Bab 12

1478 Kata
Sebenarnya orang seperti apa dia? Vanya yang masih asyik melamun nampak terkejut karena Rino yang tiba-tiba menepuk lengannya. Ia mengalihkan pandangannya pada pria itu dengan ekspresi kebingungan. “Apaan sih?” Tanya Vanya. Mata Rino nampak melotot dengan bola mata yang bergerak beberapa kali, seakan tengah memberi kode pada Vanya. Namun, otak lemot Vanya tidak bisa memahami apa maksud kode yang diberikan oleh pria yang duduk di sampingnya ini. “Mata lo kenapa sih? Kelilipan?” Tanya Vanya yang semakin bingung dengan tingkah Rino. Menyadari bahwa Vanya tidak akan memahami kodenya, Rino segera mengangkat tangannya dan memegangi kedua pipi Vanya, ia lalu mengarahkan wajah gadis itu untuk menatap ke arah belakang tubuhnya. Saat itulah Vanya menyadari bahwa Mba Putri atasannya sedang berdiri di samping kursi yang ia duduki dengan kedua tangan yang terlipat di depan dadanya sambil menatap datar pada Vanya. “Eh Mba Putri. Selamat pagi Mba,” sapa Vanya yang segera berdiri sambil tersenyum tipis dan berusaha menyembunyikan ekspresi tertekannya. “Ke ruangan saya sekarang,” perintah Putri dengan nada datar. Tanpa menunggu jawaban Vanya, wanita itu segera melangkah lebih dulu menuju ke arah ruangannya. Dengan terburu-buru Vanya mengambil pulpen dan buku catatannya. Sebelum benar-benar meninggalkan meja kerjanya, ia kembali menatap ketiga rekan se tim nya. “Kita udah nyelesaiin laporan berita minggu ini kan?” Tanya gadis itu memastikan kembali deadline pekerjaannya. Tiga orang yang ditanya Vanya memberikan anggukan secara serentak, membuat Vanya langsung menghela nafas lega saat itu juga. Setelah sudah yakin bahwa ia tidak melakukan kesalahan apapun yang membuatnya bisa dimarahi oleh Mba Putri, Vanya kembali melanjutkan langkahnya menuju ruangan atasannya yang saat ini tengah menunggu dirinya. Begitu tiba di depan pintu ruangan Mba Putri, tidak lupa Vanya mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam sana. “Permisi Mba,” sapa Vanya sambil berjalan pelan ke depan meja kerja Putri. “Duduk,” perintah wanita berusia empat puluhan itu dengan tatapan yang menatap lekat pada Vanya. Setelah Vanya duduk di hadapan Putri atasannya, beberapa detik hanya ada keheningan di antara dua wanita yang usianya terpaut beberapa tahun itu. Vanya memilih diam dan menunggu hingga wanita di hadapannya ini berbicara lebih dulu pada dirinya. “Kamu tahu kenapa saya manggil kamu ke sini?” Tanya Putri. Dengan wajah bingung Vanya memberikan gelengan. Ia tentu saja tidak tahu alasan dipanggil ke ruangan atasannya itu, mengingat laporan berita minggu ini sudah ia setor sebagai bahan berita dan dirinya tidak punya deadline kerjaan yang belum diselesaikan. Putri sedikit menggeser layar pc yang ada di atas mejanya sehingga Vanya juga bisa melihat apa yang ditampilkan pada layar tersebut. Di sana terlihat beberapa artikel berita terkait hubungan Vanya dan Samuel yang memang cukup menghebohkan jagat dunia maya saat ini. “Apa kamu tahu kalau sebelum kamu datang ke kantor tadi,halaman depan gedung kantor kita dipenuhi puluhan wartawan yang mencari kamu. Mereka tentu saja tengah berusaha untuk mendapatkan berita tentang hubungan kamu dan Samuel Jonathan,” ujar Putri. Vanya tentu saya kaget dengan informasi tersebut, karena seingatnya saat ia tiba ke kantor tadi keadaan halaman kantor sama sekali tidak terlihat ramai dengan wartawan. “Untungnya satpam langsung bertindak cepat dan mengusir semua wartawan itu,” jelas Putri lagi untuk menjawab kebingungan dari ekspresi wajah Vanya saat ini. Mendengar hal itu Vanya jadi merasa tidak enak karena sudah membuat kehebohan di area tempat kerjanya. “Maaf mba, gara-gara saya keadaan kantor jadi sedikit kacau,” ucapnya dengan wajah yang nampak bersalah. “Saya tidak terlalu mempedulikan soal berita hubungan asmara kamu dan Samuel Jonathan, karena toh acara berita kita bukan acara berita untuk gosip selebriti. Hanya saja saya nggak mau kalau berita yang beredar saat ini mempengaruhi kinerja kamu sebagai seorang wartawan.” Vanya dengan cepat memberikan gelengan beserta ekspresi wajah yang nampak panik. “Saya pastiin berita yang beredar sama sekali nggak akan mempengaruhi kinerja saya sebagai wartawan. Saya janji akan ngurus masalah ini agar nggak menganggu area kantor dan juga rekan kerja yang lain,” ucapnya berusaha meyakinkan wanita di hadapannya ini. Putri tersenyum tipis, nampak puas dengan jawaban dari gadis muda di hadapannya ini. “Saya harap kamu tidak mengecewakan saya Vanya. Kamu salah satu pegawai yang kompeten dalam pekerjaan dan cukup saya andalkan selama ini, jadi semoga kamu tetap memegang kepercayaan saya terhadap kamu.” Vanya tentu saja langsung memberikan anggukan pada Putri dengan senyuman lega yang terpatri di wajahnya. “Baik Mba.” ***** “Akhirnya beresssss,” ucap Vanya sambil menghela nafas lega dan terlihat meregangkan tangan serta tubuhnya yang terasa begitu kaku karena duduk berjam-jam di depan meja kerjanya. “Kita duluan ya Vanya,” pamit Dewi dan Intan yang sudah lebih dulu membereskan pekerjaan mereka. Vanya memberikan anggukan sambil tersenyum pada kedua gadis di hadapannya itu. ‘Hati-hati ya,” ucapnya dengan tangan yang melambai pada keduanya. Setelah Intan dan Dewi sudah tidak terlihat, Vanya mengalihkan pandangannya pada Rino yang masih duduk tenang di sampingnya dengan wajah yang menatap serius pada layar komputer di hadapannya itu. “Lo belum balik No?” Tanya Vanya sambil terlihat merapikan meja kerjanya yang cukup berantakan saat ini. Tanpa menatap Vanya Rino memberikan gelengan untuk menjawab. “Gue masih nyelesaiin editan berita yang kemarin gue dan Dewi liput nih. Kejar tayang buat besok pagi soalnya,” ujar pria itu menjelaskan. Vanya memberikan anggukan paham setelah Rino menyelesaikan jawabannya. Ia tetap masih sibuk membereskan berkas-berkas yang berceceran di atas meja kerjanya sekaligus merapikan beberapa sampah kecil yang tidak sengaja ia taruh di rak meja ketika tengah fokus bekerja tadi. Di tengah kegiatan Vanya, terdengar suara dering dari dalam tas miliknya. Tanpa menunggu lama gadis itu langsung membuka tas miliknya dan mengeluarkan sebuah benda pipih yang terus berdering saat ini. Wajah Vanya yang sudah lesu karena lelah bekerja dibuat semakin lesu dan tidak bersemangat ketika melihat layar ponselnya yang menunjukkan nomor Samuel Jonathan, menandakan bahwa alasan ponselnya berdering adalah karena panggilan dari pria itu. “Halo,” jawab Vanya dengan nada malas setelah menekan tombol hijau dan menempelkan ponselnya di telinga. “Udah beres kerja belum? Aku udah di bawah nih.” “Hah? Di bawah mana?” Tanya Vanya kebingungan. “Ya di gedung kantor kamu lah.” Vanya tentu saja terkejut ketika mendengar jawaban Samuel atas pertanyaannya itu. Bagaimana bisa pria itu tiba-tiba sudah berada di gedung kantornya tanpa memberi kabar atau mengatakan apapun sebelumnya. “Kok nggak bilang-bilang mau ke sini?” Tanya Vanya dengan suara yang sedikit panik. Ia takut terjadi kehebohan jika orang-orang di gedung kantornya tahu kalau Samuel Jonathan datang menjemputnya hari ini, apalagi mengingat Mba Putri sudah memberikan beberapa peringatan pada dirinya tadi. Terdengar suara helaan nafas panjang dari sebrang telpon. “Semalam bukannya aku udah bilang bakal jemput kamu pulang kerja.” Ucapan Samuel membuat Vanya langsung teringat dengan perkataan pria itu di mobil semalam. Ia langsung menepuk jidatnya, melupakan janji antara dirinya dan Samuel. “Keluar dari area gedung kantor sekarang juga. Tungguin gue di pinggir jalan dekat gedung kantor aja, gue nggak mau ada kehebohan karena karyawan lain yang tahu kalau lo jemput gue di kantor,” perintah Vanya dengan volume suara yang berbisik ke arah ponselnya. “Aku jemput kamu supaya publik makin percaya dengan hubungan kita. Gimana bisa kamu malah takut dilihatin karyawan lain di kantor kamu?” Vanya nampak menghembuskan nafas kasar karena frustasi. Ia kemudian terdiam sebentar memikirkan sesuatu sebelum menjawab pertanyaan Samuel. “Gini ya Samuel Jonathan,” bisik Vanya dengan suara sepelan mungkin agar pembicaraannya ini tidak di dengar orang lain, termasuk Rino yang tengah sibuk di depan komputernya saat ini. “Kita emang lagi berusaha nunjukin ke publik soal hubungan kita, tapi harusnya kita nggak terang-terangan nunjukin hubungan sandiwara ini. Kalau dengan santainya lo dateng ngejemput gue, orang-orang malah bakal ngira kita emang sengaja buat gosip berpacaran untuk ngebantah rumor lo kemarin.” “Jadi mau kamu gimana?” “Gue yakin sekarang ini wartawan banyak yang diam-diam lagi ngikutin mobil lo. Kita harus bersandiwara seakan-akan lo jemput gue secara sembunyi-sembunyi, jadi publik akan berpikir kita emang masih berusaha menutupi hubungan kita,” jelas Vanya panjang lebar. “Hal gini aja kok lo yang publik figure nggak bisa ngerti sih,” lanjutnya dengan nada kesal. Beberapa detik hanya ada keheningan sebelum suara Samuel kembali terdengar. “Oke, kamu turun gih. Aku tunggu di pinggir jalan dekat area gedung kantor kamu. Hati-hati jalannya, jangan buru-buru karena nggak ada yang ngejar.” Setelah mengatakan hal itu sambungan telepon diantara Vanya dan Samuel langsung terputus. Beberapa detik Vanya nampak terdiam kaku dengan posisi tangan yang masih memegangi ponselnya yang menempel di telinga. Kalimat terakhir yang dikatakan Samuel entah kenapa cukup menyentil hatinya. Hati-hati jalannya, jangan buru-buru karena nggak ada yang ngejar kamu. Kalimat itu adalah kalimat yang sangat sering diucapkan Samuel padanya ketika mereka masih berpacaran dulu. Saat itu Vanya memang sangat senang berlari atau berjalan cepat ketika sedang excited pada suatu hal, hal itu membuatnya sering tersandung dan membuat Samuel selalu mengkhawatirkan dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN