Bab 17

1083 Kata
Vanya terlihat berjalan santai menelusuri lorong-lorong rak buku sambil melihat sekilas beberapa buku yang ia lewatinya. Dibelakangnya nampak Samuel Jonathan yang berjalan mengikuti dirinya dalam jarak beberapa senti. Kedua insan manusia itu terlihat mengenakan masker putih yang menutupi wajah mereka. Keduanya tentu sadar bahwa masker itu sama sekali tidak bisa menutupi identitas mereka berdua di hadapan publik, karena sebenarnya masker itu hanya kamuflase agar tidak terlihat seperti mereka sengaja ingin menunjukkan hubungan di hadapan banyak orang. “Jadi, buku apa yang mau kamu baca sayang?” ujar Samuel yang tiba-tiba bertanya. Vanya sempat merasa sedikit terkejut mendengar panggilan sayang yang diberikan Samuel. Namun, ia mencoba untuk terlihat biasa saja dan tetap memasang ekspresi wajah datar. “Buku novel yang ada di sini kebanyakan semuanya udah aku baca,” jawab Vanya dengan nada santai. Samuel mengangguk paham mendengar hal itu. “Jadi, mau cari di tempat lain aja?” Vanya memberikan gelengan. “Nggak perlu, aku mau lihat-lihat dulu,” jawabnya. Ia kemudian beberapa kali mengeluarkan buku dari rak dan melihat sebentar sebelum kembali meletakkannya di tempat semula. Di tengah kegiatan Vanya yang asyik melihat-lihat beberapa buku, ia dibuat terkejut dan hampir saja menjerit ketika merasakan sebuah tangan yang tiba-tiba merangkul pinggangnya erat. Ia segera mengarahkan pandangannya ke arah samping dan menemukan Samuel yang sudah berdiri di sampingnya dengan tubuh keduanya yang saling menempel rapat. “Kamu ngapain sih?” Bisik Vanya kesal sambil berusaha melepaskan tangan Samuel yang berada di pinggangnya. “Banyak orang yang diem-diem ngeliatin kita Vanya. Nggak ada salahnya kan nampilin kemesraan kita di sini,” bisik Samuel dengan nada santai. Tangan pria itu bahkan semakin erat memeluk pinggang Vanya, hingga tubuh Vanya semakin rapat pada dirinya. Vanya melirik sebentar ke arah sekitarnya, dimana saat itulah dia menemukan beberapa pasang mata terus mencuri pandang pada dirinya dan Samuel. Ia lupa bahwa hari ini adalah weekend, dimana pengunjung perpustakaan umum ini tentu sedang sangat ramai-ramainya. Berusaha mengabaikan rangkulan Samuel, Vanya kembali mengarahkan pandangannya ke arah buku-buku di hadapannya. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dari rangkulan Samuel yang entah kenapa tiba-tiba membuatnya merasa sedikit gugup. Berusaha kembali fokus melihat buku-buku yang ditata pada rak dihadapannya, pandangan Vanya tanpa sengaja tertuju pada sebuah buku yang mencuri perhatiannya. Tere Liye-“Teruslah Bodoh, jangan pintar.” Tangan Vanya bergerak meraih buku tersebut dan memperhatikan dengan seksama sampul pada buku tersebut. Ia tanpa sadar tersenyum menyadari bahwa sudah beberapa tahun sejak terakhir ia membaca buku tersebut. “Kamu tertarik sama buku itu? Mau dibawa pulang?” Tanya Samuel yang melihat ketertarikan Vanya pada buku di tangannya itu. Vanya memberikan gelengan sebagai jawaban. “Nggak perlu, aku udah pernah baca kok buku ini,” ujarnya yang kembali meletakkan buku tersebut pada rak di hadapannya. “Aku cuma tiba-tiba teringat sama seseorang yang sempat aku suruh baca buku itu,” lanjutnya. “Siapa orang itu?” Tanya Samuel yang terlihat penasaran. Vanya memilih mengangkat kedua bahunya santai, terlihat tidak berniat untuk mengatakannya pada Samuel. Ia kemudian memilih melanjutkan langkahnya menelusuri lorong-lorong rak buku dan kembali melihat-lihat buku yang tertata di sana. Samuel tetap setia mengikuti langkah Vanya, dimana pergerakan mereka tentu saja diperhatikan beberapa orang yang tentu mengenali Samuel walau ia sudah mengenakan masker untuk menutupi wajahnya. ***** @AnyaRia: Gimana perkembangan kamu baca buku Tere Liye yang kemarin? Udah ada ketertarikan atau mutusin buat berhenti? Samuel nampak memasang wajah datar menatap Vanya yang saat ini sedang fokus menatap layar ponselnya. Setelah cukup lama berkeliling di area perpustakaan ini, keduanya berakhir di area kantin perpustakaan yang memang cukup ramai saat ini. Untungnya mereka berhasil mendapatkan meja yang berada di area ujung kantin yang cukup tersembunyi, sehingga tidak perlu merasa terganggu dengan pengunjung lain yang berada di sana. “Chatan sama siapa sih? Kenapa dari tadi fokus banget sama hp kamu?” tanya Samuel yang sudah tidak tahan melihat Vanya yang terus menatap ponselnya. Menyadari pesannya belum di balas, Vanya memilih meletakkan ponselnya di atas meja dan menatap Samuel yang saat ini juga menatap dirinya. “Bukan siapa-siapa,” jawab Vanya singkat. Entah kenapa Samuel tidak begitu puas dengan jawaban Vanya. Pria itu mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan gadis yang duduk di hadapannya ini. “Kelihatan jelas loh tadi kamu habis ngechat seseorang dan sempat nggak sabar nungguin balasannya dia.” Vanya berusaha menahan ekspresi wajahnya agar tidak terlihat kesal pada Samuel, hal ini karena ia menyadari masih banyak orang yang sedang mencuri pandang ke arahnya dan Samuel. “Bukan urusan kamu,” jawab Vanya dengan nada ketus, namun ia tetap mengontrol volume suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. “Apa salahnya sih ngasih tahu aku? Atau jangan-jangan kamu ngechat cowok lain,” tuduh Samuel yang memberikan tatapan curiga pada Vanya. “Jangan mancing aku. Nggak mungkin kan kita berdebat di sini,” ujar Vanya berusaha menahan diri agar tidak kesal pada Samuel. “Jangan lupa kalau hubungan kita ini cuma sandiwara. Mau aku chatan atau dekat sama cowok lain, itu bukan urusan kamu.” Samuel terlihat mengangguk walau ekspresi wajahnya berubah datar menatap Vanya. “Oke aku paham. Aku akan inget untuk nggak cari tahu urusan kamu lagi.” “Bagus deh kalau sadar diri,” gumam Vanya dengan suara pelan. Raut wajah Samuel kemudian berubah serius menatap Vanya. “Apa kamu masih sangat marah dengan kejadian lima tahun lalu?” Pertanyaan tiba-tiba Samuel cukup mengejutkan Vanya. Ia sama sekali tidak menyangka pria yang duduk di hadapannya ini akan menanyakan hal itu saat ini. “Ngapain sih nanyain hal itu lagi? Udah nggak penting kok sekarang,” jawabnya. Entah kenapa Vanya memilih memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak ingin menatap Samuel yang saat ini masih menatap lekat dirinya. “Melihat sikap kamu yang masih ketus sampai saat ini, aku yakin kamu masih sangat marah kan dengan kejadian itu. Aku sadar sikap aku dulu emang menyakiti kami, aku cuma ma…..” “Udah deh,” potong Vanya menatap kesal pada Samuel. Ia benar-benar tidak bisa menahan kekesalannya pada pria yang duduk di hadapannya ini. “Itu kejadian di masa lalu dan aku udah nggak peduli lagi. Tapi kalau kamu tanya aku masih marah atau nggak, ya jawabannya iya. Sampai kapanpun hal memalukan itu nggak akan pernah aku lupain, dan itu bakal selalu jadi pengingat seberapa brengseknya kamu.” Vanya sama sekali tidak menyadari bahwa ucapannya itu membuat tangan Samuel yang berada di bawah meja nampak mengepal kuat hingga hingga kuku-kuku jarinya menancap kuat di telapak tangan. Rasa sakit itu tetap nggak akan hilang sampai kapanpun. Penghinaan itu terasa lebih sakit karena orang yang memberikan penghinaan itu adalah kamu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN