Samael tidak memanggilnya hingga sehari sebelum Pesta Penamaan. Ilsa tahu, jika ia masih ingin memohon untuk tidak diikut sertakan dalam acara, sekarang lah saatnya.
Berlutut tanpa sehelai pakaian di lantai kamar Samael, Ilsa mencuri pandang ke arah pria itu.
Samael sedang berdiri memunggunginya, menjadikan Ilsa dengan leluasa menatap sisi belakang pria yang sedang memandang keluar jendela kamarnya. Ilsa tidak bisa melihat wajah Samael, tapi tangan nya yang lebar mencengkeram kusen jendela sejak tadi dan tidak melepaskannya.
Ilsa bisa merasakan sesuatu mengganggu pikirannya dari bahunya yang tegang, membuat gadis itu ragu-ragu untuk menyatakan keingingannya. Namun di kuatkannya tekadnya. Setelah menarik nafas dalam-dalam beberapa kali, ia pun bersuara.
“M..master,” panggilnya pelan.
“Ya,” balas Samael singkat. Nada suaranya terdengar tidak sedingin biasanya.
“Pesta Penamaan. Bolehkah saya tidak ikut?”
Tidak ada balasan dari Samael. Pria itu bahkan tidak membalikan tubuhnya ketika akhirnya menjawab.
“Apakah menurutmu Terrance dulu memberi pilihan bagi bu-daknya?”
Kini giliran Ilsa yang tidak bisa membalas karena ia sudah tahu apa jawaban dari pertanyaan Samael. Tidak mungkin ayahnya bernegosiasi dengan bu-daknya. Bahkan yang tercantik sekalipun, mereka tidak lebih dari sebuah barang.
Samael mendadak membalikkan badannya dan menatap Ilsa untuk pertama kalinya sejak ia masuk ke dalam kamar.
Sekilas alisnya berkerut melihat pipi Ilsa yang masih memerah karena tamparan Lolerei. Pandangannya kemudian turun ke d**a kiri Ilsa, ke arah bekas stempel yang di bakarkan olehnya ke kulit gadis itu. Beberapa jejak kebiruan bekas cubitan tangan Samael di pucuk da-danya masih terlihat membekas tak jauh dari luka bakar bertuliskan huruf SM.
Samael membuang muka dan membalikkan badan kembali memunggungi Ilsa.
“Kenakan pakaianmu dan pergi dari sini!” Ia memerintah.
Ilsa terdiam sejenak, bingung karena Samael memintanya pergi tanpa melakukan apa-apa. Tapi tidak ingin Samael berubah pikiran, dengan terburu-buru, ia meraih gaun yang teronggok di dekat pintu dan memakainya. Lalu tanpa bersuara, membuka pintu kamar dan berlari kembali ke sel bawah tanah dimana ia tinggal sejak menyandang status bu-dak raja.
Sepanjang malam Ilsa tidak bisa memejamkan matanya. Benaknya sibuk memikirkan acara yang akan diadakan besok. Apa yang akan terjadi? Siapa saja yang akan hadir? Berapa banyak Raja yang harus di layaninya?
Ia teringat akan seorang Raja yang pernah datang untuk meminangnya. Berasal dari kerajaan kaya di daerah timur. Tua dan mengerikan. Ia pasti berumur tak jauh dari ayahnya. Mungkin sekitar 45 tahun. Tubuhnya kurus dan tinggi, dengan hidung besar yang membengkok dan gigi yang tidak beraturan.
Ia membawakan banyak upeti untuk meminta ijin Ayahnya agar bisa menikahi Ilsa. Untung saja, ayahnya masih beranggapan bahwa harga Ilsa bisa naik hingga 5 kali lipat jika saja ia menunggu hingga dirinya mendapatkan darah pertamanya dan memutuskan untuk menolak Raja dari timur itu.
Tahu dari mana jika rupanya ayahnya akan kehilangan nyawanya bahkan sebelum dirinya sempat mendapatkan darah pertamanya. Tahu dari mana ayahnya jika kini putri yang di harapkan akan menghasilkan upeti berlipat, berakhir dengan menjadi bu-dak orang yang membunuhnya.
Ketika matahari akhirnya mulai muncul, Ilsa melipat selimutnya dan menunggu dalam kegelapan sel hingga prajurit yang biasa menjemputnya membukakan pintu selnya. Pria yang sama dengan yang mengancam Ilsa sebelumnya.
Gerendel gembok sel bergemerincing terbuka, diikuti dengan suara langkah Owen memasuki sel Ilsa.
“Kau sudah siap? Mereka akan mempersiapkanmu untuk acara nanti malam,” ucap pria itu sambil menyengir membayangkan apa yang akan mereka lakukan pada Ilsa di acara Pesta Penamaan.
Prajurit itu menjulurkan tangannya hendak membelai pipi Ilsa yang langsung ditampik oleh gadis itu.
Tersinggung oleh penolakan Ilsa, pria itu mencengkeram lengan Ilsa dan menarik tubuhnya berdiri. Dengan sekali hentak, ia mendorong tubuh Ilsa ke belakang hingga menabrak tembok sebelum merapatkan tubuhnya sendiri menghimpit Ilsa.
Ilsa berusaha memberontak. Ia bisa merasakan kema-luan tegang prajurit itu menekan perut bagian bawahnya, membuat perutnya mendadak mual.
Pria itu menunduk dan memaksakan sebuah ciuman di bibir Ilsa yang langsung di balas oleh gadis itu dengan menggigit bibir sang prajurit.
“Aw!” jerit pria itu melompat mundur.
Gigitan Ilsa menyobek sedikit ujung bibir Owen hingga berdarah. Tidak terima dengan perlakuan seorang bu-dak, pria itu mengangkat tangannya, dan menampar wajah Ilsa.
PLAKKK!!
Kekuatan Owen jauh diatas Lolerei. Tamparan Owen jauh lebih keras dari tamparan Lolerei. Ilsa langsung terbanting jatuh ke lantai bagaikan seonggok boneka yang dilempar oleh pemiliknya.
“Dasar pela-cur sial!” Prajurit itu mengelap ujung bibirnya yang sobek dan meludah ke arah Ilsa. Tepat mengenai ujung kepala wanita itu. “Semoga mereka memper-kosamu habis-habisan nanti malam,” lanjutnya.
Dengan kasar Owen menarik kembali lengan Ilsa hingga gadis itu berdiri, mencengkeramnya erat dan menyeretnya keluar. Remasan dari jemari pria itu menusuk kulit Ilsa, menjiplak merah di kulitnya yang putih. Keduanya terus berjalan menyusuri lorong istana hingga tiba di depan pintu kamar Magda.
“Awas kalau kau macam-macam dengan melapor!” ancam Owen sebelum mengetuk pintu kamar.
Ilsa hanya terdiam sambil menunggu. Tamparan di pipinya terasa panas dan berdenyut. Sementara matanya sendiri mulai memerah karena menahan emosi dan rasa sakit.
Ketika pintu akhirnya terbuka, Owen menarik lengan Ilsa dan mendorongnya ke depan Magda sambil menunduk.
“Bu-dak Yang Mulia, Nyonya,” ucapnya.
Magda mengamati Ilsa dengan alis berkerut. Tampak jelas bekas tamparan memerah di pipi Ilsa, ia menjulurkan tangannya ke wajah gadis itu dan memeriksa.
“Mengapa ada bekas memerah di wajah bu-dak ini?” tanya wanita itu dingin.
Owen gelagapan. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa ia berusaha mengambil keuntungan dari bu-dak Raja.
“Uh… Eh… Ia mencoba untuk kabur. Jadi aku memukul nya,” balasnya beralasan.
Ilsa langsung menoleh ke wajah Owen dan menatap tajam kebohongan yang baru saja keluar dari mulut pria itu. Tapi Ilsa tidak membela diri. Tidak ada gunanya melapor jika nanti pria itu hanya akan menyiksanya lagi ketika tidak ada yang melihat, pikir Ilsa.
Hingga, Magda melanjutkan pertanyaannya.
“Dan luka di bibirmu?” imbuh Magda. “Apakah ia menggigit bibirmu karena ia ingin melarikan diri?”
“Uh…. I…itu…”
Magda mendekat ke arah Owen hingga keduanya hanya berjarak beberapa jengkal.
“Dengarkan aku, Prajurit. Gadis ini adalah milik Yang Mulia. Berani sekali lagi kau menyentuhnya melebihi yang di tugaskan padamu, akan kupastikan Yang Mulia mengetahui apa yang sudah kau lakukan pada apa yang menjadi miliknya.”
Suara Magda rendah. Tidak ada nada kemarahan di dalamnya, tapi cukup membuat Owen berpikir dua kali kelak ia berniat melecehkan Ilsa. Wanita itu sudah diperlakukan layaknya seorang ibu suri oleh semua penghuni istana termasuk Samael. Ucapannya tentu saja bukan sesuatu yang bisa diabaikan.
Buru-buru Owen menekuk lututnya dan membungkuk.
“Ba…baik, Nyonya. Maafkan saya.”
Tanpa menjawab Magda menoleh ke arah Ilsa, “Masuk!” perintahnya sebelum membanting pintu di depan wajah Owen yang masih berlutut.
Wanita itu kembali mengamati wajah Ilsa yang memerah.
“Ck! Ini akan membekas jika tidak segera di obati. Kita tidak bisa membiarkan bu-dak Raja tampil kurang dari sempurna di acara Pesta Penamaan. Apalagi jika ia hanya memiliki seorang bu-dak. Tanggalkan pakaianmu, dan masuklah ke dalam bak mandi. Aku akan meracik ramuan untukmu.”
Ilsa menurut. Dengan bantuan dua orang pelayan, ia melepaskan pakaiannya dan masuk ke dalam bak mandi yang sudah disiapkan. Kedua pelayan membersihkan Ilsa dengan teliti. Mencuci rambutnya, mengelap semua lumpur dan tanah dari kulit gadis itu, bahkan mengecek kotoran di bawah kuku Ilsa.
Magda mengoleskan sesuatu yang terasa dingin di pipi Ilsa dan membiarkan gadis itu berlama-lama berendam di dalam bak mandi.
Satu-satunya waktu dimana Ilsa bisa merasakan dirinya seolah kembali menjadi seorang putri, hingga…
Magda menyodorkan sebuah gaun untuk di kenakannya.
“Pesta akan di mulai pukul 4 sore. Ini yang akan kau kenakan.”
Wanita itu mengangkat gaun yang di pegangnya keatas agar Ilsa bisa melihat lebih jelas.
Terusan diatas lutut tanpa lengan, dengan bagian belakang terbuka lebar. Sama seperti yang biasa di pakainya ketika menemui Samael. Yang membedakan hanyalah, kali ini, gaun itu berbahan indah dan halus. Dan tidak hanya cela-na dalam, kali ini Magda juga memberikan penutup da-da untuk dipakainya.
Sedikit lebih mending dari yang biasa kupakai, desah Ilsa dalam hati walau sadar bahwa mungkin benda itu tidak akan bertahan lama di tubuhnya.
Waktu bergerak dengan cepat ketika dirimu tegang. Usai mandi, kedua pelayan merapikan rambut Ilsa, memoleskan sedikit riasan dan mengoleskan wangi-wangian ditubuh gadis itu.
Walau tertutup pakaian dalam dengan warna senada kulit, tapi gaun yang di pakai Ilsa tetap memperlihatkan lekuk tubuhnya yang ramping dan berkulit halus. Pucuk da-danya yang runcing menjiplak jelas di balik kain tipis yang dikenakannya.
Sambil menarik nafas panjang, Ilsa mengamati wajahnya sendiri di cermin yang ada di depannya.
Bekas tamparan dari Owen sudah sepenuhnya menghilang. Magda rupanya benar-benar ahli dalam ramuan herbalnya. Kulit pucat Ilsa terlihat bersinar dibalik balutan gaun tipis berwarna coklatnya.
Sementara, rambutnya yang berwarna coklat keemasan terpilin rapi ke belakang. Jika saja bukan karena cap yang membekas di da-da kirinya, tidak akan ada yang mengira gadis itu adalah seorang bu-dak.
Ilsa mendekatkan tangan ke da-danya dan meraba luka yang sudah tidak terasa sakit itu. Permukaannya yang kasar dan mengeras berbeda tekstur dengan kulitnya yang lain. Tapi apa yang dirasakannya ketika meraba bekas luka itu tidak jauh berbeda dengan ketika ia mengelus bagian kulitnya yang lain.
Ketika ia membelai bagian itu, ia bisa merasakan lembutnya sapuan tangannya. Ketika ia mengoreknya dengan kuku, ia bisa merasakan pedihnya. Sama seperti kulitnya yang lain. Seolah luka itu sudah menjadi bagian darinya. Seolah dirinya dan luka itu, adalah satu. Tidak terpisahkan.
“Kau siap?” tanya Magda membuyarkan lamunan Ilsa.
Gadis itu mengangguk pelan. Apapun yang akan terjadi. Ia akan menghadapinya.