Jangan Bilang.... Dia Tahu Siapa Aku

912 Kata
Pria itu berdiri di tengah ruangan dengan aura dingin yang langsung membekukan siapa pun yang melihatnya. Sorot matanya tajam, sikapnya ketus, dan tak ada satu pun ekspresi hangat yang muncul dari wajahnya. Adrian, CEO perusahaan ini dan, lebih buruknya, pria yang semalam tidur bersamanya, tampak jauh dari sosok yang bisa didekati. Vanila hanya bisa bersembunyi di balik rak tinggi dan meja-meja kerja ketika suara langkah Adrian mulai terdengar. Detak jantungnya semakin kencang, dan setiap kali pria itu berbicara, suara beratnya menusuk masuk ke tulang-tulangnya. Sialnya, tubuhnya masih mengingat desahan malam itu. Dan kini, ia berjuang keras untuk tidak pingsan karena malu. Sementara itu, di sisi lain, Jemma malah heran melihat sikap Vanila. Anak baru itu, pikir Jemma, terlalu cari perhatian. Tapi tunggu. Kenapa Vanila malah terlihat seperti menghindari si bos ganteng? Biasanya, karyawan perempuan berlomba-lomba menunjukkan sisi terbaik mereka di hadapan Adrian. Tapi Vanila justru seolah ingin menghilang dari pandangan pria itu. Sebenarnya itu justru lebih baik bagi Jemma. Ia benci perempuan yang terang-terangan menggoda Adrian. Dan jika Vanila menjauh, setidaknya satu saingan bisa dicoret dari daftar. "Heh, lo ngapain malah sembunyi di sini? Nggak ikut rapat?" tegur Vika yang muncul tiba-tiba dari arah samping. Vanila terkejut, buru-buru menunduk. "Em, emang saya harus ikut juga?" Hatinya berdoa keras agar jawabannya adalah: tidak. Tapi harapannya pupus. "Iya dong. Anak baru harus ikut biar ngerti sistem kerja di sini," jawab Vika. Jemma yang sudah dari tadi mencibir ikut menyela, "Gue aja yang ikut, ni anak baru di sini aja!" Mendengar itu, Vanila malah tersenyum lebar dan langsung menggenggam tangan Jemma, "Benar! Lebih baik saya tidak ikut dan Jemma saja!" Jemma refleks menarik tangannya cepat. "Apa sih lo, pegang-pegang segala!" Vanila mengerutkan kening. "Saya cuma bercanda kok," ujarnya dengan nada cemberut. "Saya di sini aja ya, Vika. Mempelajari buku pedoman kerja kayak yang Pak Kevin bilang," tambahnya lagi, berharap bisa lolos dari tatapan Adrian. Vika menatap Vanila curiga. Ada yang janggal. Tapi ia tidak ingin memaksakan. “Ya udah, tapi nanti-nanti kamu harus ikut juga ya. Jangan ngilang mulu.” "Siap, Vika. Makasih." Vanila mengangguk cepat, mencoba bersikap ceria padahal dalam hati berantakan. Begitu Jemma dan Vika pergi ikut rapat, Vanila kembali terduduk di kursinya sambil memeluk lengan sendiri. Tubuhnya dingin, tapi pikirannya justru terbakar. Ini gawat. Gawat banget. Kalau Adrian tahu aku kerja di sini, habis aku. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Bagaimana kalau dia bilang ke semua orang soal malam itu? Bagaimana kalau dia merasa aku mengganggunya? "Aku yang salah. Aku yang nyosor duluan. Dia udah bilang jangan, tapi aku tetap nekat," gumam Vanila lirih. Ia menggigit kuku, gelisah. “Kenapa aku sebodoh itu semalam?” Ia menutup matanya, berusaha menjauh dari kenangan itu. Tapi seperti biasa, justru memori malam itu muncul makin jelas: ciuman hangat, tangan yang menjelajah, napas di lehernya, dan... "Vanila?" Suara itu membuyarkan lamunannya. "Ahh! Tolong jangan marah, Pak!!" teriak Vanila spontan. Ia bersimpuh di lantai secara refleks. "...Van, kamu kenapa?" Dengan jantung berdebar, Vanila mendongak pelan. Dan di depannya bukan Adrian. Itu Kevin. Vanila membelalak. “A-Astaga. Maaf, Pak Kevin! Tadi saya cuma melamun, nggak sengaja." Ia buru-buru berdiri. Wajahnya merah padam. Kevin terbatuk kecil sambil memalingkan muka, tampak sedikit kikuk. Tapi senyumnya cepat kembali. "Kamu imut banget sih. Jangan suka melamun, nanti kesambet." Vanila menelan ludah. Perasaan tidak nyaman mulai merayap. Ia tidak butuh rayuan seperti itu sekarang, apalagi dari kepala HRD yang seharusnya bersikap profesional. "Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Vanila ingin mengakhiri percakapan. "Kamu belum makan siang ya?" suara Kevin melembut, terlalu lembut. Vanila melirik jam tangan dan menyadari waktu istirahat sudah lewat. "Oh, saya nggak sadar, Pak." "Kelamaan ngelamun, ya?" goda Kevin lagi. Vanila memaksa senyum. Kenapa sih semua laki-laki di kantor ini nggak bisa biasa aja? pikirnya. "Maaf, Pak. Saya mau makan siang dulu, ya." Ia melangkah mundur. Tapi Kevin malah mengikutinya. "Van, tunggu dulu." Vanila menoleh ragu. "Iya, Pak?" "Makan bareng aja, yuk? Saya traktir." "A-anu... saya." "Udah, nggak usah malu. Bareng saya aja. Kan seru kalau makan berdua." Vanila makin tidak nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam. "Maaf, Pak. Saya lebih nyaman makan sendiri." Wajah Kevin sempat menegang, tapi lalu ia tertawa kecil. "Kamu ini lucu ya. Tapi ya udah, hati-hati ya." Vanila buru-buru berlalu, setengah berlari menuju pantry. Tapi belum sampai, suara karyawan lain mulai terdengar. "Sok cantik banget sih!" Vanila menggertakkan gigi, menahan diri untuk tidak membalas. "Aku nggak boleh kehilangan kerja lagi. Nggak boleh. Masih banyak tagihan dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Jangan bodoh lagi, Van!" "Woy, anak baru!" Vanila menoleh cepat. "Vika?" "Makan yuk! Gue capek denger mulut si Jemma terus." Vanila langsung tersenyum lega. "Mau! Yuk!" Baru saja langkah mereka akan beriringan, suara lain menyela. "Vik, makan bareng yuk?" Vika melirik, lalu menjawab santai. "Gue udah bareng dia." Vanila bisa merasakan tatapan sinis dari perempuan itu, tapi ia tak peduli. "Kenapa kamu nggak bareng mereka aja?" tanya Vanila setelah mereka berjalan menjauh. Vika meliriknya. "Kenapa? Kena mental, ya, lo?" Vanila hanya tertawa hambar. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Yang jelas, satu hari di tempat kerja barunya ini sudah cukup menguras mental. Namun tepat saat mereka berbelok ke arah kantin, langkah Vanila terhenti. Dadanya seperti ditusuk. Napasnya tercekat. Di kejauhan, berdiri Adrian, sedang berbicara dengan beberapa manajer lain. Sesekali matanya menyapu ruangan. Dan di saat itulah, pandangannya bertemu dengan Vanila. Untuk sesaat, dunia terasa membeku. Adrian menatap lurus padanya. Tatapannya tak bisa ditebak. Vanila tercekat. Tubuhnya kaku. Tidak, jangan bilang dia mengenali aku. Namun saat Adrian melangkah, arah langkahnya mengarah lurus ke Vanila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN