Bab 8

903 Kata
Ekspresi wajah Vanya saat ini tampak begitu kesal dan frustrasi. Beberapa kali ia mendengus, mengingat kembali pertemuan antara dirinya, Papanya, dan pria brengs3k bernama Samuel Jonathan. Kekesalannya bahkan semakin menjadi karena suara tawa seseorang yang duduk di hadapannya saat ini. Saat ini Vanya berada di sebuah apartemen milik sahabat baiknya, Raisa Kania Putri. Awalnya, ia datang ke sini untuk menenangkan diri. Tapi siapa sangka, itu ternyata pilihan yang buruk. Bukannya merasa tenang, pikirannya justru semakin kacau karena ulah sahabatnya itu. “Lo bisa berhenti ketawa nggak? Lama-lama gue siram juga nih pakai minuman di depan gue,” ancam Vanya pada Raisa yang duduk di hadapannya. Mendengar ancaman sahabatnya, Raisa langsung menutup mulut rapat-rapat. Berteman dengan Vanya sejak kuliah tentu membuatnya sangat paham tabiat sahabatnya itu. Gadis itu bukan cuma jago mengancam, tapi juga akan melakukan apa yang dia ucapkan. “Gue tuh cuma nggak nyangka aja lo pacaran lagi sama Samuel Jonathan. Kisah cinta lama yang belum selesai,” ujar Raisa sambil tersenyum senang, membayangkan hubungan Vanya dan Samuel. Namun senyumnya langsung pudar ketika ia melihat ekspresi wajah Vanya yang tampak siap membunuh. “Sorry,” ucapnya pelan sambil menahan tawa. Vanya mendengus dan akhirnya mengubah ekspresi wajahnya menjadi memelas. “Gue harus gimana, Sa? Gue bener-bener muak harus berurusan sama cowok itu.” Raisa segera bangkit dan duduk di samping sahabatnya, merangkul bahu Vanya dengan lembut. “Udah, nggak usah sedih. Kalau emang lo nggak mau, ya udah, nggak usah nurutin ide bokap lo,” saran Raisa. Vanya langsung menggeleng. “Nggak segampang itu masalahnya, Raisa.” “Nggak segampang itu? Maksudnya gimana?” Raisa menatap bingung. Vanya menarik napas panjang, lalu menatap Raisa lekat-lekat. “Berita skandal Samuel kemarin cukup ngaruh ke film yang lagi digarap bokap gue. Beberapa investor sempat mau narik dananya, bahkan hampir aja film itu batal tayang. Tapi, berita soal hubungan gue dan Samuel memperbaiki citra dia di mata publik dan investor. Artinya, masih ada harapan buat film yang akan tayang dan yang masih dalam proses syuting.” Raisa tampak terkejut mendengar penjelasan itu. “Jadi maksud lo... hubungan sandiwara kalian ini bakal bantu jaga citra Samuel, dan bikin semua kerjaan dia tetap aman?” Vanya mengangguk. “Kalau ini cuma soal cowok itu, gue bakal bodo amat. Tapi masalahnya, ada ratusan orang yang juga berjuang buat film yang digarap bokap gue, Sa. Kalau film itu sampai gagal tayang, semua kerja keras mereka akan sia-sia.” Raisa terdiam cukup lama, menatap sahabatnya. “Lo tuh masih aja nggak berubah. Terlalu baik, terlalu mikirin orang lain yang belum tentu mikirin lo balik. Bisa nggak sih sehari aja lo jadi manusia normal yang bodo amat dan cuek?” Vanya tertawa kecil mendengar komentar itu. “Gue manusia normal kok. Justru banyak orang malas deket-deket gue karena gue berisik, bawel, tukang ngatur, suka marah-marah, moody-an lagi.” “Bener juga sih. Sifat jelek lo juga banyak,” timpal Raisa sambil mengangguk setuju. Vanya sudah hendak membalas, namun terhenti karena suara dering ponsel terdengar dari saku celana yang ia kenakan. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengeluarkan ponselnya yang masih terus berdering. “Nomor baru,” gumam Vanya bingung menatap layar ponselnya. “Coba diangkat dulu, siapa tahu penting,” saran Raisa. Mengikuti saran itu, Vanya menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya. “Halo?” sapanya saat sambungan terhubung. “Di mana?” Suara dari seberang membuat ekspresi wajah Vanya langsung berubah. Ia sangat mengenal suara itu—suara yang membuat emosinya naik dalam sekejap. “Ngapain lo nelpon gue?” tanya Vanya ketus. Terdengar tawa yang jelas bernada mengejek dari seberang. Vanya makin kesal, dan tanpa basa-basi, langsung menekan tombol merah. “Siapa yang nelpon?” tanya Raisa penasaran. “Orang gila,” jawab Vanya asal. Beberapa detik kemudian, ponsel di tangannya kembali berdering. Masih dari nomor yang sama. Rasanya Vanya ingin melempar ponsel itu jauh-jauh. “Berisik banget sih,” gumamnya kesal, lalu menekan tombol hijau lagi. “Ngapain sih nelpon gue?” teriaknya kesal. “Bisa nggak ngomongnya santai aja?” Vanya menarik napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. “Oke, oke. Lo nelpon gue buat apa?” tanyanya kali ini lebih tenang. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, sebelum akhirnya terdengar suara batuk kecil. “Lo di mana sekarang? Gue baru selesai syuting, dan bokap lo nyuruh gue jemput lo balik.” Vanya melirik jam tangan. Pukul delapan malam. “Baru jam segini, gue bisa balik sendiri. Nggak usah repot-repot jemput gue.” “Ini bukan kemauan gue, Vanya Ria Salvadora,” jawab pria di seberang, “Selesai syuting, bokap lo langsung ngingetin gue buat jemput. Seenggaknya, kita harus beberapa kali tampil bareng di publik buat nunjukin kalau kita emang lagi pacaran.” Entah sudah berapa kali Vanya menarik napas malam ini. Ia benar-benar ingin kabur dari semua drama ini, tapi rasanya seperti ada rantai yang menahan kakinya. “Ya udah, gue shareloc abis ini.” Vanya langsung menutup telepon setelah mengucapkan itu. Raisa yang sedari tadi duduk di sampingnya hanya diam memperhatikan sahabatnya itu. “Ngapain sih liatin gue kayak gitu?” Raisa menggeleng sambil tersenyum. “Cuma lucu aja. Rasanya kayak ngeliat masa kuliah kita dulu.” Ia terdiam sebentar, lalu bertanya, “Tapi, gue penasaran. Lo beneran udah move on dari Samuel?” Vanya langsung melotot. “Nggak usah nanya hal yang udah pasti. Gue beneran udah move on dari tuh cowok.” “Yakin?” “Yakin. Seyakin-yakinnya,” jawab Vanya dengan nada mantap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN