Sebenarnya, Vanila merasa enggan melakukan hal-hal yang berhubungan dengan menggoda laki-laki. Ia benci dianggap murahan. Apalagi, selama ini ia sudah terlalu sering dicibir, dilabeli penggoda, bahkan oleh sahabatnya sendiri. Namun, sekarang bukan soal harga diri lagi, ini tentang tanggung jawab. Ia sudah menyeret bosnya, Adrian, ke dalam masalah. Maka ketika diberi tugas menggoda. Vanila menerima meski hatinya memberontak.
Di sebuah bar mewah di pusat kota, Vanila duduk dengan gelisah. Dudukannya strategis, tak jauh dari pintu masuk dan cukup terlihat dari kejauhan. Ia menunggu, bukan hanya Adrian, tapi momen di mana ia harus menjual aktingnya sebagai wanita yang menggoda pria yang bahkan dicurigai menyukai sesama jenis.
Tak lama, Adrian masuk. Ia mengenakan jas gelap, tampak angkuh seperti biasa, dan duduk di sudut ruangan, hanya beberapa meter dari Vanila. Tatapannya menyapu ke arahnya, sekilas memberi anggukan kecil yang membuat Vanila makin gugup. Itu tandanya.Verrel akan datang sebentar lagi.
Benar saja, suara laki-laki yang memesan dengan suara dalam dan santai terdengar di sisi kanan Vanila.
“Minuman yang biasa,” ucap pria itu santai.
Vanila melirik dari ekor matanya. Tinggi, postur gagah, dan gaya santainya menandakan bahwa pria itu bukan orang sembarangan.
“Lo udah lama nggak ke sini, abis dari mana?” tanya bartender yang tampaknya sudah akrab dengannya.
“Melakukan hal-hal yang nggak bisa gue lakuin di sini,” jawabnya sambil terkekeh pelan.
Vanila mulai yakin, dia adalah Verrel.
“Wah, lancar ya. Sodara lo nggak nyari?” lanjut bartender.
Verrel mendengus. “Dia sibuk. Mana sempat ngurusin gue.”
“Tapi waktu itu dia nanya-nanya soal lo.”
“Nanya apa?” Nada Verrel mulai tertarik.
“Agak ekstrim sih. Dia nanya apa lo suka sama laki-laki.”
Verrel mendadak terdiam. Vanila ikut menahan napas. Ini lebih panas dari yang ia duga. Dan benar saja, beberapa detik kemudian, ponsel Vanila bergetar.
Adrian bilang jalankan rencana, dan Vanila meremang.
Jantung Vanila mulai berdegup kencang. Aku bisa, kan. Aku harus bisa. Dengan napas ditahan, ia melangkah membawa segelas minuman yang sudah disiapkannya.
Langkahnya terukur, tapi saat sudah dekat dengan Verrel, ia berpura-pura tersandung. Minuman dalam gelas tumpah mengenai baju pria itu.
“Ah! Ya ampun!” pekiknya dramatis.
“Oh my God! Maaf, maaf banget!” Vanila langsung pura-pura panik, tangannya menyentuh d**a Verrel tanpa sengaja, seolah ingin membersihkan noda.
Namun reaksi Verrel justru di luar dugaan. Ia mendorong Vanila kasar.
“Lepas dari gue, Jalang!”
Vanila melongo. Jalang? Dadanya terasa diremas emosi. Dia baru saja dihina dengan kata yang bahkan mantan sahabat pengkhianatnya pun tak pernah lontarkan.
“Lo sengaja numpahin, ya?” Wajah Verrel garang. Sorot matanya dingin dan penuh penolakan.
“Saya bilang maaf! Tadi nggak sengaja!” sahut Vanila, mencoba tetap sopan meski nadanya mulai meninggi.
Verrel mencibir. “Lo pikir gue bego? Cewek kayak lo tuh bisa ketebak niatnya dari sejauh lima meter. Murahan. Sok manis padahal mata duitan. Karena itu gue benci perempuan.”
Vanila menganga. Ia sudah mengira Verrel punya masalah dengan wanita, tapi sekeji ini?
“Oh pantas. Lo penyuka sesama jenis ya?” cetusnya, pedas.
“Dasar p*****r!” bentak Verrel, dan tangannya melayang hendak menampar Vanila—tapi tangan itu tertahan.
Adrian.
“Cukup, Verrel.” Suaranya dingin tapi tajam.
Verrel tertegun. “Rian?! Lo ngapain di sini?”
Namun sebelum ia bisa lari, Adrian melayangkan pukulan keras ke rahangnya. Verrel terhuyung, terjatuh ke lantai dengan umpatan tertahan.
“Kau keterlaluan, Rel,” ucap Adrian. “Kau bisa benci siapa pun, tapi jangan pernah sentuh perempuan saya.”
“Lo pukul gue cuma gara-gara wanita jalang ini?”
Tanpa banyak kata, Adrian melayangkan pukulan kedua. Kali ini Verrel mendesah kesakitan. Bar mendadak sunyi, semua menatap mereka.
Melihat Adrian dipermainkan, Verrel makin sinis.
“Kalian berdua cocok. Sama-sama rusak,” tukasnya sambil tertawa menghina.
Vanila tak tahan. “Dasar banci!” Dan tanpa aba-aba, lututnya menghantam bagian paling sensitif Verrel.
“ARGHH!!” jerit Verrel, menggeliat seperti cacing kejang.
“Aku tahan dari tadi, tahu!” Vanila mencibir, tapi tubuhnya sudah diseret Adrian keluar bar. Ia masih ingin menendang, tapi Adrian langsung menggendongnya.
“Hei! Turunin aku, Pak!” teriak Vanila, sambil menghantamkan tangan ke d**a Adrian.
“Tidak. Diam, Vanila.”
“Gila kamu! Permainan ini batal!”
“Kita belum selesai!” ucap Adrian, menahannya sampai tiba di mobil.
“Masuk,” katanya.
“Aku nggak mau!”
“Vanila, masuk!”
Tatapan mata mereka bertaut, tegang dan panas. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuat Vanila tak sanggup menolak. Ia pun masuk ke dalam mobil.
Mobil melaju, dan keheningan menggantung. Tapi Vanila tahu, ini belum akhir dari semuanya.
**
Di balik kemarahan dan emosi Adrian, ada sesuatu yang ia sembunyikan. Kebenarannya adalah, ia tak terlalu peduli apakah Verrel benar-benar menyukai sesama jenis. Ia hanya mencari jawaban untuk luka yang ditinggalkan seseorang dari masa lalunya.
Seseorang yang ia cintai. Yang telah ia lepaskan... dan belum bisa ia maafkan.
Dan kini, Vanila muncul seperti badai tak terduga. Membuat hatinya kembali berdebar, meski Adrian bersumpah tak akan pernah jatuh cinta lagi.
**
Mobil melaju, dan keheningan menggantung di antara mereka. Lampu-lampu kota di luar jendela bergerak cepat, seperti menyapu seluruh kenangan pahit yang baru saja terjadi. Tapi tidak bagi Vanila.
Tangannya mengepal di pangkuan, bibirnya gemetar menahan emosi. Ia ingin terlihat kuat, tapi sesuatu di dalam dirinya sudah retak terlalu dalam.
Tanpa peringatan, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Lalu yang lain menyusul. Pelan, diam-diam. Tapi luka itu tak bisa ia sembunyikan.
Adrian sempat melirik ke arahnya, alisnya terangkat melihat gadis itu menggigit bibir sambil mengusap wajahnya yang basah.
“Kamu menangis?” tanyanya pelan, tapi tak dijawab.
Vanila membuang wajah ke sisi jendela, tak ingin pria itu melihat kelemahannya. Ia bahkan tak tahu kenapa ia menangis, bukan karena rasa malu, bukan karena gagal dalam misinya. Tapi karena kata-kata Verrel tadi benar-benar menghantam jantungnya.
Jalang. p*****r. Perempuan murah.
Tiga kata yang seperti dirajam ke dalam harga dirinya yang sudah lama compang-camping.
Ia menggigit bibir, mencoba menahan suara isak. Tapi gagal.
Saat itu juga, Vanila sadar bahwa ia lebih terluka daripada yang ia pikirkan.
"Kenapa aku selalu diperlakukan seperti ini?"