Bab 19

1490 Kata
Suasana pagi di Kota Jakarta terlihat ramai dan sibuk seperti biasanya. Seluruh warga Jakarta nampak sibuk mengawali hari dengan aktivitas mereka masing-masing. Seperti yang lainnya, Vanya Ria Salvadora juga nampak sibuk melakukan rutinitas hariannya. Gadis berusia 26 tahun itu terlihat berjalan santai memasuki sebuah gedung stasiun televisi, tempatnya bekerja sebagai seorang wartawan selama tiga tahun terakhir. Berbeda dari hari biasanya, ia lebih bersemangat datang ke kantor hari ini karena ada tugas lapangan yang harus ia lakukan bersama dengan Rino. Tanpa menunggu lama, Vanya langsung memasuki lift bersama beberapa karyawan lain dan tidak lupa menekan tombol lantai divisinya. Hanya menunggu beberapa menit hingga akhirnya ia tiba di lantai tujuannya itu. Vanya langsung berjalan keluar lift ketika pintu lift di hadapannya terbuka. Dengan langkah santai ia berjalan menuju ruangan divisinya, dimana beberapa karyawan terlihat sudah datang dan mulai sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. “Pagi,” sapa Vanya sambil berjalan ke arah meja kerjanya. “Pagi juga Vanya, “ balas Dewi dan Intan serentak sambil tersenyum ramah pada Vanya. Vanya meletakkan tasnya kemudian segera duduk di kursinya. Ia sempat melirik ke arah sampingnya dengan pandangan bingung. “Rino mana, kok jam segini belum dateng sih?” Tanya Vanya yang kembali menatap Intan dan Dewi bergantian dengan ekspresi bingung. “Paling bentar lagi dateng anaknya,” jawab Intan. Vanya nampak mengangguk paham setelah mendengar jawaban Intan. “Tumben gue dateng lebih dulu dari tuh anak,” gumam Vanya sambil tersenyum kecil. “Oh iya Vanya, hari ini kamu sama Rino ada tugas liput di lapangan ya?” Tanya Dewi tiba-tiba. Vanya yang baru saja akan membuka komputernya memberikan anggukan sebagai jawaban. “Makanya aku harus nyelesaiin kerjaan aku sekarang sebelum berangkat sama Rino,” ujar Vanya yang terdengar sangat bersemangat. “Ini berita yang cukup besar dan berpotensi bakal jadi berita utama dalam tayangan berita. Pokoknya aku harus dapat materi yang bagus untuk plot berita ini,” lanjutnya dengan penuh tekad. “Semangat ya. Kita yakin kamu sama Rino pasti bakal dapet materi berita yang bagus.” Vanya mengangguk dengan senyuman lebar di wajahnya. “Vanya.” Suara seseorang yang memanggilnya membuat gadis itu langsung mengalihkan pandangan ke arah sumber suara tersebut. Saat itu terlihat Mba Putri yang berdiri di depan pintu ruangannya sedang menatap ke arah Vanya. “Ke ruangan saya sekarang,” perintah Putri yang kemudian langsung masuk lebih dulu ke ruangannya. Paham dengan perintah atasannya itu, Vanya segera bangun dari duduknya dan berjalan menuju ruangan wanita itu. Sampai di dalam ruangan terlihat Mba Putri yang duduk di mejanya dan menatap ke arah Vanya yang berjalan dari pintu menuju kursi di hadapannya. “Ada apa ya Mba manggil saya?” tanya Vanya begitu ia sudah duduk di kursinya. Sebelum menjawab pertanyaan Vanya, Putri terlihat mengambil sebuah berkas yang ada di atas mejanya dan menyodorkannya pada Vanya. Walau kebingungan Vanya tetap menerima berkas yang diberikan atasannya itu. “Ini apa mba?” Tanya Vanya. “Hari ini kamu dan Rino bakal turun ke lapangan kan untuk nyelidikin berita praktik suap dari mentri perdagangan kan?” Tanya Putri. “Itu beberapa referensi terkait berita tersebut dan petunjuk untuk langah penyelidikan kalian. Saya udah rangkum semuanya dengan lebih sederhana untuk mempermudah kamu. Pastikan kamu bisa mendapatkan informasi yang bagus dan dari sumber terpercaya.” Vanya tentu saja langsung tersenyum senang mendengar hal itu. “Ya ampun Mba, makasih banyak,” ucapnya kegirangan. Putri tersenyum kecil melihat reaksi Vanya yang nampak sangat bahagia membaca file yang ia berikan. “Tapi ingat Vanya. Pastikan kamu berhasil mendapatkan informasi yang akurat, valid dan dari sumber yang terpercaya. Lakukan riset menyeluruh sebelum dibuat dalam bentuk naskah berita yang nantinya akan ditayangkan,” ujar Mba Putri memberikan peringatan pada Vanya. Dengan cepat Vanya memberikan anggukan penuh semangat pada wanita di hadapannya ini. “Siap Mba. Aku bakal lakuin yang terbaik dan nggak akan mengecewakan Mba.” Putri terlihat mengangguk. “Saya percaya sama kamu.” ***** Rino terlihat berkali-kali menarik dan menghembuskan nafas. Wajah pria itu nampak basah oleh cucuran keringat yang mengalir. Di sampingnya berdiri Vanya yang kondisinya tidak jauh berbeda dari Rino. “Gila ya, ternyata sesusah ini ngedapetin informasi dari polisi,” gerutu Rino yang terlihat terengah-engah berbicara. Keduanya saat ini nampak sangat kelelahan setelah seharian ini terus berputar mencari informasi tentang berita praktik suap yang dilakukan oleh Mentri perdagangan. Mereka sudah berusaha menemui kuasa hukum, berusaha mendapatkan wawancara dari pengawal pribadi, menyelidiki di kantor polisi bahkan berusaha merayu beberapa polisi untuk mendapatkan informasi. “Bahannya udah cukup kan? Kita udah bisa pulang dong,” tanya Rino menatap Vanya penuh harap. Vanya tersenyum puas sambil memberikan anggukan pada Rino. “Aman, kita udah bisa balik ke kantor. Aku bakal langsung ngetik naskah beritanya untuk siap ditayangin. Untuk videonya aman kan?” Rino memberikan jempol pada Vanya. “Aman dong. Tinggal aku edit nanti. Ayok kita langsung balik ke kantor sekarang.” Pasangan rekan kerja itu nampak menghembuskan nafas lega dan bangga karena sudah setengah jalan menyelesaikan tugas mereka. Drrrrrttttttttt Baru saja Vanya dan Rino berjalan beberapa langkah, keduanya kembali berhenti ketika menyadari ada suara ponsel yang berdering. Vanya segera menghentikan langkahnya dan langsung merogoh saku celananya, karena yang berdering adalah ponsel miliknya. “Siapa sih ya nelpon?” gumam Vanya sambil menyalakan layar ponselnya. Saat itu ia melihat nama Samuel yang tertera di layar benda pipih yang ada di tangannya itu. “Siapa yang nelpon?” Tanya Rino yang menatap penasaran pada temannya itu. “Bentar ya.” Tidak menjawab pertanyaan Rino, Vanya malah bergerak menjauh dari pria itu untuk mengangkat telpon dari Samuel. “Ngapain sih nelpon aku di jam kerja kaya gini?” Tanya Vanya dengan nada ketus begitu sambungan telpon terhubung dengan Samuel. “Kamu dimana?” tanya Samuel dari balik telpon tanpa menjawab pertanyaan Vanya untuknya. Tentu saja Vanya merasa kesal karena pria yang menelponnya itu malah balik bertanya pada dirinya bukan menjawab pertanyaannya. “Aku lagi kerja.” Jawabnya penuh penekanan. Saat ini ia malas berdebat dengan pria itu. “Kerja? Jelas-jelas aku dengar suara kendaraan ramai. Ngapain kamu kerja di pinggir jalan?” Vanya memperhatikan keadaan sekitar dan menyadari saat ini ia memang sedang berdiri di pinggir jalan. “Iya, aku emang dipinggir jalan,” jawab Vanya lagi dengan nada ketus. “Kamu lupa ya kalau aku ini wartawan? Kerjaan aku bukan cuma diem di kantor, tapi ngelakuin tugas lapangan dengan pergi nyari berita.” Beberapa detik sama sekali tidak ada suara dari balik telpon. Vanya bahkan mengira sambungan telepon mereka sudah terputus tadinya. “Sekarang udah jam makan siang. Makan siang bareng yuk,” ajak Samuel tiba-tiba. Mendengar ajakan tersebut tentu saja membuat Vanya kebingungan. Nih orang ngapain sih ngajakin gue makan? Lagi capek kaya gini, malas banget harus akting mesra sama dia. Lihat mukanya aja udah kesel mulu, batin Vanya menggerutu. “Vanya,” panggil Samuel dengan suara yang cukup keras karena tidak ada suara Vanya selama hampir lima menit. “Nggak usah teriak-teriak deh, aku nggak budeg,” gerutu Vanya. “Lain kali aja makan siangnya. Aku udah makan tadi,” lanjutnya berbohong. “Mending kamu yang langsung ke sini, daripada aku yang nari kamu di sana. Kamu mau besok kita ada di headline berita dengan judul ~Samuel Jonathan tarik-tarikan dengan kekasihnya di pinggir jalan~, gimana?” Vanya mengerutkan alisnya, bingung dengan maksud perkataan Samuel. “Maksud kamu apa sih?” “Lihat ke arah kiri kamu, jarak sekitar sepuluh meter.” Vanya segera menuruti perkataan Samuel. Saat ia mengarahkan pandangannya ke arah kiri dari tempatnya berdiri saat ini, tubuhnya langsung terdiam kaku dengan wajah yang nampak terkejut saat mendapati beberapa meter darinya Samuel Jonathan sedang berdiri santai bersandar di mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Pria itu bahkan memberikan lambaian tangan sambil tersenyum jahil pada Vanya. “Kenapa akhir-akhir ini dunia kerasa sempit banget sih?” gumam Vanya dengan nada kesal. Ia segera memutuskan sambungan telponnya dengan Samuel dan langsung berjalan cepat menghampiri pria itu. “Kok kamu bisa ada di sini?” tanya Vanya ketika ia sudah berdiri di hadapan pria itu. “Lokasi syutingku nggak jauh dari sini. Dalam perjalanan pulang nggak sengaja lihat kamu, jadi aku mutusin berhenti,” jawab Samuel. Pria itu kemudian melirik ke arah Rino yang berdiri dalam jarak lima belas meter darinya. “Kamu kerja hanya berdua dengan cowok itu? Vanya ikut menoleh sebentar ke arah Rino sebelum kembali menatap Samuel. “Dia emang bertugas sebagai kameramen. Kenapa emangnya?” Samuel memberikan gelengan kepala. “Nggak pa pa,” jawabnya. “Suruh dia balik ke kantor kalian duluan aja, kamu biar sama aku,” lanjutnya. “Kenapa aku harus ikut kata kamu?” Tanpa mengatakan apapun, Samuel tiba-tiba menarik pergelangan salah satu tangan Vanya hingga tubuh gadis itu bergerak ke arahnya, hingga jarak mereka hanya tersisa beberapa senti saja. “Karena aku pacar kamu Vanya Ria Salvadora,” ucap Samuel lambat dan penuh penekanan. Vanya, jangan jadi cewek bodoh deh. Ngapain lo harus berdebar sama ucapan nggak jelas cowok di hadapan lo ini? batin vanya berusaha mengingatkan dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN