Bab 1

780 Kata
Suasana di gedung Pengadilan Agama tampak begitu ramai saat ini. Di halaman depan gedung tersebut, terlihat banyak orang duduk menunggu dengan kamera dan mikrofon di tangan mereka. Beberapa ada yang mematikan kamera sambil mengobrol dengan rekan kerja, sementara yang lain sibuk merekam situasi di luar gedung. Di antara para wartawan yang sedang menunggu, tampak seorang gadis berkacamata berdiri bersama rekan kerjanya. Ia mengenakan celana jeans panjang dengan kemeja berwarna biru yang membalut tubuhnya. Di lehernya tergantung tanda pengenal bertuliskan nama Vanya Ria Salvadora. “Kayaknya kita balik aja deh, Rino,” bisik Vanya kepada rekan kerjanya yang sedang memegang kamera. Pria bernama Rino, yang duduk di samping Vanya sambil menggenggam kameranya, langsung terkejut mendengar ucapan tersebut. “Yakin lo mau balik sekarang? Sidang perceraiannya aja belum selesai, loh. Bisa-bisa kalau kita pulang sekarang, sampai kantor kita disembur Mba Putri karena nggak ada bahan berita hari ini.” Vanya mendengus kesal mendengar respons Rino. “Ngapain sih nyari berita nggak penting kayak gini? Masih banyak berita yang lebih bermanfaat dibanding berita perceraian selebriti. Emangnya acara kita itu acara gosip?” “Astaga, Vanyaaaa... Lo tahu kan yang cerai ini Nicolas Jonathan, aktor terkenal yang sekarang juga jadi anggota dewan? Berita perceraian dia ini bisa jadi berita paling menjanjikan dan bisa banget ningkatin rating acara kita,” jelas Rino mencoba meyakinkan Vanya. “Nggak bermutu,” gumam Vanya dengan nada kesal. Sejujurnya, selain karena tak tertarik dengan topik berita yang harus diliput, hal yang membuat Vanya enggan menunggu sidang perceraian itu selesai adalah karena ia malas melihat salah satu orang yang datang menemani Nicolas ke persidangan. ***** Suasana mulai ricuh ketika beberapa orang mulai keluar dari gedung pengadilan. Para wartawan yang sebelumnya duduk menunggu langsung berdiri dan berlarian mendekat ke arah Nicolas Jonathan, aktor tampan yang baru saja keluar dari ruang sidang. Seperti wartawan lainnya, Vanya pun terpaksa bersikap profesional dan ikut menyodorkan mikrofon ke arah Nicolas. Beberapa wartawan mulai melontarkan pertanyaan seputar perceraian sang aktor. Nicolas tak datang sendirian. Ia ditemani oleh pengacaranya serta adik kandungnya, yang juga seorang aktor, yakni Samuel Jonathan. Di tengah kerumunan wartawan dan tumpukan pertanyaan yang dilontarkan, sebuah pertanyaan muncul begitu saja di kepala Vanya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menyuarakannya. “Pak Nicolas, Anda dan istri Anda sebentar lagi akan resmi bercerai. Tapi dari yang saya lihat, Anda sama sekali tidak pernah memberi klarifikasi atau membantah tuduhan miring soal perselingkuhan yang menimpa istri Anda—padahal gosip itu sudah terbukti tidak benar. Apa mungkin keluarga Jonathan memang terbiasa memilih diam dan tidak membela orang lain demi menjaga nama baik mereka sendiri?” Pertanyaan tajam dari Vanya sontak membuat seluruh wartawan lainnya terdiam. Mereka semua seolah menahan napas, menunggu reaksi dari Nicolas. Nicolas tampak tertegun dengan pertanyaan menyerang itu. Namun, orang yang justru terlihat kesal adalah adiknya, Samuel Jonathan, yang berdiri di samping Nicolas. “Maaf ya, pertanyaan Anda tadi terdengar seperti tuduhan bahwa semua anggota keluarga Jonathan itu egois dan cuma mementingkan reputasi,” ucap Samuel dengan nada tajam, sambil menatap lurus ke arah Vanya. Vanya tetap tenang dan tak menunjukkan sedikit pun rasa gentar. “Maaf, tapi bukan itu maksud saya. Pertanyaan saya hanya seputar kasus perceraian, bukan soal keluarga Anda. Kalau Anda merasa tersindir, itu bukan salah saya dong,” balasnya santai, tapi dengan nada sinis. Samuel tampak hendak membalas ucapan tersebut, namun Nicolas lebih dulu menahan adiknya. “Sudah,” bisiknya pelan. Dengan enggan, Samuel kembali diam dan menahan diri. Meski begitu, tatapan tajamnya tetap mengarah pada Vanya. Setelah itu, suasana kembali ramai dengan berbagai pertanyaan lain yang dilontarkan wartawan kepada Nicolas. Beberapa menit kemudian, sang aktor mulai melangkah menuju mobilnya. Sebagian wartawan masih mengikuti sampai Nicolas masuk ke dalam mobil, namun ada pula yang berhenti karena merasa sudah cukup mendapatkan materi berita yang dibutuhkan. “Udah beres, kan?” tanya Vanya, melirik ke arah Rino. Rino tersenyum puas sambil melihat hasil rekamannya. “Beres. Kita dapat rekaman wawancaranya dengan bagus. Tinggal cari sedikit footage tambahan sebelum diedit.” Vanya menghela napas lalu menyerahkan mikrofon ke tangan Rino. “Sumpah ya, pokoknya lain kali gue nggak mau lagi liput berita nggak bermutu kayak gini,” gerutunya. “Yakin lo kesel karena beritanya nggak bermutu? Atau karena ketemu sama Samuel Jonathan?” goda Rino sambil tertawa. Vanya langsung menanggapi dengan senyum mencibir. “Nggak penting.” Rino hanya menggeleng sambil tertawa geli melihat reaksi Vanya. “Gue heran deh sama lo. Kenapa sih tiap kali kita ketemu Samuel Jonathan, pertanyaan yang lo lontarkan pasti bikin dia kesal? Kelihatan banget lo tuh emang sengaja nyerang dia.” Vanya mengangkat kedua bahunya santai. “Perasaan lo aja kali. Gue mah nanya sesuai konteks kok. Dianya aja yang sensian jadi cowok.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN