Pesan Dari Sang CEO

1008 Kata
"Bang, berenti di depan." Gadis itu turun dari angkutan umum setelah memberikan beberapa lembar uang receh pada sopir angkot. Dari tempatnya turun, ia masih harus berjalan kaki menuju tempat kost. Ia harus berhemat dengan menggunakan angkutan umum karena kalau naik taksi, biayanya pasti lebih besar jika pulang dari kantor ke tempat kost-nya. Vanila belum pernah merasa selelah ini. Padahal jam kerjanya termasuk pendek dibandingkan tempat sebelumnya. Namun Vanila lelah bukan karena beban pekerjaan, melainkan karena satu sosok di tempat kerja barunya—bosnya, Adrian. Ia ketar-ketir takut ketahuan, dan kalau sampai pria bernama Adrian itu menyadari siapa dia sebenarnya, semuanya bisa runyam. Pria itu bisa saja menuntutnya, atau bahkan langsung memecatnya. "Van, kamu baru pulang?" Vanila melotot mendapati sesosok berdiri di depan pintu apartemennya. "Mau apa kamu ke sini?!" "Van, denger dulu penjelasanku." "Gue nggak kenal sama lo! Pergi, nggak! Sebelum gue teriak!!" geram Vanila. "Vanila, aku udah putusin Sena!" Mata Vanila membesar mendengar omong kosong pria di depannya. "Giorgino, lo udah nggak waras, ya! Mau lo putus atau nggak, udah nggak ada hubungannya sama gue!!" tegasnya dengan tatapan jijik. "Tapi, Van, aku masih cinta kamu!" Giorgino memegangi Vanila yang hendak masuk ke dalam apartemennya. Vanila sejak tadi menahan diri agar tidak meledak, apalagi ini adalah kawasan apartemen yang diawasi. Kalau sampai membuat keributan, hanya akan menimbulkan masalah. "Gue tegasin sekali lagi sama lo, ya. Gue nggak sudi untuk kenal lo lagi dalam hidup gue. Jadi, stop lo omong kosong ke gue dalam bentuk apa pun. Pergi dari sini dan jangan pernah lo nongol lagi di depan muka gue!" "Vanila!!" Giorgino geram karena Vanila terus mengacuhkannya. "Kamu juga sama, malam itu aku lihat kamu pergi sama cowok, dia siapa, Van!!" Vanila yang sudah masuk ke dalam apartemen tak menyangka jika Giorgino akan mengatakan hal itu. Mana mungkin mantannya itu melihat saat dia masuk ke mobil pria asing? Vanila jadi cemas, tapi dia memilih untuk tetap di dalam apartemen dibandingkan keluar. "Kamu jalan sama dia, apa bedanya dengan aku? Kamu pergi ke hotel sama dia, kamu pikir aku nggak tau? Aku buntuti kamu, Van!" Vanila merinding, ia gemetar karena panik. Kalau sampai Giorgino membongkar semuanya, dia bisa habis. Gadis itu bukan takut ketahuan, tapi ia malas berurusan panjang tentang hal itu. "Kenapa, Van? Kamu nggak sadar kalau aku ikutin kamu kan?" Giorgino makin memojokkan Vanila. "Kamu pikir bisa lari dari aku, Vanila. Nomor telepon keluarga kamu, semuanya aman di aku, Van. Aku bisa laporin semuanya ke mereka, gimana menurut kamu?" Vanila langsung membuka pintu lalu menatap tajam Giorgino. Ia kesal bukan main dengan tingkah laki-laki tak tahu diri itu. Padahal perbuatannya selingkuh dengan Sena saja belum Vanila maafkan. Bisa-bisanya sekarang malah mengancamnya. "Kenapa lo nggak puas udah nyakitin gue? Mau apa pun yang gue lakuin bukan urusan lo!" "Van, ayo kita nikah." "Apa?" "Aku cuma main-main sama Sena, aku sayang sama kamu, cuma kamu Vanila." "Lo nggak usah gila deh, b******k! Jelas-jelas lo bilang lo lebih berat lepasin si Sena!" Mata Vanila merah, ia benar-benar marah. "Kenapa sekarang lo kayak gini ke gue? Kenapa lo nggak bisa puas cuma sama sahabat gue? Lo mau hancurin gue berapa kali lagi, Gio!!" "Van, aku tau aku salah." Giorgino berusaha menggenggam tangan Vanila, tapi Vanila buru-buru menampiknya kasar. "Gue jijik sama lo. Apa pun yang mau lo lakuin, gue nggak peduli. Lo mau aduin apa pun ke orang tua gue, nggak ngaruh." "Papa mama kamu bisa sedih, Van." "Lo nggak tau apa-apa, Gio. Asal lo tau, bokap nyokap gue udah meninggal seminggu lalu." "Apa?" "Lo nggak tau karena lo sibuk sama Sena. Lo bayangin sesakit apa jadi gue. Gue berhenti kerja karena gue selalu disinis sama anak-anak satu divisi. Gue kehilangan bokap nyokap, walau mereka nggak pernah ngurusin gue tapi tetap aja gue ngerasa hampa. Terus gue inisiatif mau ngerayain ultah lo, sambil berharap abis itu bisa cerita bebas ke lo untuk sekadar ngeluapin rasa sedih gue ke orang yang gue sayang. Tapi apa yang gue dapet?" Air mata Vanila mengalir deras. Ia sudah menahannya, ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi kuat sendirian. "Lo malah selingkuh sama sahabat gue!" Vanila menangis sesenggukan. Pandangannya samar melihat Giorgino tercengang dengan posisi tubuh yang mulai gontai. "Maafin aku, Vanila. Aku sama sekali—" "Cukup. Gue nggak butuh maaf lo itu sama sekali. Jadi lakuin apa pun yang mau lo lakuin, gue nggak peduli sama sekali." Vanila masuk kembali ke kamarnya dengan perasaan hancur. Hidupnya berantakan, apalagi dia sekarang benar-benar sendirian. Satu-satunya harapan hanya bertahan di tempat kerjanya sekarang bagaimanapun kondisinya. Vanila mungkin akan mengalami banyak hal yang menyusahkan, apalagi dia bermasalah dengan bos tempatnya bekerja sekarang. Tapi dia tak punya pilihan lain. Dia tidak bisa menyerah seperti sebelumnya hanya karena pandangan sinis terhadapnya. Gadis yang lemah sejak awal, meski orang-orang mendekatinya karena katanya dia cantik dan menarik. Tapi tak ada yang tahu semenderita apa menjadi gadis cantik seperti Vanila. Ketika yang cantik diperlakukan spesial, namun tidak dengan Vanila yang malah menerima sebaliknya. Ia banyak dimusuhi, diabaikan, dikucilkan dan tidak didengar. "Jahat lo, Gio!! GUE BENCI SAMA LO!!" pekik Vanila. Semoga pria itu sudah pergi, karena Vanila bersumpah tidak akan pernah percaya pada yang namanya laki-laki lagi. Saat sedang menangis sendirian, ponsel Vanila berdering. "Nomor siapa sih, kenapa hubungi gue di saat gue begini," geramnya. Vanila menolak panggilan itu lalu kembali menangis sambil memeluk bantal guling di atas tempat tidurnya. Namun ponselnya terus berdering. Nomor tidak dikenal itu masih berusaha meneleponnya. Vanila kesal, dia pun menerima panggilan itu dengan perasaan jengkel. "Lo siapa sih! Ngapain nelepon gue! b******k!!" Vanila mematikan panggilan itu lalu melempar ponselnya. Tapi ponselnya masih terus berbunyi. "Ya Tuhan, kenapa lagi sih." Vanila kesal, dia mengambil ponselnya lalu hendak mematikan ponselnya sekalian. Tapi pesan baru masuk membuat matanya membulat. 0818765xxxx : Saya Adrian, bisa kita bertemu. "Adrian?" Vanila mengeja namanya berkali-kali dan mulai panik. "Pak Adrian bos gue? Nggak!! Dia cowok yang gue ajak tidur malam itu! Gila!!" Vanila panik luar biasa. Kenapa pria itu malah mengajaknya bertemu segala. "Dia mau ngapain? Jangan-jangan dia mau minta ganti rugi? Atau??" Vanila melotot. "Jangan-jangan dia udah tau gue kerja di perusahan punya dia???"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN