Bab 3

752 Kata
“Apa yang membuat film Anda ini patut untuk ditonton orang-orang?” “Apakah Anda yakin bahwa film ini bisa menjadi salah satu film terbaik di Indonesia?” “Apakah ada sesuatu yang istimewa dalam proyek film ini dan apa yang membedakan karya ini dibandingkan karya Anda lainnya?” “Bagaimana jadinya jika film ini tidak sesuai dengan ekspektasi para penonton yang sudah begitu menantikan perilisannya?” Vanya berusaha sekuat tenaga menahan mulutnya agar tidak menguap saat ini. Biasanya, ia terbiasa menjadi wartawan yang mengajukan berbagai pertanyaan kepada para narasumber. Namun, ketika dirinya berada di posisi berdiri diam menemani Papanya yang sedang menjawab pertanyaan para wartawan, rasanya sangat membosankan baginya. Dimas Salvadora terlihat begitu santai menjawab segala pertanyaan yang diajukan oleh wartawan, seakan pria itu memang sudah mempersiapkan jawaban untuk semua pertanyaan tersebut. “Bagaimana Anda menanggapi skandal yang sedang ramai diperbincangkan? Samuel Jonathan adalah salah satu pemeran utama dalam film Anda kali ini dan juga sedang bersiap untuk menjadi pemeran dalam proyek Anda selanjutnya. Jika berita tersebut terbukti benar, hal itu tentu akan memengaruhi proyek Anda saat ini dan proyek baru lainnya.” Berbeda dari pertanyaan-pertanyaan sebelumnya yang begitu mudah dijawab oleh Dimas Salvadora, kali ini pertanyaan tersebut berhasil membuat pria paruh baya itu terdiam beberapa detik. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras untuk merespons pertanyaan yang cukup sensitif itu. Merasa benar-benar sudah tidak tahan berada di samping Papanya, Vanya segera menarik pelan lengan baju pria di sampingnya. “Aku ke toilet bentar ya, Pa,” bisik Vanya. Dimas segera mengangguk memberi izin pada putrinya sebelum kembali menghadapi para wartawan. Setelah mendapatkan izin, Vanya berjalan menjauh dari kerumunan sambil memegangi bagian bawah gaun yang ia kenakan saat ini. Gaun itu merupakan gaun simpel berwarna biru tua yang membalut tubuhnya dengan pas, menonjolkan lekuk pinggulnya yang cantik. Bawahannya menjuntai panjang dengan belahan samping hingga setengah pahanya. Bagian atasnya terbuka, memamerkan bahu mulus Vanya yang dihiasi kalung berlian di lehernya. Vanya menelusuri lorong panjang menuju toilet di ujung koridor. Saat melewati sebuah belokan kecil, langkahnya terhenti karena terkejut dengan kemunculan seseorang dari arah berlawanan yang hampir menabraknya. Keseimbangan tubuh Vanya nyaris hilang dan ia hampir jatuh ke belakang. Namun, orang yang hampir menabraknya dengan sigap meraih pinggang Vanya dan menarik tubuhnya, hingga mereka saling menempel sempurna. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, hanya tersisa tatapan mata yang saling terkunci. Namun, Vanya segera tersadar, berdiri tegak, dan mendorong kasar pria yang memeluknya itu. “Dasar cowok m***m,” gerutunya dengan nada ketus. Pria di hadapan Vanya terlihat terkejut dengan tuduhan tersebut. “Lo nggak salah nuduh gue? Kepala lo jelas-jelas nggak terbentur. Gue baru aja nyelametin lo biar nggak jatuh. Harusnya yang gue denger sekarang itu kata 'makasih'.” Vanya mendengus kesal menatap pria di hadapannya. “Nggak penting,” ucapnya penuh penekanan sambil memberi tatapan meremehkan. Setelah itu, ia melangkah pergi meninggalkan pria tersebut. Langkah Vanya kembali terhenti—kali ini karena tangannya ditahan oleh pria itu. “Lepasin gue,” bentak Vanya kesal sambil menatap tajam pria yang menahannya. Pria itu tersenyum sinis. “Soal kejadian di pengadilan dua hari lalu, lo emang masih akan terus nyindir gue setiap kali kita ketemu?” Vanya tertawa sinis mendengar pertanyaan itu. “Samuel Jonathan. Lo pikir cowok di dunia ini cuma lo doang? Apa karena sekarang lo terkenal, lo jadi ngerasa sombong dan mikir semua cewek tergila-gila sama lo?” Wajah Samuel tampak mengeras, menahan emosi. “Daripada ngurusin gue, mending lo urusin skandal yang lagi nyeret nama lo itu,” ujar Vanya mengejek, sambil menatap Samuel dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Siapa sangka cowok idaman banyak wanita ternyata punya penyimpangan seksu4l.” Telapak tangan Samuel mengepal kuat, jelas menahan amarah. Vanya tersenyum puas melihat ekspresi pria itu. Ia segera menghempaskan tangannya dari genggaman Samuel, lalu memasang wajah santai. “Gue beneran kasihan sama penggemar-penggemar cewek lo yang tertipu sama wajah tampan ini.” Beberapa detik setelah kalimat itu keluar, Vanya dibuat terkejut ketika Samuel dengan cepat menarik pinggangnya dan menyudutkannya ke tembok tersembunyi di antara lorong tempat mereka berdiri. “Apa-apaan sih lo!” bentak Vanya, memukul d**a Samuel karena posisi mereka yang kini sangat dekat—terlalu intim. “Kenapa? Bukannya lo yakin gue suka cowok sekarang? Mau gue buktiin apa bener gue udah nggak punya hasrat sama cewek?” Vanya terdiam, kaku. Tubuh mereka hanya berjarak satu senti. Ia bisa merasakan hembusan napas pria itu di wajahnya. Keduanya sama sekali tidak menyadari bahwa posisi mereka yang tampak begitu intim itu ternyata sedang dipotret oleh seseorang—secara diam-diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN