“Kau siap?” tanya Magda membuyarkan lamunan Ilsa.
Gadis itu mengangguk pelan. Apapun yang akan terjadi. Ia akan menghadapinya.
“Ikuti aku,” ucap Magda berjalan keluar.
Ilsa bisa merasakan tarikan semakin keras di da-danya semakin langkah keduanya mendekati kamar Samael.
Dua orang berjaga di depan kamar Samael seperti biasa berusaha untuk tidak menoleh ke arah Ilsa ketika Magda mengetuk pintu kamar.
Begitu jawaban terdengar, wanita itu membuka pintu tapi tidak masuk ke dalamnya. Ia hanya menyingkir di sisi pintu mempersilakan Ilsa untuk masuk ke dalam seorang diri sebelum kembali menutup pintu rapat.
Samael masih mengadakan pertemuan dengan kedua panglimanya ketika Ilsa masuk. Gadis itu langsung berlutut di atas lantai dan menunggu dengan wajah tertunduk. Bagian belakang tubuhnya yang terbuka terasa dingin tertiup angin yang berasal dari jendela kamar Samael yang terbuka.
Sekilas ia melirik ketiga pria yang masih terlihat serius membicarakan sesuatu yang tidak ia pahami. Tanpa perhatian ke arahnya, Ilsa bisa dengan leluasa mengamati Samael yang hari itu terlihat berbeda.
Jika biasanya pria itu hanya mengenakan kemeja longgar lusuh dan celana kulit panjang, hari ini Samael terlihat rapi dengan pakaian kerajaan yang sepertinya baru saja dibuatnya khusus untuk acara itu. Warna kemejanya yang coklat keemasan senada dengan warna rambut Ilsa. Sebuah mantel panjang berwarna merah tersampir di pundak pria itu memberi kesan regal yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh Samael karena pria itu memiliki aura alami seorang pimpinan walau mengenakai pakaian biasa.
Tapi harus diakui Ilsa, dengan pakaian barunya, Samael bukan lagi terlihat seperti seorang pemberontak, namun seorang Raja. Layak bersanding dengan Raja-raja yang lain.
Seolah sadar sedang diperhatikan, mendadak, Samael menoleh ke arah Ilsa yang kaget dan buru-buru kembali menundukkan wajahnya.
“Baiklah. Kerjakan, dan tunggu aba-aba dariku,” ucap Samael kembali ke kedua panglimanya.
Keduanya mengangguk dan berlalu keluar, melewati Ilsa begitu saja.
Dari yang diceritakan oleh Anna, Alden dan Luca adalah kakak beradik, sama-sama bekas bu-dak ayahnya yang melarikan diri bersama dengan Samael. Keduanya sudah dianggap sebagai saudara dan dipercaya sepenuhnya oleh Samael.
Begitu Alden dan Luca menghilang dari balik pintu. Samael meraih pedangnya dan memasangkannya ke pinggangnya. Wajahnya tidak berekspresi. Dingin seperti biasa. Ia berjalan menuju ke lemari bajunya dan menarik keluar sesuatu yang bergemerincing. Suaranya mengingatkan Ilsa akan bunyi yang dibuat oleh bu-dak ayahnya ketika sedang dibawa keluar dari istana.
“Kemari!” perintah Samael.
Ilsa menjulurkan tangannya dan mulai merangkak ke arah pria itu. Begitu berada di kaki Samael, ia berhenti dan kembali bersimpuh.
Samael menunduk. Memasangkan sesuatu melingkari leher Ilsa. Gadis itu langsung sadar apa yang dipasangkan kepadanya. Sebuah ban leher dari kulit, yang melekat erat hampir mencekik nya. Sebuah rantai tersambung dari ban leher yang ujungnya kini dipegang oleh Samael.
Ilsa mengangkat tangannya menyentuh benda licin di lehernya.
Ia menyelipkan ujung jemarinya ke ban leher itu dan berusaha menariknya. Namun ban leher itu melekat erat dan mulai membuatnya panik. Dan semakin ia panik, semakin sesaklah nafasnya.
“Semakin dirimu meronta, semakin erat benda itu melekat ke lehermu. Tenangkan dirimu agar kau bisa bernafas,” ujar Samael. Suaranya yang dingin, anehnya, sedikit menenangkan Ilsa.
Gadis itu berhenti meronta dan menarik nafasnya perlahan. Begitu detak jantungnya mulai menurun, bisa dirasakannya lehernya mulai menyempit dan mengakibatkan kalung kulit yang melekat di lehernya sedikit longgar.
“Berdiri! Ikuti aku,” perintah Samael mulai berjalan keluar dari kamar sambil mencengkeram ujung rantai yang melekat ke leher Ilsa.
Gadis itu menurut. Sambil berlari kecil dibelakang Samael, Ilsa berusaha mengimbangi langkah lebar pria dengan langkah kecil kakinya sendiri.
Gemerincing dari rantai adalah satu-satunya suara yang terdengar sementara keduanya berjalan melewati lorong istana menuju ke tempat perjamuan. Semakin mereka mendekati ruangan diadakannya Pesta Penamaan, semakin ramai pula suasana.
Pelayan-pelayan bersliweran menyiapkan hidangan untuk para tamu yang sudah ada di dalam. Sekilas Ilsa melihat Anna yang mengamatinya dari ujung matanya. Temannya itu terlihat mengerutkan kedua alisnya dengan wajah khawatir tapi tidak mampu melakukan apa-apa.
Dua orang penjaga menarik pintu kayu yang besar terbuka begitu Samael tiba.
“Raja Samael dari Valorent!”
Teriakan terdengar dari salah seorang penjaga, mengumumkan kedatangan Samael kepada seluruh tamu yang sudah ada di dalam.
Samael melangkah masuk perlahan, mengamati orang-orang yang ada di dalamnya.
Ada sekitar 5 Raja yang hadir dalam acara itu ditemani oleh deretan bu-dak yang terantai satu sama lain berjejer dengan kepala menunduk.
Semua tamu berdiri menyambut kedatangan Samael. Dibelakang Samael, Ilsa mengekor dengan mata membelalak dan jantung berdebar tidak karuan.
Ilsa mengenali beberapa dari mereka sebagai pendukung ayahnya, dan seperti yang ditakutinya, salah satunya adalah raja yang pernah di tolak olehnya. Pria dengan gigi tidak rata dan hidung melengkung bak paruh burung.
Semula, semuanya menatap ke arah Samael sambil menganggukkan kepala. Tapi begitu pria itu lewat, tatapan tajam raja-raja itu langsung mengarah kepada Ilsa.
Cengiran dan senyuman yang tertuju padanya langsung menyiutkan nyali Ilsa. Ia bisa merasakan kakinya mulai gemetaran dan punggungnya berkeringat, walaupun bagian belakang gaunnya sama sekali tidak tertutup. Tidak ingin terjatuh, ia menghentikan langkahnya hingga ujung rantai yang di genggam Samael menyentaknya untuk kembali bergerak.
Semula Ilsa mencoba menolak. Kedua tangannya mencengkeram rantai yang tersambung ke lehernya dan menariknya agar telepas dari genggaman Samael.
Merasakan perlawanan dari Ilsa, Samael berhenti dan menoleh ke belakang. Ia tentu bisa melihat wajah Ilsa yang pucat pasi dan bibirnya yang gemetaran menatapnya, seolah memohon agar ia diijinkan untuk keluar dari ruangan itu. Tapi yang membalas tatapan Ilsa, hanyalah wajah dingin dan membeku dari Samael.
Tanpa berucap, pria itu menarik rantai yang di genggamnya keras dan menyentak Ilsa agar kembali berjalan. Tidak ada lagi pilihan bagi gadis itu selain mengikuti tarikan dari Samael hingga pria itu duduk di singgasananya yang ada di ujung ruangan.
“Duduk!” perintah Samael ke arah Ilsa yang dengan senang hati langsung menjatuhkan badannya yang lemas ke bawah kaki pria itu, berharap tubuhnya yang mungil bisa bersembunyi di balik jubah Samael yang lebar dan menghilang.
Namun begitu Samael duduk, acara dimulai.
Raja dengan gigi tidak beraturan dan hidung bengkok yang sejak tadi mengamati Ilsa berjalan mendekat. Pria itu mengangguk ke arah Samael tanpa mengalihkan tatapannya dari pria itu. Tindakan yang menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya menghormati Samael, menurut Ilsa.
“Raja Samael!” seru pria itu. “Namaku, Maximus, Raja dari Kerajaan Raya. Saya membawa dua buah peti emas dan lima bu-dak untuk menyambut penguasa baru Kerajaaan Valorent.”
Ia menjulurkan tangannya, menunjuk dua peti emas yang ada di sebelah kursinya, diiringi deretan bu-dak yang berjajar di sebelah peti.
Lima bu-dak yang di bawa Maximus tidak hanya wanita tapi juga pria. Bu-dak wanita mengenakan gaun-gaun tipis yang indah mirip dengan yang dipakainya, sementara para bu-dak pria nya hanya mengenakan kain pendek yang melingkari pinggang mereka. Menunjukkan tubuh mereka yang penuh dengan bekas luka dan stempel di tiap d**a mereka.
Samael mengangguk, menandakan ia menerima upeti yang diberikan oleh Raja Maximus. Pria itu melangkah mundur, digantikan oleh Raja-raja yang lain.
Lebih banyak upeti dan lebih banyak bu-dak, Ilsa menghitung pasti setidaknya Samael menerima 20 bu-dak dan 8 peti emas hari itu.
Begitu kelimanya selesai, giliran Samael yang berucap.
“Aku berterima kasih pada dukungan kalian semua. Namun bukan upeti atau bu-dak yang kuperlukan. Tapi sebuah perjanjian.”
Kelima Raja saling beradu pandang tidak paham. Hingga Samael melanjutkan.
“Untuk menunjukkan dukungan kalian padaku, bagaimana kalau sekarang kalian pulang, dan melepaskan semua bu-dak yang kalian miliki? Berikan kebebasan pada mereka dan perlakukan mereka layak. Maka aku akan menganggap Kerajaan kalian sebagai kawan dan bukan lawan.”
Ucapan Samael tentu saja mengagetkan kelimanya. Dengungan yang semula menyatakan kebingungan berubah menjadi teriakan protes dan tidak setuju.
“Mana mungkin kami bisa begitu saja melepaskan bu-dak yang kami miliki?” teriak Raja bernama Heron yang membawakan 3 orang bu-dak untuk Samael. “Kami membeli mereka dengan harga yang mahal.”
Ucapan Heron ditimpali oleh anggukan dari yang lain.
“Arg! Kau hanya tidak mau berbagi bu-dak mu sendiri dengan kami bukan?!” tuduh Maximus, Raja dengan gigi tidak beraturan yang sejak tadi tidak bisa berhenti menatap Ilsa. “Seorang putri sebagai bu-dak pantas saja kau menolak bu-dak yang kami bawa. Kau hanya tidak ingin ada yang menyentuh bu-dakmu!”
Ucapan Maximus membawa anggukan kepala dari yang lain.
“Benar. Untuk apa kami datang jauh-jauh jika bukan untuk dijamu. Lekas, kemarikan bu-dak mu dan layani kami!! Sebelum aku menarik dukunganku.”
“Ya! Benar!”
Dua orang raja melangkah mendekati singgasana dengan pandangan mengarah pada Ilsa yang kian bersembunyi di balik kaki Samael dengan tangan mencengkeram erat jubah pria itu.
“Baiklah,” ucap Samael mengangkat tangannya keatas, menghentikan langkah kedua raja. “Apakah ini artinya kalian semua menolak tawaranku?” tanyanya dengan suara tenang.
“Tentu saja,” sahut Maximus kini ikut berjalan maju. “Tradisi ini adalah tradisi turun menurun. Memiliki bu-dak adalah kebanggaan seorang Raja. Dan sudah sepantasnya kau menjamu tamu yang datang dengan baik. Kami paham jika kau tidak mengerti hal seperti ini karena kau tidak terlahir dari kalangan bangsawan seperti kami. Tapi apa yang kau lakukan sudah keterlaluan. Sekarang, kemarikan bu-dakmu!”
Samael melepaskan ujung rantai Ilsa yag di genggamnya dan melemparkannya ke depan.
“Silahkan. Jika kalian menolak tawaranku, maka kupersilahkan untuk menikmati bu-dakku.”
Wajah Ilsa langsung mendongak ke arah Samael mendengar ucapan pria itu.
Jadi ia benar akan menyerahkan nya kepada raja-raja itu? Ilsa menjerit dalam hati. Nafasnya kembali memburu, membuat lehernya menjadi kembali tercekik. Matanya memohon, tapi sayangnya Samael bahkan tidak menatap ke arahnya. Pandangan pria itu tertuju ke depan ke arah kelima raja yang kini terlihat ragu-ragu.
Tapi hanya sekilas, sebelum kini semuanya berlomba untuk meraih rantai Ilsa.
Seorang Raja berwajah mirip dengan tikus menggapai ujung rantai terlebih dulu. Diikuti oleh Maximus dan yang lain. Kini kelimanya mulai menarik Ilsa mendekat, menyeret tubuh gadis itu diatas lantai ruangan yang licin dan dingin.
Ilsa mengcengkeram rantai yang menempel ke lehernya berusaha menarik nya mundur, yang tentu saja tidak ada gunanya melawan kekuatan lima orang pria yang sudah tidak bisa menahan gai-rah. Ilsa bisa melihat beberapa dari mereka bahkan mengusap kema-luan mereka sendiri yang sudah menegang sedari tadi dengan wajah menyeringai.
“Robek gaunnya!” seru salah satunya.
“Ya, biarkan aku melihat tubuh nya!” jerit yang lain.
Ilsa bisa merasakan tangan-tangan yang mulai menggerayangi tubuhnya, menyelinap ke bagian bawah gaunnya dan mengusap sela pa-hanya.
Beberapa menyelinap masuk ke da-danya dan memelintir pu-tingnya keras yang kemudian membuat Ilsa menjerit.
Kesakitan dan ketakutan, kini gadis itu hanya bisa memejamkan matanya dan berdoa kepada Sang Pencipta, memohon agar apa yang terjadi padanya segera berlalu.
Mendadak dari pendengarannya yang semula dipenuhi oleh suara tawa pria-pria yang ada di sekelilingnya, ia mendengar suara lain.
Suara gemerincing yang sering didengarnya ketika Samael melepaskan pedang dari ikat pinggangnya. Diikuti oleh suara kibasan pedang yang menyambar di sekitarnya, bersamaan dengan munculnya teriakan-teriakan dan jeritan dari bibir raja-raja yang mengelilinginya.
Beberapa menit Ilsa meringkuk diatas lantai.
Walau sudah tidak dirasakannya lagi tangan-tangan yang menyakitinya, tapi badan Ilsa masih terasa kaku oleh teror, terlalu takut untuk bergerak. Bahkan ketika suara erangan kesakitan terakhir lenyap dan kesunyian muncul, Ilsa masih saja memejamkan matanya. Terbaring miring diatas lantai dengan kedua tangan memeluk dirinya sendiri.
Barulah ketika di dengarnya suara Samael yang berbicara lantang di dalam ruangan, Ilsa akhirnya mulai melonggarkan dekapan tubuhnya.
“Master kalian sudah mati. Kalian bebas untuk melakukan apapun. Jika pekerjaan yang kalian cari, aku selalu memerlukan orang untuk bekerja dengan gaji yang layak. Tapi jika kalian ingin pergi, tidak akan ada yang menghalangi.”
Ilsa membuka matanya dan perlahan menarik tubuhnya duduk sambil menutupi da-da kirinya yang terbuka karena salah satu dari Raja itu berhasil merobek sebelah gaunnya.
Di sekelilingnya, tubuh bergelimangan dengan darah mengucur dari sabetan yang menyayat leher, tangan, perut, lengan, bahkan wajah kelima Raja. Mata-mata mereka yang membelalak menyatakan bahwa tidak seorangpun dari mereka yang mengira bahwa ini akan menjadi akhir kisah hidup kelimanya. Di ruangan tertutup Pesta Penamaan yang diadakan oleh Raja Valorent yang baru.
Sekarang, hanya ada satu raja yang berdiri di ruangan itu. Samael. Pria itu sedang berdiri di dekat jejeran para bu-dak yang tampak sama bingung nya dengan Ilsa.
Bunyi pintu ruangan yang mendadak terbuka mengalihkan perhatian Samael. Dua panglima Volarent, Alden dan Luca melangkah masuk dengan wajah puas.
“Tentara mereka langsung menyerah begitu mengetahui bahwa mereka sudah terkepung,” lapor Luca yang memiliki rambut ikal sama seperti kakak nya Alden.
“Apa yang hendak kau lakukan kepada para prajurit itu?” tanya Alden sang kakak.
“Masukkan mereka ke dalam sel hingga kita bisa memastikan siapa lawan dan siapa kawan,” jawab Samael.
Alden menoleh ke arah raja-raja yang bergeletakan, “Penerus mereka pasti tidak akan tinggal diam. Lima Kerajaan sekaligus. Apakah kita sanggup melawan, Samael?”
Samael tidak langsung menjawab. Sambil berjalan kembali ke tengah ruangan, pria itu melepaskan mantel yang dipakainya dan memakainya untuk menutupi pundak Ilsa yang masih bersimpuh lemas di lantai.
Kemudian ia meraih kunci dari saku celananya dan mulai melepaskan rantai yang mengikat leher Ilsa.
“Kita pikirkan satu- persatu. Yang penting hari ini kita masih hidup. Bukan begitu?”
Jawaban Samael mendapat anggukan dari kedua panglimanya. Ketiganya sudah melewati neraka dan berhasil kembali dengan nyawa utuh. Kini tidak ada lagi yang mereka takuti kecuali perasaan takut itu sendiri.
Samael berjalan keluar dan sebelum menghilang dari balik pintu ia berteriak, “Antarkan bu-dak itu ke salah satu kamar yang kosong. Ia tidak mungkin tinggal di sel yang sekarang akan penuh dengan prajurit musuh.”
=====