"Duduklah. Kamu mau minum apa?"
Suara Adrian terdengar datar, tetap dingin meski baru saja menyelamatkan Vanila dari aksi nekatnya. Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, masih belum sepenuhnya sadar bahwa ia kini duduk di ruang tamu rumah pria itu, tempat yang jauh terlalu mewah untuk seorang perempuan sekarat seperti dirinya.
"Tenangkan dirimu sebentar."
Adrian bangkit dan meninggalkannya sejenak. Vanila mengedarkan pandangannya dengan kepala yang masih berat. Ruang tamu ini seperti museum modern. Sofa berkelas, karpet tebal, rak buku tinggi dengan pencahayaan spot, dan jendela lebar yang menampilkan taman bunga di luar sana. Ada pohon maple kecil, air mancur mungil, dan bangku besi tempa yang berkilau di bawah sinar sore.
Semuanya terlalu damai.
Sementara dadanya masih berdenyut sakit karena semua luka yang belum sempat sembuh, dikhianati sahabat, dihina mantan kekasih, dan dipermalukan di depan umum. Bahkan ia sendiri tak yakin apakah tubuhnya masih layak duduk di tempat seperti ini.
Adrian kembali membawa nampan, meletakkan segelas minuman dingin dan sepiring kudapan lembut di atas meja marmer putih di depannya.
"Minumlah. Kamu butuh tenaga."
Vanila ragu. Tapi akhirnya ia menyentuh gelas itu. Ia hanya menyesap sedikit.
“Terima kasih.”
Adrian duduk di depannya, menatap dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Aku tidak akan bertanya alasan kamu ingin mati, Vanila. Aku tidak tertarik menelusuri luka-luka lamamu. Tapi tawaran yang aku ajukan sebelumnya itu bukan candaan."
Vanila diam, menunduk. Ia ingat. Tawaran absurd yang Adrian lontarkan saat dirinya sudah berada di ambang kematian.
"Kakakku, Verrel, harus segera menikah," lanjut Adrian tanpa basa-basi. "Dan kamu kandidat terbaik yang terpikir olehku."
Vanila mendongak, alisnya berkerut. "Kandidat? Saya?"
"Dia kembali ke kota setelah bertahun-tahun mengasingkan diri. Dan aku curiga ada sesuatu yang salah."
Vanila menelan ludah. "Maksudnya?"
"Dia sepertinya kehilangan ketertarikan pada wanita."
Vanila membulatkan mata. “Apa kamu yakin?”
Adrian menyandarkan punggungnya, menatap langit-langit sebentar. “Yakin tidak yakin. Tapi selama setahun terakhir, tidak ada satu pun perempuan yang berhasil mendekat. Bahkan sekretaris paling cantik sekalipun gagal menarik perhatiannya. Aku khawatir dia tidak normal, dan itu membuat rumor yang akhirnya akan menimbulkan kekacauan nanti."
Vanila menggigit bibir bawahnya. “Lalu kamu ingin aku mengetesnya?”
"Kamu bukan siapa-siapa, dan itu kelebihanmu. Tidak menonjol, tapi punya daya tarik. Kamu tidak akan membuatnya curiga."
"Terima kasih atas pujiannya yang agak meragukan," gumam Vanila sinis.
"Tapi kamu paham maksudku. Aku ingin kamu mendekatinya. Dekati, tarik perhatiannya, buat dia tertarik padamu. Dan bila itu terjadi, maka kamu akan mendapatkan semua yang kamu butuhkan. Rumah, pekerjaan tetap, uang, bahkan nama belakang keluarga kami."
Vanila menahan napas. Tawaran itu terlalu besar. Terlalu muluk.
"Tapi aku sudah kerja di kantor kamu. Di divisi dekat kamu, setelah kamu sendiri yang memindahkan aku. Gimana caranya aku bisa main dua peran?"
"Itu sudah aku pikirkan. Statusmu sebagai karyawan magang sudah tidak berlaku mulai hari ini. Aku akan angkat kamu jadi ‘konsultan eksternal untuk proyek khusus keluarga’. Itu alasan formalmu. Tidak akan ada yang mempertanyakan.”
Vanila mendadak ingin tertawa saking absurdnya semua ini. Tapi ia tak bisa. Tawaran itu sebagai gila dan manipulatifnya, datang di saat ia sudah tidak punya apapun lagi.
"Hanya satu syarat," kata Adrian tiba-tiba. "Jangan pernah berpikir kamu bisa bermain hati denganku."
Vanila membeku.
Adrian menatap tajam, penuh batas. “Apa yang terjadi malam itu tidak akan terulang. Kamu mengerti?”
Wajah Vanila memanas. Ia langsung menunduk. "Saya mengerti, Pak."
“Bagus. Karena kamu hanya pion dalam rencana ini.”
Terdengar keras. Tapi Vanila tahu, dirinya pun kini sudah tidak punya kemewahan untuk memilih peran.
“Baik. Saya akan jalankan tugasnya.”
Adrian mengambil kartu dari dompetnya dan menyodorkan ke Vanila.
“Malam ini, jam delapan. Di bar ini. Verrel biasa datang ke sana, sendirian. Kau tahu apa yang harus kamu lakukan.”
Vanila mengambil kartu itu dengan tangan sedikit gemetar. Tulisan emas di atasnya menandakan betapa eksklusifnya tempat itu. Dunia yang asing untuk perempuan sepertinya.
"Saya akan ada di sana juga. Mengawasi dari jauh. Pastikan kamu menggoda tanpa membuatnya kabur."
“Dan kalau dia tidak tergoda?”
“Maka kamu harus mencoba lebih keras.”
Adrian mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Ia berbohong jika bilang ia cemas karena orientasi seksual kakaknya. Verrel bisa suka pria, wanita, bahkan batu sekalipun, dan itu bukan urusannya. Keluarga mereka bukan tipe keluarga konservatif yang ribut soal urusan pribadi. Dan Adrian terlalu sibuk untuk peduli pada hal-hal remeh.
Yang sebenarnya membuatnya bersikeras ingin menjodohkan Verrel adalah karena dia sedang butuh pelampiasan.
Seseorang dalam hidupnya baru saja pergi.
Seseorang yang berhasil menghancurkan kepercayaannya. Seseorang yang ia beri tempat paling dalam di hidupnya… lalu menikamnya dengan tenang.
Perempuan itu, Adrian memejamkan mata, mencoba menghapus siluet wajah yang terus muncul seperti hantu di benaknya. Aroma tubuhnya, cara bicaranya, semua masih lekat. Tapi luka itu lebih dalam dari yang bisa ia akui.
Sebab bukan hanya hatinya yang patah. Tapi prinsipnya tentang cinta, tentang kepercayaan, tentang pengorbanan, semuanya remuk tak bersisa.
Dan sejak malam itu, Adrian bersumpah.
Tidak akan ada lagi yang menyentuh sisi lembut dalam dirinya.
Ia akan mengatur ulang semuanya. Termasuk hidup Verrel.
Semuanya akan ditata ulang, dikendalikan dengan cara Adrian sendiri.
Bukan karena peduli. Apalagi ada rasa tersembunyi. Tapi karena itu satu-satunya cara agar ia tidak berantakan dan jadi kacau.
Dan kini, Vanila tak sadar bahwa ia adalah bagian dari permainan itu.
Permainan yang diciptakan oleh pria yang sebenarnya sedang menggali lubang untuk menutup luka sendiri.
**
Keesokan harinya.
"Vanila! Sakit, ya kemarin? Pak Adrian sampai nitipin kamu ke bagian HR loh, katanya kamu butuh waktu istirahat."
Suara Kevin menyambutnya ketika ia baru tiba di kantor. Vanila hanya tersenyum simpul, seperti biasa.
“Iya, sedikit drop,” jawabnya datar.
Ia masih belum percaya bahwa ia akan masuk ke dalam misi gila ini malam nanti. Tapi satu hal yang ia tahu sekarang.
Jika harus berpura-pura mencintai pria asing demi hidup yang lebih baik, dan ia akan lakukan.
Karena dunia ini, seperti yang akhirnya Vanila sadari, hanya berpihak pada mereka yang berani bertaruh besar.
"Aku senang kamu sudah kembali ke kantor," ucap Kevin lembut.
"Maaf, Pak, permisi."