6. Menundukkan Langit

1547 Kata
Kembali ke kamar Lolerei, Ilsa mendekatkan ember seng yang dibawanya ke bak mandi milik selir Raja. Baru saja ia hendak menuangkan air mendidih itu mendadak terdengar ketukan di pintu kamar. “Masuk!” Lolerei menjawab. Seorang prajurit membuka pintu dan membungkuk memberi hormat pada Lolerei. Ilsa langsung mengenali pria itu sebagai prajurit yang sama dengan yang sebelumnya menjemputnya. “Yang Mulia baru saja pulang dari berburu dan menginginkan kehadiran—” “Katakan pada Yang Mulia, aku akan segera ke kamarnya setelah mandi,” balas Lolerei cepat, memotong ucapan pria itu. Sang prajurit mendongak menatap Lolerei dengan wajah kebingungan. “Uhm… Yang Mulia menginginkan kehadiran… bu-dak nya, Nona.” “Apa…?” balas Lolerei kaget. Wanita itu langsung menoleh ke arah Ilsa yang masih memegang ember seng air panas di tangannya. “Yang Mulia mencari Kutu Busuk itu?” Sang prajurit ikut menoleh dan menatap ke arah Ilsa. Walaupun badan dan rambut Ilsa masih agak basah dari guyuran para pelayan di dapur, yang menjadikan penampilannya kian acak-acakan dari sebelumnya, tapi nampak jelas kecantikan wajah polos Ilsa jauh berada diatas Lolerei. “Be..benar, Nona. Yang Mulia meminta Nyonya Magda untuk membersihkan gadis itu dan menyiapkannya untuk menemaninya.” Jantung Ilsa berdegup dengan keras mendengar ucapan Sang Prajurit. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke Lolerei yang kini menatap nya dengan pandangan yang sama dengan yang diterimanya dari para pelayan istana. Penuh kedengkian. “Kau dengar perintah Yang Mulia,” ucap Lolerei dengan gigi menggeretak. “Tunggu apa lagi. Keluar dari sini!” usirnya. Ilsa langsung meletakkan ember yang di pegangnya dan buru-buru berdiri di belakang prajurit yang menjemputnya. Setelah menghormat, pria itu kembali mencengkeram lengan Ilsa dan menariknya keluar dari kamar. Tapi bukannya ke arah kamar Magda, prajurit itu menarik Ilsa ke arah sebaliknya menuju sebuah lorong gelap. Ilsa yang awalnya tidak sadar kini mulai mengerutkan keningnya kebingungan ketika menyadari bahwa lorong yang mereka lalui bukannya mendekati kamar Magda tapi makin menjauhi. “Uhm… Kemana kau membawaku, Prajurit?” tanya Ilsa mulai gelisah. Apalagi ketika dirinya menoleh ke belakang dan mendapati tidak ada saorangpun di sekitarnya. Bukannya menjawab, pria itu mendorong tubuh Ilsa keras hingga punggung gadis itu menabrak ke dinding. Ilsa menjerit kaget dengan perlakuan pria itu. Baru saja ia hendak membuka mulutnya untuk memprotes, pria itu membungkam bibir Ilsa dengan tangan kirinya dan ia mulai menciumi leher gadis itu. “Baru kali ini aku merasakan kehalusan kulit seorang putri,” erang pria itu. Tangan kanannya menyambar da-da mungil Ilsa dan mulai meremas. Ilsa meronta, ia mencoba berteriak, tapi bungkaman tangan pria itu semakin erat menekan wajah Ilsa ke belakang. Walaupun hanya dengan satu tangan, tapi kekuatan pria itu tentu saja tidak sebanding dengan tubuh kurus milik Ilsa. Gadis itu mencoba mendorong, tapi ketika tangan kanan pria itu terus meremas, mencari pucuk d**a Ilsa dan setelah menemukannya, memilinnya keras, tidak ada yang bisa dilakukan Ilsa kecuali menjerit dalam bungkaman. Sejak Samael menjadikannya bu-dak, Ilsa tidak pernah memakai bra, dan kini cubitan dari tangan prajurit itu langsung terasa menyakiti bagian sensitifnya. “Diamlah jika kau tidak ingin aku makin menyakitimu, Putri,” bisik sang prajurit ke telinga Ilsa. Hembusan nafasnya yang panas dan masam tercium di hidung Ilsa. “Aku akan melepaskan bungkaman tanganku, jika kau berjanji untuk tidak berteriak,” ancamnya. “Mengangguklah jika paham.” Cepat-cepat Ilsa mengangguk. Genangan air mata mulai nampak dikelopak mata Ilsa ketika pria itu perlahan melepaskan tangan kirinya dari bibir Ilsa. “Hentikan, kumohon,” desis Ilsa begitu mulutnya terbuka. “Ja…jangan lupa… aku adalah bu-dak dari Raja Samael. Yang Mulia pasti akan marah jika tahu kau menyentuhku tanpa persetujuan darinya,” lanjut Ilsa mencoba untuk mengancam pria itu. Peringatan Ilsa sepertinya berhasil membuat pria itu gentar. Ia menurunkan tangannya dari da-da Ilsa dan melangkah mundur. Sedetik pria itu tampak tidak yakin apa yang hendak dilakukannya, sadar bahwa ia sepertinya sudah melakukan sebuah kesalahan dengan menciumi bu-dak Rajanya tanpa persetujuan. Pria itu langsung menjulurkan tangannya ke leher Ilsa dan meremas. “Berani kau melaporkan hal ini, akan kubunuh kau saat ini juga,” ancam nya sambil mencekik lebih erat. Prajurit yang bernama Owen itu baru saja bergabung dengan pasukan Samael karena diberitakan bahwa Samael tidak pernah kalah di peperangan. Owen, seperti kebanyakan prajurit Samael adalah dari kalangan orang miskin di Kota Valorent. Owen dulunya adalah seorang penjambret. Berkeliaran di pasar Kota mencuri dari wanita dan pria tua. Tertindas seumur hidup, pria itu mengira ia akan mendapatkan banyak hasil rampasan dari kerajaan Valorent ketika bergabung. Namun, alangkah kecewanya Owen ketika mendapati bahwa Samael malah rupanya membagi-bagikan kebanyakan harta kerajaan kepada rakyat nya. Belum lagi bu-dak yang di lepaskannya, menjadikan harapannya untuk bisa menikmati tubuh seorang wanita, lenyap. “Jawab!” bentak Owen mencekik lebih erat. Ilsa menggenggam pergelangan tangan Owen sambil menggeleng. “A…aku tidak akan bilang… aku janji. Le…lepaskan…,” balas Ilsa. Suaranya tersendat-sendat berusaha melewati cekikan tangan pria itu. Puas dengan jawaban Ilsa, pria itu perlahan melonggarkan cekikannya dan melepaskan cengkeramannya. Membiarkan Ilsa akhirnya bisa menghirup nafasnya dalam-dalam sambil terbatuk-batuk. “Baiklah… Ayo!” perintah Owen lega, merasa berhasil mengancam Ilsa. Ia kembali menarik lengan gadis itu keluar dari lorong gelap dan menuju kamar Magda. Begitu tiba di tujuannya, Owen sekali lagi meremas lengan Ilsa sambil menggeram. “Ingat, jangan sampai ada yang tahu apa yang barusan kulakukan!”ancamnya. Ilsa mengangguk cepat. Puas akan jawaban gadis itu, Owen mengetuk pintu kamar Magda dan meninggalkan Ilsa begitu seseorang membuka pintu. Magda sudah menunggu di dalam kamarnya dengan se-bak penuh air hangat dan seorang pelayan untuk memandikan Ilsa. Dan betapa girangnya Ilsa ketika menemukan bahwa pelayan yang ditugaskan untuknya adalah satu-satunya teman yang dimilikinya di istana. “Anna!” serunya hendak memberi wanita itu sebuah pelukan yang langsung diurungkannya karena gelengan pelan dari kepala Anna yang melarangnya. Magda melirik kecil ke arah Anna sebelum kemudian mengembalikan pandangannya pada Ilsa. “Kalian saling kenal?” tanyanya masam. Ilsa mengangguk, “I..iya, Nyonya.” Magda mendengus. Ia sebenarnya masih ingin bertanya tapi tidak ingin semakin membuang waktu lagi karena Samael sudah menunggu, ia hanya menggerakkan telunjuknya memerintah Ilsa untuk masuk. “Sudahlah, lekas lucuti pakaianmu dan masuk ke bak mandi. Jangan biarkan Yang Mulia menunggu lebih lama lagi,” perintahnya. Ilsa menurut. Tanpa suara ia melepaskan kain polos dan pakaian dalamnya lalu melangkah masuk ke dalam air hangat yang langsung memeluk badannya yang kurus. Sejenak, ketika ia menutup matanya, Ilsa bisa merasakan kehidupan lamanya kembali. Belaian tangan Anna yang membersihkan tubuhnya dan mengguyur rambutnya terasa sama. Membuainya, bagaikan sebuah sihir dimana ia memiliki kekuatan untuk bisa memutar jarum jam dan kembali ke masa lalu. Hingga sebuah suara membuyarkan bayangan yang sedang terbentuk di kepala Ilsa. “Sudah, jangan lama-lama. Keluar dari bak mandi dan kenakan ini!” perintah Magda. Wanita itu menyodorkan gaun tipis lain kepada Ilsa dan kembali membentak, “Lekas!” Ilsa buru-buru berdiri dari bak dan melangkah keluar dengan kedua tangan mendekap da-danya. Setelah Anna mengeringkan tubuh Ilsa dan membantunya berpakaian, gadis itupun siap dibawa ke kamar Samael. Magda menatap Ilsa sekali lagi, memastikan bahwa semuanya sesuai dengan keinginan Samael. Dibawah tatapan tajam Magda, Ilsa bisa merasakan tubuhnya yang mulai mengigil. Dirinya hanya mengenakan ce-lana dalam. Tanpa bra, gaun tipis yang dipakainya bahkan tidak mampu menutupi sisi da-danya yang, walaupun kecil tapi padat dengan pucuk yang meruncing keatas. Jenis payu-dara yang sanggup menundukkan langit, pikir Magda menatap tubuh gadis itu. Ia tergelak sendiri dalam hati memikirkan ucapannya barusan. Pantas saja Samael bersikap lunak padanya. Magda membalikkan badan dan berjalan keluar, sambil mengisyaratkan Ilsa untuk mengikutinya. Gadis itu mengekor dalam diam. Kedua tangannya mendekap kedua da-danya berusaha menutupi benda itu dari tatapan prajurit yang berjaga di sepanjang lorong. Begitu tiba di depan kamar Samael, Magda mengetukkan tangan kurusnya ke pintu kayu dan menunggu. “Masuk!” Tak lama, sebuah jawaban terdengar dari dalam kamar. Suara bernada rendah dan dingin yang langsung membuat jantung Ilsa meronta hendak berlari dari tempatnya dan meninggalkan pemiliknya gemetaran seorang diri. Magda membuka pintu dan tanpa ikut masuk ke dalam, ia melirik ke arah Ilsa mengisyaratkan gadis itu untuk masuk ke dalam kamar. Dengan tubuh gemetaran, Ilsa memaksakan kakinya untuk melangkah. Hanya beberapa jangkah, sebelum suara pintu yang tertutup di belakangnya mengagetkannya, dan membuatnya tersentak. Ilsa menoleh kebelakang dan mendapati Magda sudah menghilang, dan pintu kamar sudah tertutup rapat. Perlahan, Ilsa kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Ke arah Samael, Masternya. Pria itu sedang duduk di kursi dengan tangan mengelus dahinya pelan. Matanya menatap lekat ke sebuah peta yang terpapar di depannya. Wajahnya yang serius terlihat bersih dan rapi, seolah pria itu baru saja membersihkan dirinya. Selama beberapa menit ia tidak mengindahkan kehadiran Ilsa. Hingga akhirnya pria itu mendadak menaikkan pandangannya yang membuat Ilsa buru-buru menunduk. “Lucuti pakaianmu!” perintahnya singkat. Tatapan mata dingin itu masih sama. Tidak ada emosi yang keluar dari Samael ketika memerintah. Dengan tangan gemetaran, Ilsa menuruti perintah Samael. Ia meraih gaun di pundaknya dan menariknya turun. Setelah gaun tipisnya melorot pasrah hingga ke kaki, gadis itu merapatkan kedua tangannya di samping tubuhnya, seperti yang diingatnya dari pertemuan mereka sebelumnya. “Celana mu juga! Lalu berlututlah!” lanjut Samael. Ilsa menelan ludahnya tapi melakukan perintah Samael tanpa bersuara. Setelah tidak terbungkus sehelai benangpun, Ilsa menunduk dan berlutut di atas lantai dengan lutut terlipat merapat di bawah pinggulnya dan kedua tangan lurus merapat ke sisi tubuhnya. “Bukan begitu, Bu-dak. Lebarkan pahamu.” ====
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN