Ponsel Vanila masih berada di tangannya, layar masih menyala dengan pesan dari Tiara. Tapi pikirannya tak mampu mencerna isi pesan itu sepenuhnya. Bukan karena ia tak penasaran, tapi karena pikirannya masih terjebak di malam sebelumnya—malam saat semua batasan runtuh. Saat ciuman mereka menyatakan hal yang lebih dalam dari sekadar kata kontrak. Ia baru saja meletakkan ponsel itu di meja nakas ketika suara pintu depan terdengar terbuka. Langkah kaki berat yang sangat dikenalnya menggema menuju kamar. Vanila menoleh cepat, jantungnya berdebar. “Mas Adrian?” gumamnya pelan, hampir tak percaya pria itu sudah pulang. Adrian muncul di ambang pintu beberapa detik kemudian. Masih mengenakan kemeja putih yang lengan panjangnya digulung rapi, dasi tergantung longgar di leher. Rambutnya sedikit a