"Luis ... ahhhhh!"
Bianca mengerang hebat sembari meremat kuat rambut sang dokter kala belah ranum Luis memainkan dengan liar bagian ujung gunung kembar sintal yang menjadi titik kelemahan wanita yang masih berstatus istri pria lain, sementara jemari Luis dengan lihai mengobrak-abrik mahkota bawah Bianca yang sudah banjir.
"Katakan jika kau masih tak menginginkannya, Bi. Maka akan kuhentikan segera," seru Luis menjeda kegiatannya sejenak disertai senyuman miring menggoda serupa casanova.
"Jangan berhenti."
"Kalau begitu, memohonlah dan sebut namaku, Bi," goda Luis yang langsung diiyakan Bianca.
"Please, Doctor Luis!"
Beberapa minggu sebelumnya.
Bianca Miller berdiri di tengah taman belakang kediamannya yang cukup mewah, memandang sekeliling dengan senyum lebar. Udara pagi yang sejuk menyapa kulitnya, sementara sinar matahari yang hangat menerpa halaman yang telah dihias sedemikian rupa untuk merayakan ulang tahun pertama putri kecilnya, Ariana Miller. Tema pesta kali ini adalah "Kebun Impian" dan Bianca telah bekerja keras selama berminggu-minggu untuk memastikan semuanya sempurna.
Balon warna-warni, bunga-bunga segar, dan dekorasi ala taman membuat suasana terasa magis. Ariana, dengan gaun kecil berwarna pastel, berjalan-jalan riang di antara tamu-tamu yang hadir, sambil sesekali tertawa ceria.
Bianca merasa hatinya penuh dengan kebahagiaan. Ia tak henti-hentinya bersyukur atas segala berkah yang ia terima. Dua tahun yang lalu, Bianca menikahi pria yang sangat ia cintai, Jonathan Miller. Pernikahan mereka berjalan harmonis, dan kehadiran Ariana semakin melengkapi kebahagiaan mereka. Jonathan adalah sosok yang penuh perhatian, ayah yang penyayang, dan seorang profesional sukses di bidangnya. Bianca merasa hidupnya sempurna.
Tak hanya itu, hubungan Bianca dengan mertuanya juga sangat baik. Kedua orang tua Jonathan selalu mendukung mereka, baik secara moral maupun finansial. Mereka sering mengunjungi Bianca dan Ariana, membawa hadiah kecil atau sekadar menghabiskan waktu bersama cucu kesayangan mereka. Bianca merasa sangat menjadi si paling beruntung memiliki keluarga yang begitu harmonis.
Pesta ulang tahun Ariana dihadiri oleh banyak orang. Selain kerabat dekat, tetangga, dan teman-teman Bianca, rekan-rekan kantor suaminya juga datang meramaikan acara. Suasana begitu meriah, dipenuhi tawa dan canda. Bianca merasa bangga melihat putrinya yang lucu dan menggemaskan menjadi pusat perhatian. Ia tak henti-hentinya mengucap syukur dalam hati, merasa bahwa hidupnya begitu sempurna.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada sesuatu yang mengganjal pikiran wanita cantik nan modis berusia dua puluh tujuh tahun itu. Beberapa saat yang lalu, Bianca tak sengaja memergoki Jonathan menerima panggilan telepon dari seseorang yang ia sebut sebagai "klien penting."
Bianca melihat wajah suaminya berubah saat menjawab panggilan itu. Ada gusar yang terpancar dari raut wajahnya, sesuatu yang jarang ia lihat pada Jonathan. Bianca mencoba mengabaikan perasaan tidak enak itu, berharap itu hanya kekhawatiran yang berlebihan.
Setelah beberapa menit berbicara di telepon, Jonathan mendekati Bianca dan meminta izin untuk pergi sebentar.
"Maaf, sayang, klienku menelpon dan ini sangat penting. Aku harus menemui mereka untuk membahas kerjasama yang mendesak," ujarnya dengan suara pelan terkesan tak enak hati.
Bianca menghela napas, mencoba memahami situasi. Ia tahu pekerjaan Jonathan seringkali menuntut waktu dan perhatian ekstra, tapi di hari spesial seperti ini ia berharap suaminya bisa hadir sepenuhnya.
"Baiklah, tapi cepat kembali, ya? Ariana pasti ingin ayahnya ada disini," kata Bianca mencoba tersenyum meski hatinya sedikit kecewa.
Jonathan pun mengangguk, mencium kening Bianca lalu dengan cepat sebelum bergegas pergi. Sementara itu, Bianca memandanginya dari jauh, berharap suaminya segera kembali.
Namun, harapan itu pupus seiring berjalannya waktu. Pesta berlangsung meriah dan hampir selesai, tapi Jonathan tak kunjung kembali. Bianca mencoba menghubunginya lewat telepon, tapi ponsel suaminya dalam keadaan mati. Perasaan cemas mulai menyelimuti hati. Bianca mencoba menenangkan diri, berpikir mungkin Jonathan sedang sibuk dengan urusan pekerjaan. Tapi, kenapa ponselnya mati?
Kedua mertua Bianca mencoba menenangkannya. "Tenang, Bi. Jonathan pasti sedang sibuk. Dia akan segera kembali," tutur Melinda Miller sang ibu mertua mencoba meyakinkan. Bianca lantas mengangguk meski hatinya masih diliputi kecemasan. Wanita itu kembali mencoba menghubungi suaminya, tapi tetap tak ada jawaban.
Ketika pesta usai, ponsel Bianca tiba-tiba berdering. Ia pun segera menjawab, berharap itu adalah Jonathan. Tapi, suara di seberang telepon bukanlah suami yang ia kenal.
"Nyonya Bianca Miller?" tanya suara itu dengan nada serius.
Bianca pun mengiyakan, hatinya berdebar-debar.
"Kami dari kepolisian. Suami Anda, Jonathan Miller, mengalami kecelakaan. Kami telah membawanya ke rumah sakit terdekat."
Bianca merasa dunianya seakan berhenti berputar. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Pria yang ia cintai mengalami kecelakaan.
Tak lama, Bianca segera menitipkan Ariana pada susternya, sementara ia bersama kedua mertua bergegas menuju rumah sakit yang telah disebutkan oleh petugas kepolisian.
Perjalanan ke rumah sakit terasa begitu panjang. Bianca terus berdoa dalam hati, berharap suaminya baik-baik saja. Ia tak bisa membayangkan hidup tanpa Jonathan. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan terburuk, meski begitu ia mencoba tetap tenang untuk menghadapi kenyataan yang mungkin akan terkuak sebentar lagi.
Sesampainya di rumah sakit, Bianca langsung menuju ruang gawat darurat. Ia terkejut melihat suaminya terbaring di tempat brankar, terhubung dengan berbagai alat medis. Wajah Jonathan pucat dan tubuhnya terbaring lemah. Bianca ingin segera memeluknya, tapi tiba-tiba matanya tertuju pada sosok wanita yang duduk di samping tempat tidur suaminya.
Wanita itu terlihat cantik, dengan rambut panjang terurai dan wajah yang dipenuhi kesedihan. Tak lama, sosok tersebut memegang tangan Jonathan erat-erat dan air mata mengalir di pipinya. Bianca sejenak membeku, merasakan d*da yang sesak. Siapa wanita ini? Mengapa ia terlihat begitu dekat dengan suaminya?
"Kau siapa? Mengapa ... mengapa kau memeluk suamiku?" tanya Bianca dengan suara gemetar, tak mampu menyembunyikan kebingungan sekaligus kecemasan.
Wanita itu lantas menoleh, menatap Bianca dengan kebingungan, seolah tak tahu harus menjawab apa.
Tiba-tiba, mata Bianca tertuju pada cincin di jari manis wanita itu. Cincin itu terlihat sangat familiar.
"Mengapa cincinmu sama dengan yang aku dan suamiku kenakan?" sentak Bianca, suaranya mulai meninggi. Hatinya berdebar kencang, perasaan aneh mulai menyelimuti benak. Ia merasa ada sesuatu yang sangat salah.
"Jawab!" teriak Bianca, tak mampu menahan emosinya lagi.
Wanita itu menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab dengan suara tegas, "Aku istri suamimu juga. Kau puas?"
Bianca merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Jonathan, suami yang ia anggap setia ternyata memiliki istri lain?
Jika benar, Bianca merasa hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin suaminya bisa melakukan ini padanya?
"Pergi! Jangan berani kau mengaku-ngaku. Jonathan suamiku!" usir Bianca.
Wanita itu lantas menghela napas panjang, "Aku tak bisa meninggalkannya. Kami akan memiliki anak bersama."
Tubuh Bianca lemas, tak mampu menahan beban yang begitu berat. Ia merasa dikhianati, dipermainkan, dan dihancurkan oleh pria yang ia percayai sepenuhnya. Air matanya mulai mengalir deras, sementara hatinya dipenuhi dengan kekecewaan yang tak terkira.
Di saat yang sama, Jonathan masih terbaring tak sadarkan diri, tak menyadari bahwa rahasia besar yang ia sembunyikan selama ini telah terbongkar. Bianca merasa hidupnya yang semula sempurna, kini hancur berantakan. Ia tak tahu harus berbuat apa selain merasakan sakit yang begitu dalam.
Kebahagiaan yang ia rasakan pagi tadi, kini telah berubah menjadi kepedihan yang tak terperih. Bianca hanya bisa memandang suaminya yang terbaring lemah, sambil bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana mungkin cinta yang ia percayai selama ini, ternyata hanya ilusi belaka?
Tak lama emosinya memuncak, dengan sorot tajam, Bianca melakukan hal di luar dugaan yakni melayangkan tangan menampar sosok wanita yang mengaku istri lain suaminya.
Namun, tangan seseorang sukses menahan tangan Bianca sebelum menyentuh pipi wanita di hadapannya.
"Kau pikir ini ring tinju, huh? Ini rumah sakit, Nyonya," tegur sosok pria tinggi kekar mengenakan seragam khas jas dokter.
Kedua mata biru lautnya bertemu dengan milik Bianca. Saling tatap intens pun tak dapat terhindarkan antara Bianca dan sang dokter, seolah chemistry dendam sangat kuat
"Paman."
Sementara itu, sosok yang mengaku istri lain suami Bianca reflek bersembunyi di belakang tubuh sang dokter dan memanggilnya dengan sebutan Paman.
"Ch! Pantas saja kau membelanya. Ternyata kau adalah paman dari palakor ini!"
Sorot mata Bianca memancarkan penuh dendam dengan posisi tangan yang masih dipegangi erat oleh sang dokter.
TBc ...
***
Para Pemeran :
Bianca Miller, 27 Tahun
Jonathan Miller, 30 Tahun.
Dokter Luis Ashford, 35 Tahun
Emma Clayton, 25 Tahun, keponakan Luis