Malam itu, lampu-lampu kota tampak temaram dari balik jendela kamar hotel Adrian. Ia duduk di kursi kerja, jasnya masih terpakai, dasinya longgar. Ponselnya diletakkan di atas meja, tapi sejak tadi tak kunjung ia buka. Tatapannya kosong, pikirannya penuh. Sudah lewat pukul sembilan malam, dan Vanila belum mengirim pesan sama sekali. Tidak seperti biasanya. Adrian tahu kenapa. Ia bisa menebaknya. Vanila sedang diam, bukan diam biasa, tapi diam yang penuh emosi tertahan. Dengan satu tarikan napas panjang, Adrian mengambil ponselnya, membuka kontak Vanila, dan menekan ikon panggilan video. Butuh waktu cukup lama sebelum sambungan tersambung. Tapi saat wajah Vanila muncul di layar, Adrian langsung terdiam. Wanita itu terlihat sangat cantik meski tanpa riasan, rambutnya dikuncir ke belakang