Bab 12. Pertemuan kedua mereka

1344 Kata
Biantara mengedarkan pandangan ke sepenjuru kelab malam. Suara musik yang mengalun kencang cukup membuat kepala Biantara berdenyut sakit. Sejujurnya, Biantara tidak begitu menyukai kelab malam yang terlalu ramai dan riuh. Terlebih, di tempat ini banyak sekali orang mabuk yang sering kali kehilangan kendali. Tatapan mata Biantara terpaku pada seorang perempuan yang tampak tengah berbicara dengan seorang pria di depan meja bar panjang. Perempuan itu mengenakan dress mini berwarna merah yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Topeng berwarna hitam terpasang menutupi separuh wajahnya yang tentu saja tidak sanggup menutupi wajah ayunya. Senyum kecil sontak tersungging di bibir Biantara melihat perempuan itu. Perasaan lega dan hangat membanjiri hati Biantara. Itu adalah perempuan yang seminggu ini Biantara cari. Beauty. Perlahan Biantara berjalan mendekat ke arah perempuan itu. Ia berdiri di samping perempuan itu sambil memesan minuman kepada bartender. “Gue akan bayar lo berapa pun yang lo minta,” kata pria yang berada di depan perempuan misterius itu. “Tidur sama gue. Gue ingin menikmati tubuh seksi lo.” Ucapan pria itu sontak membuat Biantara yang berdiri bersebelahan dengan perempuan itu menoleh dengan perasaan marah. Meskipun Biantara tidak mengenal perempuan itu, tapi entah mengapa Biantara merasa tidak suka jika ada pria berengsek yang mengatakan hal menjijikan seperti itu. Awalnya Biantara hendak mendorong tubuh pria itu menjauh dari Beauty, menghajarnya mungkin, tapi suara renyah yang keluar dari mulut perempuan itu membuat Biantara mengurungkan niatnya. “Apa aku terlihat seperti p*****r?” tanya perempuan itu santai. “Tentu saja tidak,” balas pria itu. “Gue hanya menawari lo uang karena siapa tahu uang membuatmu tertarik. Kalau lo nggak mau uang, nggak masalah. Yang penting, kita segera pergi dari sini. Ayo ke hotel.” Perempuan itu mendekatkan wajahnya ke telinga pria itu. “Enyahlah,” ucapnya penuh penekanan. Lalu, ia menarik diri, menatap pria itu dengan sorot mata meremehkan. “Lo menjijikan,” tambahnya. “Apa lo bilang? Nggak usah sok suci! Dasar p*****r!” maki pria itu tampak marah dan tersinggung dengan ucapan perempuan tersebut. Suara tawa kembali keluar dari bibir penuh milik perempuan itu. Dia sama sekali tidak terusik dengan makian yang baru saja diterimanya. “Lo ngetawain apa!” seru pria itu lagi. “Dasar perempuan nggak tahu diuntung. Masih mending gue—” “Bro, berhenti mengganggunya,” sahut Biantara seraya mendorong pria itu menjauh dari perempuan cantik di samping Biantara. Biantara merasa tidak tahan lagi untuk mengusir pria berengsek ini. “Nggak usah ikut campur!” seru pria itu marah kepada Biantara. “Lo mabuk! Sebaiknya lo segera pergi atau gue akan panggil bodyguard buat ngusir lo.” “Lo berani?” tantang pria itu. Sontak saja Biantara menoleh ke arah bartender yang berada di balik meja bar. Bartender itu yang tampak paham dengan situasi yang sedang terjadi di sana, sontak mengangguk. Lalu, tak lama kemudian dua orang pria bertubuh kekar berjas hitam menghampiri pria tadi kemudian membawanya pergi—dengan sedikit perlawanan. “Oh, my knight in shining armor,” ucap perempuan yang berada di samping Biantara dengan nada seperti menyindir. Biantara menoleh ke arah perempuan cantik itu yang juga tengah mengamati Biantara. “Aku hanya mencoba membantu,” balasnya. Perempuan itu tersenyum kecil ke arah Biantara. “Kalau begitu, terima kasih,” katanya. “Omong-omong, apa kamu mengingatku?” tanya Biantara dengan wajah penuh harap. Perempuan itu menelengkan kepala, menatap Biantara seolah tengah mengingat sesuatu. Perlahan dia menggelengkan kepala. “Tidak,” jawabnya. “Minggu lalu kita bertemu. Di sini,” kata Biantara lagi. “Well, aku bertemu dengan banyak orang di sini, Tuan.” “Kita mengobrol.” Senyum perempuan itu merekah. Tawa kecil lolos dari bibirnya. “Aku mengobrol dengan banyak orang,” katanya. “Kamu mengatakan jika hidupku sedang tidak baik-baik saja. Lalu, kamu juga bilang kalau ada yang mengikutiku. Hantu. Yang tentu saja aku tidak mempercayainya.” Perempuan itu tampak diam, mendengarkan ocehan Biantara yang terdengar putus asa. “Apa kamu mengingatnya?” Perempuan itu tersenyum kecil seraya menggelengkan kepala. “Kamu merayuku,” kata Biantara cepat-cepat. “Merayumu?” kata perempuan itu terkekeh pelan. “Kamu pasti salah orang. Merayu tidak—" “Tidak ada dalam kamusmu,” lanjut Biantara mengingat ucapan perempuan itu minggu lalu. “Kamu sudah pernah mengatakannya.” “Ah,” balas perempuan itu kembali tersenyum. “Jadi, apa yang Anda inginkan dariku?” “Apa boleh aku mentraktirmu minum?” tanya Biantara kepada perempuan itu. “Aku tidak minum,” ucap perempuan itu dengan santai. Biantara mengernyitkan dahi bingung. “Kamu tidak minum?” tanyanya heran sendiri. Perempuan itu menganggukkan kepala. “Lalu untuk apa kamu datang ke kelab malam, tempat orang-orang biasanya mabuk?” Perempuan itu menunjuk sekitar. “Keramaian. Aku membutuhkannya.” Biantara mengangguk mengerti. Mungkin saja keramaian membuat perempuan ini tenang di dunianya yang mungkin saja sama berantakannya dengan Biantara. “Jadi, apa saat ini kamu sedang mencoba merayuku?” tanya perempuan itu kepada Biantara, seolah sedang menebak maksud Biantara yang bersikap sok akrab kepadanya. “Apa itu berhasil?” Perempuan itu tersenyum kecil seraya menggelengkan kepala. “Sama sekali tidak berhasil.” “Oke,” kata Biantara mengangguk mengerti. “Kalau begitu, aku menyerah untuk merayumu. Bagaimana kalau kita mengobrol saja?” “Aku ke sini bukan untuk mengobrol, Tuan.” “Kalau begitu, kita tidak perlu mengobrol,” kata Biantara segera. “Aku hanya ingin kamu melakukannya lagi kepadaku.” “Melakukan apa?” tanya perempuan itu terdengar bingung. “Apa pun yang kamu lakukan kepadaku Minggu lalu,” jawab Biantara dengan putus asa. “Kamu membuatku bisa tertidur dengan nyenyak tanpa bermimpi buruk. Aku mohon, lakukan lagi. Aku membutuhkan ketenangan dalam hidupku,” tambahnya memohon. “Beberapa bulan ini hidupku sangat berantakan. Tunanganku memutuskan hubungan denganku, yang membuat kami gagal menikah. Keluargaku sendiri penuh dengan orang-orang bodoh. Beban pekerjaanku pun terlalu berat beberapa bulan belakangan. Jadi, aku mohon, lakukan sesuatu untuk meredam semua gemuruh di kepala dan dadaku.” Biantara menatap mata indah milik perempuan itu yang mengenakan lensa kontak berwarna biru. Bahkan hanya dengan menatapnya saja Biantara bisa merasa sedikit tenang. “Bukankah seharusnya kamu pergi ke professional, ke psikiater, untuk menangani masalah dalam hidupmu itu? Aku tidak bisa membantumu menyelesaikan masalahmu.” Biantara menggelengkan kepala. “Aku membutuhkanmu,” ucapnya penuh tekad. “Entah bagaimana, kamu pernah berhasil membuatku baik-baik saja selama beberapa hari. Aku menginginkan itu darimu,” lanjutnya. “Aku membutuhkan itu.” Perempuan di hadapan Biantara hanya diam, mengamati Biantara dengan sorot mata kasihan dan prihatin. “Aku bukan pria berengsek. Aku pun bukan pria aneh. Aku melakukan hal ini karena aku sudah benar-benar putus asa,” ucap Biantara. Untuk meyakinkan perempuan itu, Biantara melepaskan topeng berwarna hitam yang dipakainya, menunjukkan wajahnya kepada perempuan itu berharap perempuan itu dapat mempercayainya. “Kamu bisa mengingat wajahku. Ambil foto, agar kamu bisa melaporkannya ke polisi jika aku melakukan hal buruk kepadamu. Aku—” Ucapan Biantara sontak berhenti ketika menyadari jika perempuan di hadapan Biantara ini tengah membelalakkan mata, menatap Biantara dengan keget. “Apa kamu mengenalku?” tanya Biantara mengamati perubahan ekspresi perempuan itu yang tertutup topeng. Perempuan itu menggelengkan kepala. “Tentu saja tidak. Saya tidak mengenal Anda, Pak,” ucapnya. Perubahan kalimat ke formal yang diucapkan oleh perempuan itu membuat Biantara mengernyitkan dahi bingung. “Ya…, kamu mengenalku,” kata Biantara yakin. “Apa kamu bekerja di perusahaanku? Kamu salah satu pegawaiku? Atau kamu pernah melihatku di suatu tempat? Kita pernah bertemu bukan, di luar sana?” “Saya sama sekali tidak mengenal Anda. Kita tidak pernah bertemu,” kata perempuan itu lagi dengan nada tegas. “Sebaiknya pakai kembali topeng Anda sebelum mereka mengusir Anda dari tempat ini,” tambahnya. “Atau…, jangan pakai kembali topeng Anda agar mereka bisa segera mengusir Anda dari sini,” ralatnya. “Saya permisi dulu.” Setelah mengucapkan itu perempuan tersebut berjalan meninggalkan Biantara menuju lantai dansa di mana banyak orang tengah berjoget di sana. Biantara yakin jika perempuan itu mengenali Biantara. Tapi, apakah Biantara juga mengenali perempuan itu jika tidak mengenakan topengnya? Kini rasa penasaran Biantara terhadap Beauty semakin meroket. Biantara benar-benar ingin menemukan Beauty di luar dunia malam ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN