Kecupan Diujung Penderitaan

1366 Kata
Vanila tidak mengerti apakah dia terlalu bodoh atau memang sepayah itu. Malam itu, kepalanya penuh sesak dengan semua beban yang menumpuk. Pekerjaan yang membuatnya dicekam rasa bersalah karena kejadian di kantor bersama Adrian, hingga luka lama dari mantan kekasih dan sahabatnya yang justru menghianatinya. Semua itu semakin rumit saat Sena, sahabat yang dulu mengkhianatinya, tiba-tiba muncul di depan kamar kost Vanila dengan wajah panik dan tubuh gemetar. "Van," ucapnya lirih. Vanila meremas tangannya, tak tahu lagi harus diapakan orang di depannya. "Van, tolong bantuin aku. Gue mohon bujuk Gio, biar dia mau nikahin gue," pinta Sena dengan wajah penuh ketakutan. "Pergi," ucap Vanila. "Vanila, gue tau gue salah." "Lo gila, ya. Kata gue pergi!!!" sentak Vanila. Vanila nyaris menutup pintu. Tapi raut panik dan tubuh Sena yang tampak lemah membuatnya tak tega. Namun sebelum sempat menjawab, Sena mengeluh kesakitan sambil memegangi perutnya. "Vanila, please, tolongin gue!!" Sena memekik. "Lo keterlau—" Seketika Vanila terkejut melihat darah mengalir di kaki Sena. Tanpa berpikir panjang, ia segera memapah perempuan itu ke taksi dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Walau hatinya masih penuh amarah, Vanila tak bisa membiarkan perempuan itu terluka parah di hadapannya. "Vanila, sakit, Van!" jerit Sena. ** Setelah menunggu cukup lama di kursi tunggu rumah sakit, Giorgino akhirnya muncul. "Van, kamu di sini?" tanya pria itu, wajahnya cemas. Vanila bangun lalu mendekati Giorgino. "Tolong jaga cewek dan anak di kandungannya. Tanggung jawab!" tegasnya dengan nada tertahan di telinga pria itu. Giorgino langsung memegang lengan Vanila. "Van, bukan aku yang bikin Sena hamil." "Lepas!" desis Vanila geram. Seorang suster muncul dari ruang rawat. "Kalian berdua, pasien ingin bertemu." Vanila menggeram. Dia tidak ingin berlama-lama di tempat itu. Namun Giorgino menahannya. "Van, ayo kita ke dalam. Sena butuh kita." "Apasih. Jijik tahu nggak!" Namun akhirnya Vanila tetap ikut masuk, lebih karena rasa tanggung jawab sebagai manusia ketimbang simpati. Di dalam, Sena terbaring pucat dengan wajah lemah. "Gino, sakit..." rintih Sena lemah. Giorgino menatap Vanila sebelum akhirnya menghampiri Sena. "Kenapa bisa sampai gini, Sen?" Vanila hanya memandangi mereka dengan tatapan datar. "Dia, dia yang bikin aku hampir keguguran," ucap Sena dengan suara lemah tapi jelas. Vanila melotot. "Apa lo bilang?!" "Van, kamu beneran yang bikin Sena kayak gini?" Giorgino menatap Vanila dengan sorot tak percaya. "Apa sih, kalian berdua gila, ya?! Nggak waras kalian, sakit jiwa!" "Van, aku tau kamu kecewa dan marah. Tapi Sena berhak hidup, kan?" ujar Giorgino dengan wajah serius. Vanila terkesiap. Ini semua terlalu konyol. "Lo yang datang minta gue bujuk Gio buat nikahin lo. Terus lo pendarahan dan gue bawa lo ke sini, dan sekarang lo nuduh gue?" Sena memasang wajah menyedihkan. "Tapi lo bentak gue, Van. Lo tau kan ibu hamil sensitif." Vanila tertawa getir. "Gila ya. Capek gue sama kalian. Sekarang kalian urus sendiri deh. Gue udah males banget ngurusin kalian!" Ia keluar dari kamar rawat dengan napas tersengal karena marah. Giorgino mengejarnya lagi, seperti setan yang tak tahu malu. "Van, tunggu." "Apa sih! Lepasin nggak!" "Kalau sampai ada apa-apa sama Sena, aku nggak akan diam." Vanila menatapnya tajam. "Lo jahat, Gio. Setelah nyakitin gue, lo selingkuh sama sahabat gue, sekarang lo nuduh gue nyakitin perempuan yang lo hamili. Sakit jiwa lo." Dengan langkah besar, Vanila pergi. Ia berlari menjauh dari rumah sakit, dari semua kekacauan yang menyakitinya. Air mata yang ditahan akhirnya mengalir deras. Langkahnya membawanya ke sebuah jembatan tinggi, menghadap sungai yang gelap dan bergelombang di bawahnya. Vanila berdiri di pinggir jembatan, tubuhnya gemetar. "Aku nggak sanggup lagi..." Hidupnya terlalu berantakan. Tidak ada lagi yang bisa ia pegang. Tidak keluarganya, tidak cinta masa lalunya, bahkan pekerjaannya sekarang pun penuh ketidakpastian setelah apa yang ia lakukan pada Adrian. Ia berteriak, "Kalau gue mati pun nggak ada yang nangisin gue!!" Saat kakinya hendak melangkah maju, seseorang menarik tubuhnya kuat dari belakang. "Apa yang kamu lakukan, hah?!" Vanila menjerit dan berbalik. Wajah pria yang memeganginya membuatnya makin ingin menghilang. "Pak Adrian?!" "Kamu gila ya?! Mau bunuh diri?!" "Iya! Aku emang gila! Puas kamu?! Jadi tolong pergi dari sini!!" "Kamu ikut saya! Jangan begini!" "NGGAK ADA LAGI ALASAN BUAT HIDUP!!" Adrian memegang tubuhnya erat. "Vanila, kamu bisa bangkit! Saya bisa bantu kamu!" "Untuk apa?! Buat direndahin lagi?!!" "Menikahlah dengan kakak saya." Vanila terdiam. "Apa...?" "Ya. Kamu akan dapat rumah, mobil, uang, dan hidup yang jauh lebih baik." Vanila tertawa miris. "Saya nggak minat bangun rumah tangga." "Tapi kamu bisa tunjukkan bahwa kamu bisa menang. Kamu bisa hidup lebih baik. Kalau kamu mati, mereka menang, dan kamu kalah." Vanila menunduk. Tangisnya pecah. Di dalam luka itu, ada secercah sesuatu yang terdengar seperti harapan. Vanila mematung. Kata-kata Adrian terus bergaung di kepalanya, menikahlah dengan kakak saya. Ia masih menggigil, entah karena udara malam yang menyentuh kulitnya atau karena pikirannya yang sedang kacau balau. “Kamu masih muda, kamu bisa bahagia. Kamu bisa tunjukkan bahwa kamu bisa bangkit,” ulang Adrian lagi, suaranya lebih rendah, seperti sedang menahan sesuatu. Vanila melangkah mundur satu langkah. Ia ingin menjauh, tak mau terjebak dalam godaan kalimat-kalimat manis yang mungkin cuma basa-basi dari pria berdarah dingin seperti Adrian. Namun tumit sepatunya tergelincir di besi pembatas jembatan yang licin akibat embun malam. Ia kehilangan keseimbangan. “Ahh!” pekiknya pelan. Adrian yang refleks melihat Vanila oleng langsung maju satu langkah dan menarik tubuh gadis itu ke arahnya, erat dan tergesa. Sekejap kemudian tubuh Vanila jatuh ke dalam pelukannya. d**a bidang pria itu menjadi sandaran dadanya yang bergetar ketakutan. Nafas Vanila memburu, sementara jari-jarinya mencengkeram jas pria itu kuat-kuat karena syok. Kaki Vanila bahkan sempat menggantung di tepi sebelum akhirnya Adrian menariknya sepenuhnya ke dalam pelukan. “Vanila!” suara Adrian terdengar keras, panik, dan berbeda dari biasanya. Namun yang membuat waktu seolah berhenti bukan karena suara itu, melainkan karena sesuatu yang lebih gila. Saat Vanila jatuh, bibirnya… menyentuh bibir Adrian. Tak sengaja. Tapi terlalu nyata untuk disebut kebetulan. Keduanya membeku. Bibir yang bersentuhan tidak langsung terlepas. Sekian detik mungkin lebih. Nafas mereka tercampur. d**a Vanila naik-turun, jantungnya terasa meledak. Namun lebih mengejutkan lagi adalah sikap Adrian. Ia tak serta merta mendorong Vanila. Ia diam. Hanya menatap Vanila dalam jarak yang terlalu dekat. Sangat dekat. Suara detak jam di pergelangan tangannya bahkan bisa terdengar olehnya sendiri. Adrian… merasakan sesuatu. Bukan sekadar respons fisik, tapi keanehan yang membuat pikirannya kacau untuk pertama kalinya sejak lama. Bibir gadis itu terasa lembut, wangi parfumnya samar dan manis seperti buah persik yang baru digigit setengah. Ia bisa saja menjauh, tapi mengapa tidak? “Pak… Adrian…” bisik Vanila pelan, sadar posisinya yang terlalu intim. Seolah tersadar, Adrian langsung menjauh dan melepas pelukannya. Namun raut wajahnya tidak seperti biasanya. Ia tak lagi setenang tadi. “Maaf nggak sengaja,” suara Vanila serak, wajahnya merah padam, entah karena malu atau takut ditolak mentah-mentah. Adrian menghela napas panjang. Ia menyapukan tangan ke wajahnya sendiri, lalu berbalik menatap sungai yang mengalir tenang di bawah jembatan. “Seharusnya kamu hati-hati,” katanya pelan, tetapi suaranya berubah lebih berat, seperti ada sesuatu yang sedang ia tahan. Vanila menunduk. “Aku hanya ingin semuanya selesai. Hidupku benar-benar hancur.” Ia menggigit bibir. "Bahkan membuatmu semakin rumit karena kejadian di kantor.” Adrian menoleh perlahan. Pandangannya menusuk, tapi tak sedingin biasanya. Ada sesuatu di balik mata gelap itu, konflik batin yang ia sembunyikan. “Vanila,” katanya pelan, “aku sudah bilang, aku tidak main-main. Aku tidak tertarik bermain hati dengan siapa pun terutama dengan orang sepertimu.” Vanila menahan napas. Kata-kata itu terasa tajam, tapi ia paham. Laki-laki ini bukan tipe yang mudah terseret perasaan. Ia berbeda dari semua pria yang pernah Vanila kenal. Namun anehnya justru itu yang membuat jantungnya berdebar lebih keras. Adrian melangkah pelan ke arahnya lagi. “Tapi mulai malam ini, kamu ikut aku. Jangan pernah lagi berpikir untuk menghilang, apalagi mati.” Vanila mengerjap. “Kemana kita pergi?” “Mengurus hidupmu. Dan kalau kamu tidak bisa jaga dirimu sendiri, maka aku yang akan melakukannya.” Adrian lalu berbalik, tanpa memberi ruang tanya, “Ayo.” Vanila masih berdiri mematung. Hatinya berantakan. Bibirnya masih bisa merasakan sisa sentuhan tadi. Tapi ia tahu, Adrian tidak akan membicarakannya lagi. Pria itu terlalu rasional untuk mengakui bahwa ia juga terguncang. Namun Vanila tahu satu hal, apa pun yang baru saja terjadi… bukan hal biasa. Dan itu mungkin adalah awal dari segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN