Ekspresi wajah Vanya saat ini nampak begitu kesal dan frustasi. Beberapa kali ia mendengus kesal mengingat kembali pertemuan antara ia, papanya dan pria brengs3k bernama Samuel Jonathan itu. Kekesalannya bahkan semakin bertambah karena suara tawa seseorang yang duduk di hadapannya saat ini.
Saat ini Vanya sedang berada di sebuah apartemen yang adalah milik sahabat baiknya Raisa Kaina Putri. Awalnya ia datang ke sini untuk menenangkan diri, tapi siapa sangka itu pilihan yang buru. Bukannya makin tenang, pikirannya malah semakin kacau karena sahabatnya itu.
“Lo bisa berhenti ketawa nggak. Lama-lama gue siram juga nih pake minuman di depan gue,” ancam Vanya pada Raisa yang duduk di hadapannya ini.
Mendengar ancaman sahabatnya, Raisa langsung menutup mulutnya rapat. Berteman dengan Vanya dari jama kuliah membuatnya tentu saja sangat memahami tabiat Vanya. Gadis itu tidak hanya suka mengancam dari mulut, ia juga akan melakukan dengan tangannya sendiri apa yang sudah dikatakan olehnya.
“Gue tuh cuma nggak nyangka aja lo pacaran lagi sama Samuel Jonathan. Kisah cinta lama yang belum selesai.” Raisa nampak berbicara sambil tersenyum senang membayangkan hubungan Vanya dan Samuel. Namun, senyuman di wajahnya langsung pudar ketika matanya melihat ekspresi wajah Vanya yang seperti sudah akan membunuhnya saat ini. “Sorry,” ucapnya dengan suara pelan menahan senyuman.
Vanya mendengus kesal dan akhirnya merubah ekspresi wajahnya menjadi sangat memelas. “Gue harus gimana sa? Gue bener-bener muak harus berurusan sama cowok itu.”
Raisa segera bangun dari duduknya dan berjalan menghampiri Vanya. Gadis muda itu langsung duduk di samping sahabatnya dan merangkul lembut bahu Vanya.
“Udah nggak usah sedih. Kalau emang lo nggak mau, ya udah nggak usah diturutin ide bokap lo,” saran Raisa.
Vanya langsung memberikan gelengan. “Nggak segampang itu masalahnya Raisa.”
Raisa mengerutkan alisnya, menatap bingung pada Vanya. “Nggak segampang itu? Maksudnya gimana?”
Vanya menarik nafas panjang lalu menatap lekat pada Raisa. “Berita skandal Samuel kemarin cukup berpengaruh ke film yang sedang digarap bokap gue. Para investor banyak yang berniat narik investasinya, bahkan hampir aja film itu batal tayang. Tapi, berita hubungan gue dan Samuel memperbaiki image dia di hadapan publik maupun investor, yang artinya masih ada harapan untuk film yang bakal tayang dan film yang sedang dalam proses syuting.”
Raisa nampak terkejut mendengar penjelasan Vanya,
“Jadi, maksud lo. Hubungan sandiwara kalian ini bakal ngebantu menjaga image Samuel dan buat semua pekerjaan dia kedepannya aman?”
Vanya mengangguk, membenarkan perkataan Raisa. “Kalau ini cuma berkaitan sama cowok itu, gue bakal bodo amat. Tapi masalahnya, ada ratusan orang yang juga berjuang untuk film yang digarap bokap gue Sa. Kalau sampai film itu batal tayang, semua usaha dan kerja keras ratusan orang itu akan berakhir sia-sia.”
Raisa terdiam cukup lama, menatap sahabatnya Vanya. “Lo masih aja nggak berubah. Terlalu baik dan suka mikirin orang lain yang belum tentu mikirin lo. Bisa nggak sih sehari aja jadi manusia normal yang bertingkah bodo amat dan nggak peduli sama orang lain?”
Vanya tertawa kecil mendengar perkataan Raisa. “Gue manusia normal kok. Terkadang banyak orang yang malas deket-deket sama gue karena gue berisik, bawel, tukang ngatur, suka marah-marah, moodyan lagi.”
Raisa mengangguk. “Bener juga sih. Sifat jelek lo juga banyak kok.”
Vanya sudah akan membalas perkataan Raisa, namum pergerakan bibirnya terhenti ketika sebuah suara dering ponsel terdengar dari saku celana yang ia kenakan saat ini. Tanpa menunggu lama gadis itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan benda pipih yang terus berbunyi tersebut.
“Nomor baru,” gumam Vanya kebingungan sambil menatap layar ponselnya.
“Coba diangkat dulu, siapa tahu penting.”
Mengikuti saran Raisa, Vanya segera menekan tombol hijau pada ponselnya dan menempelkan benda itu ke telinga. “Halo,” sapanya begitu panggilan telepon tersebut terhubung.
“Dimana?”
Suara yang terdengar dari sebrang telpon itu membuat ekspresi wajah Vanya langsung berubah. Raut wajahnya nampak kesal karena sangat mengenal suara yang menyapanya dari balik telpon itu.
“Ngapain lo nelpon gue?” tanya Vanya dengan nada ketus.
Terdengar suara tawa yang seperti mengejek dari sebrang telepon. Hal itu tentu saja semakin memancing kekesalan dalam diri Vanya saat ini. Tanpa menunggu lama ia langsung menekan tombol merah untuk memutuskan sambungan telepon tersebut.
“Siapa yang telpon? Tanya Raisa penasaran.
“Orang gila,” jawab Vanya asal-asalan.
Beberapa detik kemudian ponsel yang masih dipegang Vanya kembali berdering, ketika dilihat ternyata masih nomor yang sama yang menelponnya. Rasanya Vanya ingin sekali membuang ponselnya saat ini.
“berisik banget sih,” gumam Vanya kesal dan kembali menekan tombol hijau sebelum menempelkan ponselnya ke telinga. “Ngapain sih nelpon gue,” teriak Vanya dengan nada kesal pada penelponnya saat ini.
“Bisa nggak kalau ngomongnya santai aja.”
Vanya menarik nafas panjang, berusaha menahan emosi di dalam hatinya saat ini. “Oke, oke. Lo nelpon gue buat apa?” Tanya Vanya yang kali ini nada bicaranya lebih lembut dibanding sebelumnya.
Beberapa detik hanya ada keheningan, sebelum akhirnya terdengar suara batuk kecil dari sebrang telpon tersebut.
“Lo dimana sekarang? Gue baru selesai syuting dan bokap lo ngingetin buat jemput lo balik.”
Vanya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Di sana terlihat jam yang menunjukkan pukul delapan malam.
“Baru jam segini, gue bisa balik ke rumah sendiri. Nggak usah repot-repot ngejemput gue.”
“Ini bukan kemauan gue Vanya Ria Salvadora,” Ucap orang di sebrang telpon itu, yang tidak lain adalah Samuel Jonathan. “Selesai syuting bokap lo ngingetin gue untuk jemput lo. Seenggaknya kita harus terlihat di publik beberapa kali untuk nunjukin kalau kita emang lagi punya hubungan.”
Entah sudah berapa kali Vanya menarik nafas panjang setelah mendengar perkataan pria tersebut. Ia benar-benar ingin lari dari semua sandiwara ini, tapi rasanya kaki ini sedang dirantai kuat dan membuatnya tidak bisa kabur kemanapun.
“Ya udah, gue shareloc habis ini.” Vanya langsung menutup telponnya setelah mengatakan hal itu.
Raisa yang duduk di samping Vanya sedari tadi hanya diam memperhatikan sahabatnya itu dengan wajah penuh penasaran.
“Ngapain sih liatin gue kaya gitu?”
Raisa menggeleng cepat sambil tersenyum. “Cuma lucu aja. Kaya ngeliat masa lalu waktu jama kita masih kuliah,” jawabnya. “Tapi, gue penasaran deh. Lo beneran udah move on dari Samuel?”
Vanya melotot mendengar pertanyaan tersebut. “Nggak usah nanyain hal yang udah pasti. Gue beneran udah move on dari tu cowok.”
“Yakin?”
“Yakin, seyakin-yakinnya,” jawab Vanya dengan nada tegas.