“Bukan begitu, Bu-dak! Lebarkan pahamu.”
Perintah terbaru Samael membuat Ilsa tanpa sadar mendongak, melupakan peraturan yang diberikan padanya untuk tidak menatap kearah Samael.
Mata lebar gadis itu langsung bertubrukan dengan mata Samael yang memicing tajam.
“Turunkan pandanganmu!” bentak pria itu.
“Ma…Maaf, Master,” jawab Ilsa buru-buru kembali menunduk sambil perlahan beringsut melebarkan kedua pahanya yang tertekuk.
Awalnya Ilsa berusaha menutupi bagian bawah tubuhnya yang kini terbuka lebar dengan kedua tangannya sebelum decakan dari bibir Samael kembali terdengar dan membuatnya langsung menarik tangannya ke samping lagi.
Ilsa mengeratkan rahangnya sambil sekuat tenaga memaksakan kedua tangannya berada di tempatnya, melawan teriakan di benaknya untuk menutupi kema-luannya. Gadis itu bisa meraskan matanya yang mulai memanas karena berusaha menahan air matanya agar tidak keluar.
Jika saja Samael mengamati tubuh Ilsa, pria itu pasti bisa dengan jelas menatap celah yang sedikit membelah diantara pa-ha gadis itu. Merekah malu-malu dikelopaknya yang polos tanpa dibayangi oleh sehelai rambut pun.
Tapi Samael tidak peduli. Puas dengan kepatuhan dari Ilsa, pria itu kembali menundukkan wajahnya dan membenamkan perhatiannya ke peta yang masih terbentang diatas mejanya. Pikirannya hanya dipenuhi oleh satu hal saat itu. Dibalik tinta berwarna merah yang menandai beberapa Kerajaan di sekitar Volarent, terdapat sasaran kerajaan yang hendak ditaklukkannya. Dan ia berencana untuk melakukannya lewat Pesta Penamaan nya.
Sudah menjadi tradisi bagi Raja yang baru bertahta untuk mengadakan Pesta Penamaan. Dimana Raja-raja tetangga yang berniat memberikaan dukungan datang dengan membawa berbagai hadiah. Peti emas dan bu-dak sebagai tanda koalisi antar kerajaan dan perjanjian tidak saling menyerang secara tidak langsung.
Samael sebagai seorang raja baru, berhak untuk mengadakan Pesta Penamaan. Ia bahkan berniat untuk menggunakan acara itu untuk melancarkan tujuannya.
Undangan Pesta Penamaan sudah disebar beberapa hari yang lalu pada lima kerajaan yang bertanda merah di petanya. Kelimanya menyatakan kehadirannya ke acara Pesta Penamaan Samael. Dan Samael memiliki rencana khusus untuk kelimanya.
Oh ya…. Samael tidak akan berhenti di Valorent. Ia berniat untuk menghancurkan semua kerajaan yang mengijinkan kepemilikan bu-dak. Kerajaan dengan raja seperti Raja Terrance yang menganggap bahwa manusia memiliki harga yang sama dengan binatang ternak bahkan kadang dibawah binatang.
Ia mengepalkan tangannya sangat erat hingga ujung kukunya memutih. Mengingat Raja Terrance membuat darah pria itu kembali mendidih.
Samael mengalihkan pandangannya kembali kepada Ilsa yang masih duduk bersimpuh denga pa-ha terbuka di tempatnya. Rambutnya yang panjang terurai ke depan menutupi ujung dadanya yang mungil.
“Aku hendak mengadakan Pesta Penamaan 3 hari lagi.”
Suara Samael yang memecah kebisuan diantara keduanya mengagetkan Ilsa yang sedang membayangkan dirinya berada di kamar Magda dan kembali berendam dalam kehangatan airnya yang harum.
“Pesta Penamaan, Master?” ulang Ilsa tanpa mendongak. Mendadak perasaan tidak tenang menjalar dalam da-danya mendengar acara itu. Ia ingat ayahnya sering menghadiri banyak Pesta Penamaan di kerajaan-kerajaan tetangga. Biasanya, pria itu akan berangkat membawa sepeti emas dan deretan bu-dak dan pulang tanpa keduanya.
Ilsa tidak terlalu paham apa yang terjadi pada Pesta Penamaan, tapi ia bisa melihat di wajah-wajah bu-dak itu ketika mereka berangkat. Penuh dengan kengerian dan ketakutan yang membuatnya yakin sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.
“Kau tidak tahu apa yang terjadi pada Pesta Penamaan?” tanya Samael dengan suara rendah. Terlihat jelas kilatan kemarahan dalam mata pria itu ketika bertanya. Apalagi ketika Ilsa menggeleng.
Samael mendengus, “Tentu saja. Putri naif yang tidak mempedulikan apapun kecuali dirinya. Tidak jauh berbeda dari ayahnya.”
Amarah kembali menguasai diri pria itu. Bahkan Ilsa bisa merasakannya dari getaran suara pria itu ketika memanggilnya.
“Merangkaklah kemari, Bu-dak!”
Perintah lain meluncur dari bibir pria itu. Masam dan datar.
Ilsa menjulurkan tangannya dan mulai merangkak mendekat. Entah sudah berapa lama gadis itu bersimpuh sementara Samael mempelajari petanya, ia bisa merasakan kakinya yang gemetaran menahan beban tubuhnya.
Begitu sampai di depan Samael, pria itu menunjuk ke lantai di dekat kakinya.
“Duduk,”ucapnya singkat.
Lega ia akhirnya diperkenankan untuk duduk, Ilsa langsung menempelkan pantatnya ke lantai dan memiringkan kedua kakinya ke samping.
Wajahnya membelakangi Samael yang kembali mengalihkan perhatiannya ke lembaran peta di depannya. Ia meraih sebuah pena diatas mejanya dan menuliskan sesuatu diatas secarik kertas. Rincian akan apa yang diperlukannya untuk Pesta Penamaan yang akan diadakannya.
Sebuah senyuman kecil muncul di bibirnyaa, seolah puas akan rencana yang di tulisnya. Ia kemudian menggulung kertas itu dan menyegelnya menggunakan lilin yang distempelnya dengan capnya yang berlambang SM. Sama dengan yang kini membekas di d**a kiri Ilsa.
“Prajurit!” teriak Samael dari dalam kamar.
Seorang prajurit yang berjaga di depan pintu masuk dan menunduk dengan wajah menatap lantai.
“Serahkan ini ke panglima Luca.”
Samael mengangkat gulungan itu ke atas.
Sekuat tenaga berusaha tidak melirik ke arah kaki Rajanya dimana Ilsa sedang bersimpuh tanpa sehelai benangpun, prajurit itu mendekat. Ia meraih gulungan kertas dan berjalan keluar.
“Sekarang satu masalah selesai. Kau!” Samael melirik ke gadis yang ada di bawah kakinya. “Putri Raja naif yang tidak peduli apapun. Akan kuajari bagaimana seorang bu-dak bersikap diatas ranjang,” lanjut Samael kaku.
“Merangkaklah ke ranjang lalu berlutut lah diatasnya.”
Masih teringat jelas dibenak Ilsa, rasa sakit yang disebabkan oleh Samael ketika pria itu terakhir kalinya menyetu-buhinya, membuat tubuhnya kini tidak mampu bergerak karena terlalu takut.
Melihat Ilsa masih juga membeku, Samael langsung meraih rambut coklat gadis itu dan menariknya kuat-kuat hingga kepala Ilsa tersentak kebelakang. Tidak berhenti disitu, tangan nya yang lain bergerak ke bawah dan mencubit pucuk da-da kanan Ilsa hingga gadis itu menjerit.
Samael tidak melepaskan cubitannya. Tarikan dari tangan kecil Ilsa yang mencengkeram lengan kanannya terasa bagaikan tepukan seekor kelinci ke cakar harimau yang sedang mencabiknya.
“Ma..maafkan aku,” rintih Ilsa.
“Maafkan aku…siapa?”
“Maafkan aku, Master,” ulang gadis itu menahan rasa sakit yang dihasilkan dari remasan telunjuk dan jempol Samael ke pu-tingnya.
“Apa perintahku, Bu-dak? Merangkaklah ke ranjang dan berlututlah disana,” ulang Samael melalui gertakan giginya.
Ilsa mengangguk cepat. Apapun asal Samael lekas memindahkan cubitannya dari bagian tubuhnya yang sensitif.
“Baik, Master.”
Samael melonggarkan cengkeraman tangannya. Begitu terlepas, Ilsa langsung melesat cepat ke arah ranjang dan berlutut di atasnya.
“Bagus. Sekarang tundukkan badanmu dan julurkan tanganmu lurus kedepan.” Samael memberikan perintah berikutnya.
Ilsa menurut. Ia menelungkupkan badannya dan meluruskan lengannya jauh ke depan. Wajahnya menempel ke kasur yang ada di bawahnya.
“Naikkan pinggulmu dan lebarkan pa-hamu!”
Mengikuti bentakan Samael, gadis itu mengangkat pantatnya naik ke atas. Dan walaupun tidak ada angin yang sedang berhembus, tapi Ilsa bisa merasakan sapuan angin di bagian bawah tubuhnya yang terpampang jelas.
“Ingatlah posisi ini, Bu-dak! Beginilah kau seharusnya bersikap ketika melayaniku diatas ranjang. Mengerti?” tanya Samael.
“Y..ya, Master,” balas Ilsa lirih.
Dengan pu-ting kanan masih terasa berdenyut, Ilsa kini hanya bisa memejamkan matanya sambil menunggu. Ia membuka pahanya lebar-lebar dan menunggingkan pinggulnya keatas, menyambut kedatangan siksaan yang berikutnya.
Suara Samael yang membuka bajunya terdengar. Gemerincing dari sabuk berisi pedang dan gesekan kain, diikuti dengan bunyi langkah kakinya yang berat.
Ranjang berderik pelan ketika pria itu naik keatas. Disusul oleh gesekan dari jemari pria itu di celah Ilsa yang terpampang.
Ilsa menempelkan wajahnya erat keatas kasur sambil menahan nafas, menunggu. Gadis itu bisa merasakan jemari Samael membelah lipatan tubuhnya, diikuti dengan sesuatu yang keras dan panas menempel di permukaan bibirnya.
“Mpphh!” erang Ilsa tertahan.
Gadis itu membenamkan wajahnya semakin dalam ke kasur ketika benda Samael tiba-tiba menyerodok masuk ke dalam tubuhnya dalam sekali hentak.
Pria itu menarik pinggul Ilsa semakin keatas, membuat lutut Ilsa yang gemetaran harus menumpu diatas ranjang. Dengan kedua tangan mencengkeram pinggul Ilsa, Samael menarik keluar badannya lalu membenamkannya kembali dalam-dalam.
Ilsa menggeliat. Walaupun sudah bukan pertama kalinya Samael memasukinya, tapi rasa sakit itu terasa sama. Ia mengangkat punggungnya, hendak menegakkan tubuhnya dari posisinya yang menungging, agar bisa menghentikan Samael, tapi remasan tangan pria itu ke puncak da-danya kembali terasa.
“Jangan bergerak!” geram Samael.
Remasan pria itu berubah menjadi cubitan. Menjepit pu-tingnya hingga membuat Ilsa tidak punya pilihan selain kembali menurunkan badannya.
“Ma… maaf, Master,” bisik Ilsa menahan tangis. Namun seberapa ia mencoba, sebutir air mata akhirnya mengalir keluar dan langsung merembes ke kasur tempat gadis itu membenamkkan wajahnya.
Samael memindahkan tangannya dari da-da Ilsa ke tengkuk gadis itu.
Telapak tangannya yang lebar menahan tubuh kurus itu agar tidak bisa bangkit lagi ketika ia meneruskan rajamannya, keluar dan masuk dari celah sempit di sela paha gadis itu.
Sama seperti sebelumnya, tidak terdengar suara apapun di dalam kamar itu selain rintihan dari bibir Ilsa yang tertahan dan suara kulit Samael yang bertubrukan dengan pinggul gadis itu. Seolah apa yang dilakukan Samael malam itu, hanya bertujuan untuk menghukum dan bukan untuk kenikmatannya.
Beberapa menit terasa bagaikan berjam-jam bagi Ilsa. Ketika akhirnya Samael melepaskan leher gadis itu dan mengeluarkan tubuhnya dari dalam Ilsa,
Tidak ada yang bisa Ilsa lakukan kecuali menurunkan pinggulnya dan terisak dalam diam. Dengan wajah yang masih menempel ke kasur, ia bisa mendengar Samael yang kembali berpakaian dan berjalan menuju pintu depan.
Pria itu melemparkan sesuatu ke atas ranjang sebelum keluar.
“Kenakan mantelku dan keluar dari sini!” perintahnya singkat diikuti suara pintu yang terbanting menutup.
Begitu langkah kaki Samael menghilang dari pendengarannya, barulah Ilsa mendapatkan keberanian untuk bergerak.
Gadis itu memaksakan tubuhnya untuk merayap turun dari ranjang. Diliriknya bagian bawah tubuhnya yang terasa nyeri. Bercak kemerahan kembali muncul di sela pa=hanya. Tidak sebanyak sebelumnya, tapi juga tidak sedikit.
Sambil tertatih, Ilsa meraih gaun tipisnya dari atas lantai dan menggunakannya untuk mengelap sisa air matanya.
Seperti kata Anna, tidak perlu ada yang tahu bahwa dirinya habis menangis. Ia tidak akan membiarkan siapapun melihat air matanya.
Tapi semakin ia mengelap, semakin banyak lelehan air mata yang keluar dari wajah Ilsa. Membasahi gaun yang ada ditangannya. Hingga akhirnya ia tidak bisa lagi menahan senggukannya dan membiarkan aliran air hangat itu menghujani wajahnya dan menetes ke permukaan lantai yang sedang dipijaknya.
Hanya kamar kosong milik Samael lah yang menjadi saksi bisu kesedihan Ilsa malam itu. Karena setelah gadis itu mulai bisa menguasai senggukannya, ia kembali menegakkan tubuhnya, mengenakan gaun tipis yang dimilikinya, dan meraih mantel panjang milik Samael diatas ranjang.
Dengan langkah terseok menahan rasa sakit di sela pa-hanya, Ilsa berambat keluar dari kamar Samael. Satu tangannya mendekap mantel yang teralung ke bahunya sementara tangan satunya meraba tembok dan menggunakannya sebagai pegangan.
Ketika Ilsa melewati kamar lamanya yang kini digunakan oleh Lolerei, samar terdengar suara erangan dan geraman dari dalamnya, bercampur dengan desahan seorang wanita, yang membuat Ilsa menghentikan langkahnya. Tubuh Ilsa membeku di depan pintu apalagi ketika ia mengenali geraman itu sebagai suara Samael.
Rupanya ke kamar Lolerei lah Samael menyelesaikan urusannya setelah pria itu menyiksanya.
Ada secuil rasa pedih terlintas di benak Ilsa. Sebesar itukah benci Samael padanya hingga ia tega melakukan semua ini hanya untuk menghukum apa yang dilakukan ayahnya?
Mendadak, pintu kamar terbuka. Hampir saja Ilsa terjatuh jika tidak karena pegangannya pada dinding lorong.
Tampak kekagetan di mata Samael ketika tatapan keduanya bertemu. Hanya beberapa detik karena kemudian Ilsa menyadari kesalahannya dan buru-buru menundukkan kepalanya.
Tanpa berkata apa-apa, Samael berlalu dan membiarkan Ilsa kembali sendirian di lorong yang sangat dikenalnya namun kini terasa asing.