Bab 2

746 Kata
Vanya terlihat berjalan santai keluar dari kamar mandi dengan sebuah handuk yang membalut tubuhnya yang masih setengah basah. Sambil bersenandung riang, gadis itu melangkah menuju area walk-in closet untuk mengambil pakaian yang akan dikenakannya ke kantor. Di tengah kegiatan memilih pakaian, suara dering ponsel menginterupsi. Vanya segera berjalan menuju meja rias, tempat ia meletakkan ponselnya. “Raisa? Ngapain dia nelpon pagi-pagi begini?” gumam Vanya saat melihat nama sahabatnya tertera di layar. Tanpa pikir panjang, Vanya menempelkan ponsel ke telinga setelah menekan tombol hijau. “Halo,” ucapnya ketika panggilan tersambung. “Vanya, lo udah lihat berita yang lagi heboh sekarang belum?” tanya Raisa dengan nada penuh semangat dan panik. Vanya tentu saja terkejut mendengar suara sahabatnya yang begitu antusias. “Berita apaan sih emangnya?” “Itu, loh! Samuel Jonathan. Ada skandal heboh tentang dia sekarang. Beritanya parah banget, tahu nggak? Sampai beberapa brand mulai membicarakan ulang kontrak kerja sama mereka sama dia,” jelas Raisa dengan nada cepat. “Nggak penting lah. Gue nggak peduli sama urusan tuh cowok,” jawab Vanya dengan nada ketus. Namun, berbanding terbalik dengan ucapannya, tangannya justru dengan penasaran membuka portal berita untuk melihat skandal apa yang sedang menimpa pria itu. Begitu mengetik nama Samuel Jonathan di kolom pencarian, mata Vanya langsung melotot terkejut membaca deretan judul berita yang muncul. Bagaimana bisa pria itu terlibat dalam skandal hubungan sesama jenis dengan asistennya sendiri? Bahkan ada foto yang menunjukkan mereka tengah berpelukan di sudut ruang ganti artis. “Masalahnya, berita ini bener-bener nggak masuk akal. Jelas-jelas dia pernah pacaran sama lo waktu kuliah, kan? Jadi, harusnya bisa dipastikan dia itu cowok normal,” komentar Raisa dari seberang. “Tapi ya, lima tahun ini dia nggak pernah keliatan deket sama cewek manapun lagi. Apa jangan-jangan dia emang udah mulai nyimpang, ya? Gue pernah dengar, cowok normal bisa aja berubah kalau terlalu lama bergaul sama lingkungan kayak gitu.” “Udah lah, males gue bahas masalah ini. Gue mau siap-siap kerja dulu,” potong Vanya, lalu langsung memutuskan sambungan telepon sebelum Raisa sempat menjawab. Ia meletakkan ponsel kembali ke meja dan menggumam, “Makin aneh aja dunia,” sambil tersenyum geli. Tak ingin larut dalam berita tersebut, Vanya memilih kembali fokus memilih pakaian dan bersiap pergi bekerja. ***** Lima belas menit kemudian, Vanya tampak menuruni tangga rumahnya sambil memegang sebuah kamera. Ia terlihat fokus menonton hasil rekaman beberapa kejadian yang bisa ia gunakan sebagai bahan artikel beritanya. “Vanya.” Suara seseorang yang memanggil namanya membuat langkahnya terhenti saat melewati ruang tengah. Ia menoleh dan menemukan Papanya tengah duduk santai di sofa. “Papa? Kok ada di rumah? Bukannya hari ini ada syuting film terbaru Papa, ya?” tanya Vanya sambil mengubah arah langkah menuju tempat Papanya duduk. Dimas Salvadora, sutradara ternama sekaligus CEO salah satu label perfilman besar di Indonesia, menghela napas panjang sebelum menjawab. “Hari ini syuting diliburkan karena ada kendala di lokasi.” Vanya langsung menyadari perubahan nada suara sang Papa. Pelan, penuh beban, seakan menyimpan sesuatu. “Papa kenapa? Kayaknya lagi banyak pikiran, ya?” Dimas mengangguk pelan. “Salah satu aktor utama dalam film yang Papa garap terlibat skandal. Sekarang, film yang sebenarnya tinggal promosi dan siap tayang itu, malah terancam gagal.” “Skandal Samuel Jonathan?” tebak Vanya cepat. “Ternyata kamu tahu juga berita itu.” “Tahu dong, Pa. Apa Papa lupa kalau anak Papa ini wartawan? Bahkan aku lebih update soal berita apa pun dibanding Papa,” ucapnya dengan senyum tipis. Dimas membalas dengan senyum kecil yang terlihat dipaksakan. Vanya lalu berpindah duduk ke samping ayahnya. Ia meraih lengan pria paruh baya itu dan mengusapnya lembut. “Udah, jangan terlalu dipikirin, Pa. Berita kayak gitu biasanya cuma gosip sesaat yang nggak akan lama dibahas netizen. Aku yakin itu nggak akan terlalu berpengaruh ke penayangan film Papa nanti.” Dimas mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. “Semoga yang kamu bilang benar, sayang,” ucapnya. “Oh iya, jangan lupa pulang tepat waktu hari ini. Ingat, kamu bakal nemenin Papa ke acara gala premiere malam ini, kan?” Vanya mendengus pelan, lalu mengangguk. “Iya, Pa. Aku tahu kok. Tenang aja, aku bakal nemenin Papa.” Dimas menghela napas lega mendengar jawaban itu. Namun, ia tidak menyadari bahwa putrinya sedang menahan rasa dongkol dan kesal karena harus ikut menghadiri acara tersebut. Bukan karena Vanya tak suka datang ke acara-acara seperti itu. Hanya saja, ia sangat malas jika harus bertemu dengan salah satu aktor yang juga dipastikan hadir di acara gala premiere itu
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN