“Ilsa.” Samael memanggil tanpa menghentikan apa yang dilakukannya. Suara rendah Samael yang memanggil namanya, membuat sesuatu dari dalam diri Ilsa bangkit. Sesuatu yang sudah sejak lama ada, tapi selalu di paksanya untuk kembali bersembunyi. Harapan. “Rajaku.” Ilsa membalas. Samael tidak bereaksi akan panggilan Ilsa yang memanggilnya ‘Rajaku’ dan bukannya ‘Master’. Ia masih menggeram penuh kenikmatan sambil masih mencengkeram pinggul Ilsa, menggerakkannya naik dan turun dengan kasar. Setiap desakan, menyentak mulut rahim Ilsa. Memerintahkan gadis itu untuk melenguh lebih keras. Menjerit lebih lantang. Mencengkeram lebih erat. Seperti biasa, bersama Samael, kenikmatan dan kepedihan selalu menyatu menjadi satu. Luka Sang Raja terlupakan. Samael terus menggerakkan tubuh Ilsa, hingga