CEO Itu... Pria yang Meniduriku

1086 Kata
"Jangan main-main, gadis cilik!" Suara itu meledak seperti tembakan peluru tajam yang membangunkan kesadaran Adrian akan betapa gilanya situasi ini. Ia buru-buru bangkit dari posisi tidurnya, wajahnya tegang, matanya berapi-api, sementara tubuhnya bereaksi tak terkendali oleh kehadiran Vanila yang kini berada di atasnya. Gadis itu dengan rambut acak-acakan, napas terengah dan tubuh yang hanya terbalut kain tipis tampak seperti mimpi buruk sekaligus fantasi terlarang. Dan Adrian tahu, sialnya, ia pria normal. Bayangan Vanila yang berada tepat di atas tubuhnya dengan posisi menantang adalah bencana. Tatapan sayu gadis itu seperti percikan api yang memicu bara dalam dadanya. Bahkan saat mencoba menghindar, Adrian tahu tubuhnya mulai bereaksi. Tubuhnya tidak bisa bohong. Sementara Vanila, tak kalah kalutnya. Otaknya berkabut, jiwanya separuh tertinggal di ruang kelam masa lalu yang baru saja ia coba lupakan. Tapi ada yang lain, sesuatu yang panas membakar di dalam dadanya. Ketika melihat Adrian terbaring, d**a bidangnya yang terbuka, dan wajah dinginnya yang luar biasa menggoda, logika Vanila seolah lenyap seketika. Ia tahu dirinya tak seharusnya bertindak begitu. Tapi panas di tubuhnya menuntut jalan keluar. Dan dalam satu keberanian yang tak bisa dijelaskan, ia menunduk, mengecup bibir Adrian. Perlahan. Ragu. Tapi pasti. Adrian membelalakkan mata. Ia bahkan nyaris tak percaya saat merasa lembutnya bibir gadis itu menyentuh bibirnya. Ini tidak nyata. Ini tidak boleh terjadi. "Hen—" Ia hendak bersuara, namun Vanila menekannya dengan ciuman kedua. Lebih dalam. Lebih berani. Tubuh kecilnya menggeliat, dan tangan Vanila menyentuh lehernya, menahan agar ia tak bisa lari. Seketika darah Adrian mendidih. Ia merasa seperti dijebak oleh permainan berbahaya. Ini bukan sekadar ciuman. Ini pengkhianatan terhadap akal sehatnya sendiri. Ia merasa dirusak. Dicuri. Ditantang. Dalam satu gerakan cepat, Adrian membalikkan tubuh Vanila hingga kini ia berada di atas gadis itu. Tubuh kekarnya menjebak Vanila yang terengah, matanya membelalak, bibirnya merah basah, penuh bekas ciuman. "Kamu benar-benar sengaja rupanya," desis Adrian rendah, nyaris seperti geraman. "Saya tidak peduli kamu sadar atau mabuk, gila atau waras, tapi sejak tadi kamu yang merayu dan menggoda. Kamu yang mengusik kesabaran saya!" Vanila menelan ludah. Napasnya tak teratur. Tapi ia tidak menjawab. Entah karena takut, atau karena sesuatu di dalam dirinya menginginkan ini terus berlanjut. Adrian tahu, ia sedang berada di ambang batas. Satu gerakan saja, ia bisa melakukan hal yang tidak bisa diperbaiki. Dan pada saat itu ia menyerah. *** Beep... Suara dering nyaring mengusik ketenangan pagi yang semu. Vanila menggeliat, mengerang pelan. Kepalanya pusing, tubuhnya terasa berat, dan ada rasa ganjil yang menjalari sekujur kulitnya. Tangannya meraba-raba sisi tempat tidur, menemukan meja, lalu menjangkau ponsel yang berdering tak sabar. Ia menekan asal salah satu tombol. "Halo?" ucapnya malas. Tapi seketika itu juga, ia terduduk. "Apa?!" Nada bicara Vanila berubah tegang dan gugup. "Iya, iya. Baik, saya akan segera datang. Terima kasih banyak, Bu." Setelah menutup telepon, Vanila tak mampu menahan senyum. Ia diterima. Akhirnya, ada kabar baik dalam hidupnya. Ia diterima magang di perusahaan yang baru ia lamar minggu lalu. "Yes! Akhirnya, demi apa seneng banget!" serunya. Namun euforia itu hanya bertahan beberapa detik. Kesadarannya menampar wajahnya begitu ia melihat sekeliling. Ini bukan kamar kost-nya. "Ini di mana?" Matanya membulat. Dan lebih parah lagi... "Astagaaaa! Kenapa aku... telanjang?!" Jeritan itu menggema di dalam kamar hotel mewah itu. Vanila buru-buru menutup mulutnya. Tapi ketakutannya sudah kadung meledak. Ia menarik selimut, gemetaran. Apa yang terjadi semalam? Tubuhnya terasa lemas, tapi ia tahu, ada sesuatu yang terjadi. Ia mencoba mengingat dan perlahan, keping-keping ingatan mulai kembali seperti potongan film rusak. Adegan-adegan semalam berkelebat. Sentuhan, ciuman, napas yang memburu dengan hasrat menguasai keduanya. Namanya Adrian, ya, seingatnya Adrian. Wajah pria itu melintas jelas di kepalanya. Pria asing yang semalam, tidak, tidak lagi asing sekarang. Tapi kenapa dia tidak ada di sini? Kenapa ia bangun sendirian? "Aku benar-benar sudah gila," gumam Vanila, suaranya bergetar. "Gila karena Gio. Gila karena Sena. Dan sekarang karena pria itu!" Ia mengacak rambutnya frustasi. Dadanya sesak. "Bagaimana ini, aku bahkan nggak yakin siapa dia. Adrian? Atau bukan?" Tubuhnya menggigil. Tapi tak ada waktu untuk menangis lagi. Ia hanya punya waktu dua jam untuk kembali ke kost, mandi, berpakaian, dan bersiap ke tempat kerja barunya. Satu hal pasti: ia harus melupakan malam kemarin. Dan pria itu. *** "Selamat siang, saya Vanila ingin menemui HRD," ucapnya dengan sopan. Senyum ramah menyambutnya dari balik meja. "Silakan tunggu sebentar ya." Tak lama, ia dipersilakan masuk, dan langsung ditempatkan di divisi tempat ia akan bekerja. Vanila mengangguk sopan pada Kevin, kepala HRD yang memberikan arahan. "Silakan, ini meja kamu. Kalau ada yang nggak paham, langsung tanya aja." "Terima kasih, Pak Kevin." "Sama-sama. Saya senang kamu bergabung di sini," ucap Kevin, senyumnya lebar. Terlalu lebar, bahkan. Vanila merasa aneh. Tatapan Kevin seolah menelanjanginya dari ujung kepala hingga kaki. Tapi ia tak mau ambil pusing. Ini pekerjaan. Ia harus profesional. "Ya, saya juga, Pak." "Senang sama saya juga, gitu maksudnya?" Vanila tersentak. "Bukan! Maksud saya senang bisa kerja di sini." Kevin tertawa, tapi nadanya menggoda. "Santai aja, Van. Di sini semua dekat, kok." Vanila memaksa senyum. Tapi saat ia melangkah menuju meja kerjanya, ia bisa merasakan tatapan sinis yang tajam mengarah padanya. Terutama dari beberapa karyawan wanita. "Apa salah gue?" gumam Vanila. Tapi ia tak peduli. Ia harus kerja. "Hei, nama lo siapa?" sapa salah satu perempuan. "Vanila," jawabnya ramah. Namun perempuan itu menyeringai sinis. "Lo baru di sini, jangan sok akrab ya!" Vanila tersentak. "Lo yang tanya, gue jawab. Apa salahnya?" "Berani juga lo!" bentak perempuan itu. "Jemma, cukup! Bos datang! Balik ke tempat lo sekarang!" teriak seseorang. "Aku harus bikin pelajaran buat dia, Vik!" sahut si Jemma sengit. "Lo bukan guru, bukan dosen! Balik sana sebelum gue yang lapor!" Jemma mendengus dan melengos pergi. Tapi Vanila tahu, drama belum selesai. Perempuan yang membelanya tadi menoleh. "Gue Vika. Yuk, ikut gue." "Salam kenal, Vik. Terima kasih." "Yuk, gue ajarin lo kerjaan lo." Vanila mengangguk, lalu mengikuti Vika berjalan melewati lorong menuju ruang arsip. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sosok pria di ujung koridor. Deg. Wajah itu. Postur itu. Sorot mata tajam itu. Ia kenal wajah itu. "Kenapa nggak asing ya?" bisiknya. Vika menoleh. "Lo kenal Pak Adrian?" Jantung Vanila berhenti sejenak. "Adrian?" ulangnya. "Ya, itu bos kita. CEO perusahaan ini." Langit seolah runtuh. Napas Vanila tercekat. Tenggorokannya kering. Adrian. CEO? Orang yang sama? Bayangan tubuh pria itu di ranjang, suara desahannya, ciumannya, cara dia menyebut namanya. Semua datang serentak. Tak terbendung. Tidak. Ini tidak mungkin. Tapi dia tahu, matanya tidak berbohong. Itu dia. Pria semalam, pria yang kini adalah atasannya. "Aku harus keluar dari sini," bisik Vanila panik. Tapi ia tahu, semuanya sudah terlambat. "Nggak, ini udah telat!!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN