini pastinya tidak akan dinilai aneh. Ya, Moza yakin mertuanya tidak akan merasa janggal.
Sambil berjalan menuju kamar pribadinya untuk mengambil baju renang, ponselnya bergetar tanda ada panggilan masuk. Rupanya sang manajer yang menghubunginya.
“Moz, kamu mau dijemput jam berapa jadinya?”
“Sekitar satu jam-an lagi aja, ya.”
“Oke,” balas Sely di ujung telepon sana. “Kakak ipar kamu masih di sana?”
“Enggak. Mas Andra udah pergi duluan buat syuting podcast,” jawab Moza. “Dah ya, aku pengen berenang dulu.”
“Enggak heran. Kamu pasti berenang.”
“Kamu tahu sendiri, kolam renang di rumah mertuaku berasa kolam renang pribadiku,” kekeh Moza. “Ya udah ya Sel, aku tutup.”
Setelah menutup sambungan teleponnya, Moza segera melepas jam tangan, berganti pakaian lalu bergegas ke kolam renang yang ada di bagian belakang rumah besar dan mewah ini. Tentunya, Moza tidak lupa mengunggah IG-story tentang suasana di kolam renang yang kelihatannya sangat menyegarkan itu. Ia juga sekalian selfie dan hanya membagikannya secara ekslusif saja.
Setelah itu, Moza mulai berenang sambil berusaha menghilangkan Andra yang terus-terusan berada di dalam pikirannya, terutama tentang ciuman yang mereka lakukan tadi.
“Lupakan, Moz. Lupakan,” batinnya.
***
Naya menghampiri suaminya yang kini sudah kembali ke gazebo, tempat favorit mereka. Pasangan paruh baya itu bisa pagi, siang dan sore duduk berdua di tempat tersebut. Naya lalu meletakkan nampan yang terdapat berisi teh hangat yang telah diisi ulang.
Nando kemudian mengecilkan volume musik yang sedari tadi diputar tanpa henti.
“Moza beneran berenang?” tanya Nando tepat saat sang istri mengambil posisi duduk di sampingnya.
“Iya, tadi ibu mau sekalian siapin minuman dan camilan buat Moza, ternyata sudah lebih dulu disiapkan oleh si bibi,” balas Naya. Tadi saat ingin mengisi ulang teh hangat, ia memang sudah kepikiran untuk menyuguhkan jus jeruk dan buah-buahan di samping kolam renang. Namun, ART di rumah ini yang biasa dipanggil ‘bibi’ rupanya sangat bisa diandalkan.
“Seperti biasa, si bibi udah paham banget dan langsung menyuguhkannya untuk Moza,” sambung Naya.
Jeda sejenak.
“Ibu tahu? Terkadang papa merasa kalau Moza yang anak papa, bukan menantu,” ucap Nando. “Papa benar-benar menganggapnya seperti anak sendiri. Saat berkunjung ke sini, dia juga tidak sungkan selayaknya seorang anak yang sedang berkunjung ke rumah orangtuanya. Itu yang sangat papa sukai dari Moza,” sambungnya.
“Papa benar, ibu juga merasa sayang banget sama Moza. Apa mungkin karena kita sama-sama tidak punya anak perempuan?”
“Bisa jadi,” balas Nando. “Ditambah Moza-nya juga sangat pintar menempatkan diri. Tidak bisa dimungkiri kehadiran Moza membuat keluarga ini semakin luar biasa. Kini ada dua wanita hebat dan tiga pria beruntung.”
Naya tersenyum. “Ibu juga sangat bahagia dengan kebersamaan kita. Apalagi sekarang Andra sudah mulai mau ikut bergabung,” ucapnya. “Kecelakaan itu … telah mengubah Andra menjadi seperti sekarang.”
“Ya, Ibu benar. Kecelakaan Andra cukup membawa dampak yang besar. Kita memang sangat bersedih saat itu terjadi, tapi kita juga tidak pernah tahu kalau akibat kecelakaan itu … Andra menjadi kehilangan sebagian ingatannya.”
“Sekarang ibu percaya bahwa selalu ada hal positif dalam hal apa pun, termasuk dalam musibah. Andra kini mau ikut bergabung dalam kumpul keluarga dan yang terpenting dia merestui kita, Pa.”
“Entah apa yang membuatnya dulu bersikeras tidak merestui pernikahan kita, papa yakin sekarang Andra tahu kalau kita berdua sangat bahagia saat bersama. Dia pasti akan tetap merestui kita sekalipun ingatannya tiba-tiba kembali.”
“Itu memang salah satu yang sangat ibu syukuri, Pa. Andra akhirnya merestui kita. Selain itu, ada hal lain yang juga ibu merasa Andra memang sudah ditakdirkan untuk hilang ingatan.”
“Ini soal gagal move-on-nya Andra yang pernah Ibu ceritakan, kan?”
Naya mengangguk. “Entah siapa perempuan yang membuat Andra gagal move-on, yang kemudian menghancurkan rumah tangganya dengan Kiara, juga membuatnya menduda sampai hari ini … ibu berharap ingatan Andra jangan pernah kembali.”
“Papa paham,” balas Nando. “Sepertinya Andra memang sudah ditakdirkan amnesia. Itu satu-satunya cara dia bisa move-on dari perempuan yang entah siapa.”
“Ya, biar begini saja. Andra lebih baik begini,” kata Naya. “Ibu bahkan tidak membiarkannya masuk ke apartemen lamanya yang takutnya malah mengembalikan ingatannya.”
Selama beberapa saat, tidak ada yang berbicara lagi. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sambil menikmati tembang kenangan yang masih terus diputar.
“Pa,” panggil Naya kemudian.
Nando pun menoleh. “Iya, Bu?”
“Kira-kira bahaya tidak, sih, Moza dan Andra harus beradegan dewasa?” tanya wanita paruh baya itu. “Ibu tahu mereka pasti lebih paham dan keduanya sama-sama profesional, tapi tetap aja jauh di dalam hati ibu merasa takut. Takut kalau … papa pasti paham maksud ibu,” lanjutnya.
“Sebenarnya agak mengkhawatirkan dan membuat resah apalagi melihat Moza dan Andra tadi terlihat sangat cocok jika bersama, tapi papa percaya Andra menganggap Moza sebagai adik, begitu juga sebaliknya … Moza menganggap Andra sebagai kakak,” jawab Nando. “Dalam situasi seperti sekarang, papa hanya bisa berpikir positif dan berharap pikiran positif ini adalah yang benar-benar terjadi.”
“Baiklah, ibu juga akan berusaha berpikir positif.”
Nando pun berkata, “Tadi papa bilang Moza dan Andra terlihat cocok saat bersama, bukan? Itu tandanya mereka sudah berhasil membangun chemistry yang apik. Mereka memang berbakat dalam seni peran.”
Nando melanjutkan, “Joe juga sama. Dia juga chemistry-nya bagus sama lawan mainnya di sinetron. Siapa namanya, ya? Sampai lupa.”
“Shenna Amanda, Pa.”
“Nah itu, Joe sama Shenna juga terlihat cocok bersama. Tandanya mereka berhasil membawakan perannya. Sampai-sampai beberapa netizen bilang ingin menjodohkan mereka kalau aja Joe belum menikah,” kekeh Nando. “Intinya papa percaya pada mereka semua, Bu. Bukan hanya pada Moza dan Andra. Papa juga percaya pada Joe. Mereka semua tidak mungkin macam-macam karena ada nama besar yang mereka pertaruhkan kalau berani aneh-aneh.”
“Ya, semoga. Semoga film mereka sukses dan semuanya profesional sampai akhir,” ucap Naya.
“Kalau papa boleh tahu, apa sekarang Andra punya pacar? Maksudnya sebelum amnesia Andra hanya memikirkan satu perempuan yang membuatnya gagal move-on, tapi bagaimana dengan setelah amnesia?”
“Kabar baiknya … Andra punya pacar. Mereka memang belum lama berpacaran, tapi ibu berharap Karin bisa sepenuhnya menghapus secara permanen tentang perempuan yang membuatnya gagal move-on.”
“Jadi namanya Karin?”
“Ya. Namanya Karin. Sayangnya ibu tidak tahu lebih banyak tentang siapa dia karena sejak dulu … Andra memang hampir tak pernah terbuka soal perempuan. Dia hanya akan mengenalkan perempuan pada ibu saat sudah yakin sepenuhnya akan menikahi perempuan tersebut. Contohnya mantan istrinya dulu.”
Nando mengangguk-angguk.
“Papa berharap segala yang terbaik untuk keluarga kita,” pungkas Nando seraya merangkul sang istri.
***
Andra penasaran setengah mati. Selain berciuman dengan Moza terasa sangat familier hingga membuatnya tiba-tiba dejavu, tak bisa dimungkiri kalau pria itu juga berdebar hebat. Jantungnya berdetak sangat cepat saat bibirnya bersentuhan dengan bibir Moza. Hal yang hampir tak pernah dirasakannya saat berciuman dengan Karin, pacar rahasianya dari kalangan non-selebritas.
Rahasia? Karena Andra memang sengaja backstreet dari para penggemarnya kalau sebenarnya ia menjalin hubungan dengan seorang wanita. Bukannya apa-apa, nama Andra belakangan mulai naik daun dan ia khawatir jika statusnya yang memiliki pacar akan berpengaruh pada kariernya.
Selain itu, Andra tidak mau para penggemarnya tahu kehidupan pribadinya sampai se-detail itu. Terutama privasi Karin yang mungkin bisa saja terganggu jika publik tahu statusnya bukan sekadar fashion stylist bagi Andra, melainkan pacar juga. Belum lagi adanya pro dan kontra tentang hubungan mereka yang kemungkinan akan mengusik kenyamanan mereka berdua. Itu sebabnya Andra dan Karin sepakat untuk merahasiakan hubungan mereka.
Bukankah yang penting saling sayang? Tidak peduli publik tahu atau tidak.
Malam ini, Andra berkunjung ke apartemen yang Karin tempati. Letaknya satu lokasi dengan apartemen yang Andra tinggali, hanya beda tower saja.
Jangan ditanya apa yang mereka lakukan selain mengobrol untuk melepas rindu. Meskipun tidak pernah sampai berhubungan badan, saat ada kesempatan mereka hampir tak pernah absen berciuman selayaknya pasangan yang dimabuk asmara.
Seperti sekarang … Andra mencium Karin. Andra sebenarnya ingin sekaligus menghapus sisa-sisa sentuhan bibir Moza di bibirnya, menggantinya dengan bibir yang seharusnya bersentuhan dengannya. Terlebih Andra sadar sepenuhnya kalau tadi bukanlah bagian dari akting. Ya, jelas-jelas Andra melakukannya lantaran terbawa suasana.
Saat mencium Karin, anehnya Andra tak merasakan debaran hebat yang tadi dirasakannya saat mencium bibir Moza.
Bahkan, Andra baru menyadari bahwa memang sejak awal … debarannya untuk Karin memang cenderung biasa saja. Sedangkan saat bersama Moza tadi, kenapa Andra merasakan ada yang berbeda?
Konyolnya lagi, Andra terus membayangkan Moza sekalipun saat ini dirinya sedang berciuman dengan Karin.
Oh tidak! Kenapa jadi begini?
Apa aku gila jika ingin mencium bibir Moza lagi?