Verrel berjalan cepat meninggalkan ballroom, jas hitamnya ia buka separuh dan selempangkan di pundak, napasnya memburu karena amarah dan rasa tak percaya. Sepatu kulitnya berderap menghantam lantai marmer, seolah ingin menjauh dari semua yang menyesakkan dadanya. “Verrel! Tunggu!” Viola mengejar. Gaun malam berwarna merah marun itu menyapu lantai, hak tinggi menghambat langkahnya, tapi dia tetap berlari menyusul. “Verrel, dengar dulu,” pinta Viola saat berhasil meraih lengan pria itu. Verrel berhenti mendadak. Ia berbalik, menatap tajam. “Pergi dari sini, Viola. Semua sudah selesai. Sudah tamat. Tak ada lagi yang bisa kau lakukan.” Viola menggigit bibirnya, menahan emosinya. “Tapi kamu dengar sendiri apa yang Adrian bilang. Dia benar. Aku, aku memang menginginkanmu. Bukan Adrian.” “