Terlalu Dekat, Terlalu Berbahaya

1314 Kata
Vanila mematung. “Saya rasa kamu harus bertanggung jawab.” Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya seperti gema yang memekakkan. Tanggung jawab? Apa maksud Adrian? Memangnya Vanila harus menebus sesuatu yang bahkan tak bisa diingatnya dengan jelas? Tapi satu hal yang pasti. Vanila tahu, malam itu dia yang mencium duluan. Dia yang menyentuh duluan. Dia yang menarik pria itu ke dalam pelukannya, dan bukan sebaliknya. Tubuh Vanila gemetar, napasnya terasa berat, tapi matanya tetap terpaku pada tatapan Adrian yang dingin namun misterius. “Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya lirih, nyaris tak terdengar. Adrian tidak langsung menjawab. Ia hanya menyesap minumannya perlahan, sebelum akhirnya bersandar santai dan menatap Vanila dengan sorot yang tak bisa ditebak. “Aku masih mempertimbangkannya,” ucapnya tenang. “Tapi satu hal yang pasti, kau tidak bisa pura-pura tidak terjadi apa-apa.” Vanila menunduk. “Saya benar-benar tidak berniat, saya... saya bahkan tidak tahu bagaimana bisa—” “Karena kamu mabuk,” potong Adrian. “Dan kamu gadis manis yang terlihat terlalu rapuh untuk menyimpan luka sebanyak itu.” Perkataan itu menusuk. Vanila menatapnya dengan pandangan nanar. Adrian tidak membalas tatapan itu. Ia malah berdiri. “Pulanglah,” katanya tiba-tiba. “Besok kita bicara di kantor. Lebih formal.” Vanila tercekat. Bicara di kantor? Formal? Artinya apa, batinnya. “Pak Adrian—” Tapi Adrian sudah berjalan meninggalkannya begitu saja. ** Malam itu Vanila tidak bisa tidur. Kepalanya penuh dengan berbagai kemungkinan buruk. Ia menatap ponselnya, mencoba mencari tahu apakah Adrian sudah mengirim pesan lain, tapi tidak ada. Hanya satu pesan itu: ajakan bertemu. Sisanya sunyi. Namun justru kesunyian itu yang menggerogoti pikirannya. "Apa yang dia rencanakan?" gumamnya sambil menggigit kuku, gelisah. Ia menggulingkan tubuhnya ke kiri, ke kanan, lalu akhirnya duduk memeluk lutut di atas kasur. Sorot matanya kosong. Dan mendadak, sebuah notifikasi masuk. Adrian : Bersiaplah mulai besok. Saya akan tugaskan kamu di bawah divisi saya langsung. Vanila membeku. Apa maksudnya ini? Kenapa aku di bawah dia langsung? Tangannya gemetar saat mencoba membalas pesan itu, namun tak tahu harus menulis apa. Dan ketika ia mengetik, satu pesan baru masuk lagi, membuat jantungnya melompat. Adrian : Kalau kamu ingin bertanggung jawab, jangan berani-berani menghindar. ** Keesokan harinya di kantor, suasana sudah berubah. Semua mata tertuju pada Vanila ketika ia memasuki ruangan. Entah kenapa, bisik-bisik semakin menjadi. Bahkan Vika menatapnya dengan campuran khawatir dan heran. “Van, lo kenapa sih? Dari tadi semua orang ngomongin lo.” “Ngomongin gue?” Vanila nyaris berbisik. “Iya. Katanya lo dipindahin langsung ke divisi utama. Lo kerja langsung di bawah Adrian.” Vika mendekat dan menurunkan suaranya. “Bos besar itu. Semua anak lama aja belum pernah ada yang sedekat itu kerjanya.” Jantung Vanila nyaris berhenti berdetak. "Jadi ini nyata." Vika memegang bahunya. “Lo deket sama dia? Kenapa bisa gitu?” Vanila ingin menjawab, ingin berkata tidak. Tapi apa daya, lidahnya kelu. Ia hanya bisa tersenyum canggung dan melangkah pergi menuju lift dengan jantung berdegup tak karuan. Saat pintu lift terbuka, seseorang berdiri di dalamnya. Matanya menatap Vanila, tanpa ekspresi. Tapi dari cara dia memiringkan kepala, jelas ia sudah menunggu. "Masuk." Vanila hanya bisa menuruti, berdiri dengan tubuh menegang. Tak ada kata-kata yang diucapkan sampai pintu lift tertutup kembali, menyisakan hanya mereka berdua dalam kotak besi sempit yang bergerak naik. Denting. Lantai 23. Pintu terbuka. Tapi Adrian tidak bergerak keluar. Ia menoleh pada Vanila, wajahnya hanya beberapa senti dari wajah gadis itu. Sorot matanya dalam, menusuk, dan terlalu dekat. "Selamat datang, Vanila," bisiknya pelan. "Di dunia yang kamu mulai sendiri." Pintu tertutup kembali. Tapi perasaan Vanila seperti dibawa ke tempat asing yang gelap dan dingin, tanpa tahu di mana jalan keluarnya. ** Lift berhenti di lantai 25. Adrian melangkah keluar lebih dulu, tanpa menoleh sedikit pun. Tapi Vanila tahu, dia diminta mengikutinya tanpa perlu aba-aba. Ruangan di depan mereka begitu sunyi. Interiornya mewah, dengan nuansa hitam abu dan pencahayaan remang. Vanila belum pernah masuk ke area ini sebelumnya ini ruangan pribadi, bukan area kerja terbuka biasa. Sebuah pintu kaca terbuka otomatis setelah Adrian menekan kode. Di dalamnya, hanya ada satu meja besar, rak buku tinggi yang hampir mencapai langit-langit, dan sofa panjang berwarna kelabu. Ruangan itu terasa seperti dunia lain. Dunia tempat Adrian berkuasa penuh. “Duduk,” perintahnya dingin. Vanila menuruti, duduk di ujung sofa, menjaga jarak sebisa mungkin. Tapi entah kenapa tubuhnya tetap bergetar, bahkan udara di ruangan itu terasa berat seperti menekan dadanya. Sementara Adrian membuka jas kerjanya, meletakkannya di gantungan, lalu perlahan menggulung lengan kemejanya hingga siku. Vanila menelan ludah. Kenapa pria ini selalu tampak berbahaya bahkan hanya dengan gerakan kecil? “Mulai sekarang kau akan bekerja langsung denganku,” ucapnya datar. “Aku ingin kau belajar cepat, tidak banyak bertanya, dan tidak pernah mengeluh.” Vanila mengangguk cepat. “B-baik, Pak.” Adrian menatapnya sesaat, lalu berbalik mengambil beberapa berkas. Tapi saat ia menunduk dan memutar badan dengan cepat, lututnya tak sengaja mengenai ujung meja bundar di depan sofa, menggesernya ke arah Vanila—hingga gelas di atasnya tumpah ke pangkuan Vanila. “Astaga!” Vanila memekik pelan, melompat kaget saat air dingin mengenai rok dan pahanya. Adrian menghela napas pendek, lalu berjalan mendekat. “Maaf,” katanya tanpa emosi. Tapi yang membuat Vanila lebih gugup adalah saat Adrian jongkok di depannya, meraih tisu dari meja kecil, lalu—tanpa peringatan, menekan tisu itu ke bagian pahanya yang basah. “P-pak, saya bisa—” Vanila nyaris terlonjak, merasa kulitnya membara di titik itu. Sentuhan Adrian terasa seperti percikan api kecil yang menyusup ke pori-porinya, meski pria itu tetap dingin, seolah tak terjadi apa-apa. “Saya hanya membersihkannya,” ucap Adrian singkat, tetap menunduk. Namun posisi mereka terlalu dekat. Nafas Vanila tercekat saat kepala Adrian hanya sejengkal dari dadanya yang naik-turun panik. Tangan pria itu bergerak cepat tapi tenang, menyeka cairan yang merembes ke rok, tanpa menyadari bahwa kulit Vanila sudah memerah panas. “Aku bisa bersihkan sendiri,” ucap Vanila lagi, suaranya nyaris hanya hembusan napas. Adrian akhirnya mendongak. Sorot matanya menusuk, tajam, penuh kekuasaan. “Tak perlu gugup seperti itu, Vanila.” Tapi justru kata-kata itu membuat jantung gadis itu makin tak karuan. “Aku tidak menggigit,” lanjut Adrian, suaranya lebih rendah dan dalam dari biasanya. Lalu tiba-tiba ia berdiri, mundur dua langkah, dan kembali bersandar ke meja. “Gantilah bajumu. Di ruangan belakang ada kamar kecil, dan beberapa ganti baju staf untuk keperluan mendesak.” Vanila masih mematung, merasa kulit di pahanya masih berdenyut karena sentuhan tadi. Tapi ia hanya mengangguk dan cepat-cepat masuk ke ruangan kecil di sisi kanan. Pintu tertutup. Di dalam sana, Vanila berdiri membelakangi cermin, melepaskan rok yang basah dan menekuknya dengan napas tak beraturan. “Aku harus tetap tenang. Ini cuma insiden biasa. Dia juga pasti tidak merasa apa-apa.” Namun kata-kata itu terdengar hampa. Karena bahkan saat ia melepas blusnya dan mengenakan kemeja putih dari lemari staf, kulitnya masih terasa menyimpan jejak panas dari tangan pria itu. Sentuhan dingin yang menyusup namun menyala terlalu dalam. Saat Vanila keluar dari ruangan kecil, Adrian sudah duduk kembali di meja kerjanya. Tanpa menoleh, ia bicara, “Kamu lebih cocok mengenakan putih. Tidak terlalu mencolok.” Vanila menggigit bibirnya. Komentar itu entah pujian atau sindiran. Tapi nada Adrian tetap tenang. Lalu pria itu menatapnya sekilas. “Kau tak perlu takut padaku, Vanila. Tapi jangan pernah lupa, aku juga tidak akan pernah sepenuhnya mempercayaimu.” Deg. Kata-kata itu seperti cambuk yang menghantam keras ke d**a Vanila. Namun sebelum ia sempat bicara, Adrian sudah berdiri. “Ambil dokumen di ruang arsip lantai 8. Setelah itu kembali ke sini.” Vanila mengangguk kaku dan pergi. Namun, saat melangkah keluar dan menutup pintu ruangan Adrian perlahan, hatinya masih bergemuruh hebat. Apa yang baru saja terjadi barusan. Dan ia tak tahu bahwa dari dalam, Adrian menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu tersenyum tipis tanpa ekspresi bahagia. “Hati-hati, Vanila. Kamu baru saja melangkah ke dalam permainan yang tak bisa kamu hentikan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN