Malam Itu, Harga Diri Yang Tergadai

862 Kata
Judul Bab: Malam Itu, Harga Diri yang Tergadai Hubungan yang dijalaninya bersama pria b******k itu nyaris menyentuh angka lima tahun. Keduanya berpacaran sejak sekolah menengah pertama. Saat itu juga Vanila bersahabat dengan Sena, perempuan yang malah menjadi selingkuhan mantan pacarnya. Perasaan Vanila sudah hambar pada Giorgino. Ia merasa sakit hati dan marah, jijik, serta tak ingin lagi melihat wajahnya kalau bisa. Tapi anehnya, meski luka itu membatu, bayangannya tak kunjung menghilang. Bahkan saat dia duduk di kafe ini, tempat di mana dulu mereka biasa menghabiskan waktu, aroma kopi yang dulu terasa manis kini menyesakkan d**a. "Menyedihkan," gumam Vanila pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Ia mengambil satu cup besar frappuccino dengan krim keju di atasnya, menyesap dari sedotan organik dengan tatapan kosong ke keramaian sekitar. Orang-orang berlalu lalang, sibuk dengan dunia masing-masing, tak peduli bahwa hatinya sedang bergulat dengan getir. Tiba-tiba, suara nyaring menusuk dari kejauhan. "Heh, perempuan kegatelan! Untuk apa kamu memperhatikan pacarku?!" Vanila menoleh, menunjuk dirinya sendiri dengan alis berkerut. "Saya?" "Iya, kamu! Dasar kecentilan! Nggak usah sok kecakepan deh!" Dunia seperti berhenti sejenak. Pandangan seisi kafe mulai tertuju pada mereka. Rasa tercekik menyergap d**a Vanila, bukan karena takut, tapi karena muak. Bukan kali ini saja dia dituduh seperti itu. "Maaf ya, tapi saya tidak pernah menatap pacar Anda sama sekali. Anda pasti salah paham," ucapnya tenang, meski dalam hati berdebar tak karuan. Si pria yang bersama wanita itu tampak jelas ingin lenyap dari situasi memalukan ini. "Udah, kamu jangan gitu, ah," bisiknya pada sang pacar. "Diem kamu!" bentak si wanita. Suaranya meninggi, membuat pengunjung lain gelisah. "Ah alasan! Aku sudah hapal perempuan sepertimu pasti sedang menunggu laki-laki yang mau membayar kamu kan?" Deg. Vanila menggenggam cup minumannya erat-erat. Tuduhan itu terlalu kejam. Padahal penampilannya biasa, bahkan terbilang sangat sopan. Tapi tetap saja, wajah cantiknya seperti mengundang amarah wanita-wanita insecure. "Cukup. Sedang apa Anda membuat keributan di sini?" Suara bariton yang dalam dan dingin itu memecah ketegangan. Vanila menoleh cepat. Pria itu berdiri dengan jas hitam rapi, wajahnya tajam dan tidak asing. "Kamu siapa?" tanya si wanita, langsung berubah rikuh saat menyadari aura dominan yang terpancar dari pria itu. "Pak Adrian," bisik Vanila kaget, hampir tercekat. Kenapa pria itu harus muncul sekarang, saat dia sedang dipermalukan? Adrian melirik Vanila, lalu menatap wanita kasar itu. "Anda habis memaki dia?" "Iya, maaf... Anda kenal dengan wanita kegatelan itu?" Tubuh Vanila spontan bangkit dari kursinya. Sorot matanya penuh bara. "Siapa yang kamu bilang kegatelan?!" "Memangnya kenapa kamu nggak terima?" Orang-orang mulai berdiri dari meja mereka. Keributan makin menjadi tontonan. Adrian tetap tenang, langkahnya ringan namun terukur. "Memangnya kenapa kau menganggap dia gatal? Pacarmu digoda olehnya?" Wanita itu terdiam sesaat, lalu menjawab ragu, "Em, ya, pacarku tadi terus menatapnya." Adrian menoleh pada si pria. "Kau, kenapa menatap wanita ini? Jawab jujur." "Jangan, tolong..." gumam si pria, panik. "Saya tanya, apakah wanita ini menggoda Anda?" "Tidak. Dia tidak menggoda saya kok." Wanita di sampingnya pucat. "Ayo kita pulang!" "Tunggu dulu. Anda tak bisa pergi begitu saja." Vanila nyaris menutup wajahnya. Rasa malu dan lelah berbaur. Tapi juga ada rasa puas melihat Adrian membela. "Saya... saya cuma lihat dia. Cantik aja," ujar si pria lirih. "Jadi, kamu menatap karena kagum, bukan karena dia goda?" "Iya." Seketika, si wanita menampar pacarnya. "Kamu keterlaluan! Kita putus!!" Wanita itu pergi terbirit-b***t, diikuti pacarnya yang linglung. Adrian menghampiri Vanila. Napas gadis itu memburu, pipinya panas. "Mau pindah dari sini?" Vanila mengangguk, suara tercekat di tenggorokan. Mereka pun melangkah pergi dari kafe itu menuju tempat yang lebih sepi. "Di sini saja, sepertinya bar tempat yang cocok dibandingkan kafe." Vanila mengikuti tanpa protes, pikirannya masih berputar. Entah karena malu, atau karena kini ia duduk di samping bosnya, orang yang semalam— "Mau minum apa?" tanya Adrian. Vanila menggeleng. "Harus minum. Bagaimana kalau cocktails?" Vanila hanya mengangguk pasrah. Adrian memesan dua minuman. Saat minuman datang, ia mendorong satu ke arah Vanila. "Minumlah." Vanila mencicipi. "Ini apa? Kenapa pahit?" "Rasa buah. Memang begitu." Sunyi beberapa saat. Hanya suara musik bar yang samar terdengar. "Jadi, kenapa kau sulit sekali dicari setelah kejadian itu?" Adrian bertanya tajam. Mata cokelatnya menelisik wajah Vanila. Vanila tercekat. "Kenapa diam? Saya bahkan tidak tahu namamu." "Maaf," bisik Vanila. Suaranya pecah. "Siapa namamu?" "Vanila." "Hm. Nama yang bagus." "Aku minta maaf atas kejadian malam itu. Aku... pergi karena aku nggak lihat kamu di kamar. Aku panik." Adrian mengangguk pelan. "Saya sedang memesan makanan untuk sarapan kita." Deg. "Apa?" "Ya, tapi kau sudah pergi. Tak ada jejak, tak ada nama. Hanya kenangan yang... sulit dilupakan." Vanila menunduk, jari-jarinya gemetar memegang gelas. "Malam itu... aku benar-benar mabuk. Aku bahkan tak tahu apa yang aku lakukan." "Tapi aku ingat semuanya," ucap Adrian tajam. "Kamu membuat saya tak bisa menolak lagi. Dan akhirnya saya pasrah." Vanila terdiam. Kata-kata itu seperti cambuk. "Saya masih perjaka. Dan kamu mengambilnya... dengan brutal." Vanila nyaris tersedak. Pipinya memerah, tubuhnya menggigil. "Maafkan saya... saya tak tahu... saya benar-benar tidak sadar. Saya bahkan belum pernah—" Suaranya tercekat. Ia memejam, menahan malu. "Saya percaya kamu tidak berniat jahat. Tapi... apa kata maaf cukup?" Vanila menatap dengan mata berkaca-kaca. "Maksud Bapak...?" Adrian menyandarkan diri, bibirnya menegang. "Saya rasa kamu harus bertanggung jawab." Dan detik itu juga, dunia Vanila terasa jungkir balik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN