Enam

1957 Kata
Selasa (20.02), 08 Juni 2021 ------------------- Alan membaca sekali lagi hasil pennyelidikan terhadap Destia yang baru diterimanya. Data-data tersebut membuktikan bahwa Destia tidak berbohong tentang usianya. Selain itu Freddy juga menyertakan riwayat pendidikan Destia yang ternyata merupakan lulusan terbaik di kampusnya. Semua informasi tersebut membuat Alan kembali memikirkan penjelasan Destia tentang alasan kepergiannya dari rumah. Pasti Destia juga berkata jujur mengenai perjodohan yang dirancang Papanya. “Paman tidak pergi keluar hari ini?” Alan mendongak menatap Destia yang sedang mengelap meja dan kursi di ruangannya. Dia tahu bahwa Destia gelisah sedari tadi menunggu Alan keluar agar wanita itu bisa membantu di bar seperti biasa. “Sebentar lagi.” Alan mendesah. “Tolong berhenti memanggilku ‘Paman’. Melihat tingkahmu aku mulai percaya bahwa kau bukan anak berusia tiga belas tahun.” Destia menghentikan kegiatannya lalu menatap Alan dengan tangan dilipat di depan d**a. Bibirnya menyeringai penuh kemenangan. “Aku memang tidak pernah mengatakan bahwa usiaku tiga belas tahun. Kau yang terus-menerus mendesakku agar berkata seperti itu.” “Aku akui, memang itu kesalahanku.” “Tapi aku terlanjur nyaman memanggilmu ‘Paman’.” “Tidak. Aku jadi merasa sangat tua.” “Temanku memiliki seorang Paman yang usianya hanya terpaut lima tahun darinya.” “Baik. Silahkan terus memanggilku ‘Paman’. Sebagai gantinya kau tidak boleh lagi membantu Fajar dan Romi di bar.” Jelas Alan sambil kembali membaca dokumen di hadapannya. Destia terpana. “Jadi, selama ini Paman tahu?” “Tahu apa?” tanya Alan cuek. “Bahwa aku membantu di bar?” Alan mengangkat bahu tidak peduli. Terbersit perasaan tidak suka di hati Destia ketika Alan mengabaikannya seperti itu. “Bagaimana kalau aku panggil ‘Kak’? “Terserah.” “Apa itu artinya aku boleh bekerja di bar?” Perlahan Alan menatap Destia kembali. “Kau suka bekerja di bar?” Destia mengangguk mantap. “Sangat.” “Sepertinya kau tertarik untuk menjadi bartender.” Gumam Alan. “Aku juga bisa mencampur minuman seperti Romi dan Fajar walau tidak sehebat Rafka.” Nama itu lagi. Kali ini Destia tidak bisa menahan rasa penasaran. “Sebenarnya Rafka itu siapa? Aku pernah mendengar nama itu disebut beberapa kali oleh pelanggan atau pegawai di sini.” Alan tampak enggan menjawab tapi lalu memilih untuk menjelaskan. “Rafka dulunya juga pernah bekerja di sini. Dia sahabatku.” Alan mendesah. “Sebenarnya dia yang paling jago mencampur minuman di Fly Club. Bahkan sangat pintar untuk menciptakan perpaduan rasa minuman yang baru. Tapi sayang, dia tidak bisa menjadi bartender karena keberadaannya dianggap lebih menguntungkan untuk pekerjaan lain.” “Pekerjaan apa?” Destia makin tertarik. “Aku tidak ingin membahasnya.” Alan menyudahi. “Berhenti memanggilku ‘Paman’ dan sebagai gantinya kau bebas bekerja di bar.” “Kalau begitu, aku sudah boleh berganti pakaian, Kak Alan?” tanya Destia dengan manis. “Pergilah.” Tanpa disuruh dua kali Destia langsung menuju kamar mandi sambil membawa seragam pelayannya. Setelah berganti pakaian, Destia pamit dan segera keluar dari ruangan Alan. Begitu pintu ruangannya tertutup kembali, Alan langsung menghembuskan nafasnya yang tanpa sadar dia tahan sejak tadi. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Tapi hanya dengan memikirkan bahwa Destia berganti pakaian beberapa meter darinya, bayangan m***m memenuhi otaknya. Alan menangkup wajah dengan kedua tangan. Dia menghela nafas beberapa kali untuk menenangkan diri. Setelahnya Alan mengesampingkan dokumen tentang data diri Destia lalu mulai fokus dengan pekerjaannya. *** Lelaki itu berjalan dengan penuh percaya diri memasuki pintu depan Fly Club. Matanya menyusuri seluruh bagian dalam club itu dengan pandangan menilai. Club yang lumayan berkelas, pikirnya sambil melangkah melewati orang-orang yang lalu lalang. Dia terlihat dingin dan tidak peduli dengan sekitarnya. Namun di balik itu, matanya mengamati satu per satu para pelayan yang mondar-mondir memenuhi pesanan pengunjung. Matanya menyipit kesal setelah hampir sepuluh menit menyusuri seisi club tapi tidak menemukan apa yang dicarinya. Apa orang suruhannya salah memberi informasi? Tapi tidak mungkin. Dia tahu betul orang suruhannya sangat lihai dan tidak mungkin menyampaikan informasi yang tidak jelas keakuratannya. Pikiran dan pandangannya yang tidak fokus membuat lelaki itu menabrak seseorang yang hendak melewatinya. “Oh, maaf.” Sahut orang di hadapannya. Lelaki itu mengernyit tidak suka. Kecerobohan semacam ini selalu membuatnya kesal. Walaupun dia sendiri tidak memperhatikan sekeliling, tapi jika orang di depannya ini memperhatikan langkahnya, tidak mungkin hal kecil semacam ini bisa terjadi. “Lain kali perhatikan langkahmu!” perintah lelaki itu dengan nada dingin. Dia bermaksud segera pergi karena tidak mau berurusan lebih jauh dengan lelaki di hadapannya yang dia anggap sangat ceroboh dan rendahan. “Maaf, tapi kalau Anda tidak melamun di jalan, hal ini juga tidak akan terjadi.” Lelaki itu berhenti. Dia yang semula menolak untuk melihat lebih jelas orang yang bertabrakan dengannya, memilih berbalik untuk memberi peringatan keras terhadap lelaki tadi. Rupanya orang itu belum tahu dengan siapa dirinya berhadapan. Begitu perhatiannya tertuju pada lelaki tadi, dia sudah siap menyemburkan kalimat bernada dinginnya. Namun sebelum yang direncanakannya berhasil terwujud, dia tertegun. Alan? Dia masih hidup? Lelaki itu menelan ludah dengan susah payah. Mati-matian dia berusaha menyembunyikan rasa takut dan khawatir yang mendadak muncul. “Jangan hanya menyalahkan orang lain dan merasa dirimu yang paling benar.” tukas lelaki yang dikenalinya sebagai Alan sebelum berlalu dari hadapannya. Dia masih tertegun di tempat, mengatur nafasnya yang mendadak memburu. Setidaknya dia bisa sedikit tenang karena Alan tidak mengenalinya. Dia sudah berencana untuk segera pergi dari tempat itu namun lagi-lagi langkahnya terhenti dengan pandangan tertuju ke balik meja counter bar. Orang yang dicarinya ada di sana. Sibuk melayani pengunjung dengan senyum manisnya. Kali ini lelaki itu ragu hendak menjumpai orang yang dicarinya. Keinginan terbesarnya adalah pergi dari tempat itu dan menghindari Alan. Lelaki itu memberanikan diri menoleh ke arah perginya Alan. Sepertinya lelaki yang dia takuti itu menuju pintu depan. Setelah menimbang-nimbang keputusannya sekali lagi, akhirnya dia memilih menghampiri wanita yang dicarinya. *** Saat ini Destia sudah bisa mencampur beberapa minuman yang pembuatannya cukup mudah. Namun dirinya belum percaya diri untuk menyajikan minuman racikannya kepada pengunjung. “Destia? Sedang apa kau di sini?” Destia langsung mengalihkan perhatiannya ke sumber suara. Seketika matanya berbinar dengan senyum merekah. “Diaz?” pekik Destia memastikan. “Iya, ini aku.” Lelaki yang dipanggil Diaz mengangguk. Dengan gembira Destia langsung merangkul leher Diaz walau jarak mereka terhalang meja counter. Lelaki itu adalah sahabatnya sejak sekolah menengah pertama. Bahkan Destia sudah menganggap Diaz sebagai saudaranya sendiri. “Kau belum menjawab pertanyaanku. Sedang apa di sini?” Diaz mengulang pertanyaannya. “Sekarang aku sudah punya pekerjaan.” Pamer Destia pada Diaz. “Di club?” “Memangnya kenapa?” “Kenapa tidak bekerja di perusahaan Papamu?” Destia mendesah. “Kau seperti tidak tahu Papa saja. Mana mungkin dia mengizinkanku bekerja?” “Om Indra terlalu menyayangimu. Itu sebabnya dia melarangmu bekerja.” Hibur Diaz. “Pacarmu, Des?” bisik Romi. Destia terkikik geli. “Bukan. Dia saudaraku.” Jelas Destia sambil mengacak rambut Diaz yang tertata rapi. Diaz merengut kesal sambil menyingkirkan jemari Destia lalu merapikan rambutnya kembali. “Sejak kapan kita bersaudara?” “Sejak kita saling kenal.” Destia beralih pada Romi yang menatapnya bingung. “Diaz ini sahabatku sejak SMP yang sudah kuanggap seperti saudara. Dan Diaz, Romi ini rekan kerja sekaligus guru yang mengajariku meracik minuman.” Destia memperkenalkan mereka. “Des, kau mengabaikanku.” Protes Fajar. Destia terkekeh. “Diaz, di sana juga ada Fajar. Dia juga rekan sekaligus guruku. Tapi aku lebih sering belajar bersama Romi karena di luar jam kerja Fajar lebih sibuk dengan pacar-pacarnya yang sering gonta-ganti.” “Haruskah kau menjelaskan itu semua, Des?” Fajar kembali protes. “Tentu saja harus.” Tukas Destia membuat Fajar merengut sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya. “Sudah berapa lama kau bekerja di sini?” Diaz bertanya. “Sudah lebih dari seminggu.” Jelas Destia. “Jangan bilang karena terlalu sibuk dengan pekerjaanmu kau jadi tidak bisa dihubungi. Seminggu ini aku sudah berusaha menghubungimu tapi tidak pernah tersambung.” “Aku meninggalkan ponselku di rumah. Jadi aku tidak bisa menerima telepon dari siapapun.” Alis Diaz bertaut dengan bingung. “Memangnya kau sama sekali tidak pulang?” Destia mendekatkan tubuh pada Diaz lalu berbisik. “Nanti kuceritakan.” Diaz mengangguk lalu menyesap minumannya. Tentu saja Destia tidak tahu bahwa perbuatannya selalu berhasil membuat Diaz menegang. Bisa dibilang, selama ini Destia selalu menempel pada Diaz karena menganggap lelaki itu adalah saudara. Namun berbeda dengan Diaz yang ternyata memendam hasrat seksual pada Destia.   “Kak Alan?” Nyaris saja Diaz menyemburkan minumannya ketika mendengar pekikan Destia. Jantungnya kembali berdegup kencang, terutama ketika seseorang duduk di kursi sebelahnya. “Alan, kau mau minum apa?” tanya Romi di sela kegiatannya mengocok minuman. “Black Russian.” Ucap Alan lalu menoleh ke arah Destia. “Bagaimana pekerjaanmu?” “Di sini sangat menyenangkan.” Jelas Destia dengan bersemangat. “Seingatku tadi Pam—Kakak bilang juga bisa mencampur minuman,” Destia nyengir karena nyaris salah ucap. “Kenapa tidak meracik sendiri minuman yang Kakak pesan?” “Aku duduk di sini sebagai pelanggan. Bukan bartender.” “Sayang sekali. Padahal aku ingin melihat Kak Alan meracik minuman.” Jelas Destia bersemangat. “Aku sedang tidak ingin membuat pertunjukan. Kalau kau mau belajar, besok siang akan kuajari.” Destia melonjak girang. Sementara itu, Diaz cepat-cepat menghabiskan minumannya. Dia tidak bisa mengambil resiko berada di dekat Alan lebih lama. Alan tidak boleh sampai mengenalinya. Setidaknya sampai ia memiliki sebuah rencana. “Des, sebaiknya aku pergi sekarang.” Ujar Diaz. “Kenapa?” Destia tampak kecewa. “Kau baru saja sampai.” Diaz tersenyum karena Destia seperti tidak rela jika dirinya pergi, sedangkan Alan mengernyit tidak suka karena Destia menahan kepergian seorang lelaki. “Bukankah kau lelaki yang tadi?” tanya Alan sambil menunjuk Diaz. Terpaksa Diaz menoleh ke arah Alan lalu mengangguk singkat. Hebatnya walau hati Diaz saat ini sedang dilanda perasaan cemas, dia masih tetap bisa menyembunyikan hal itu di balik topeng dinginnya. “Kalian sudah saling kenal?” Destia menatap Alan dan Diaz bergantian. “Kami tidak sengaja bertemu beberapa menit yang lalu.” Jelas Alan singkat sambil menyesap minuman yang di sodorkan Romi. “Bertemu bagaimana? Kalian punya urusan bisnis?” tanya Destia lagi. “Kami tidak sengaja bertubrukan tadi.” Kali ini Diaz yang menjelaskan karena Alan memilih diam. Pertemuan pertama mereka langsung membuat penilaian Alan terhadap lelaki di sebelahnya sedikit buruk. Karena itu dirinya enggan untuk berbasa-basi dengan lelaki yang masih duduk di kursi sebelahnya. Sedangkan Diaz juga merasa enggan untuk berlama-lama di dekat Alan. Namun entah karena Destia terlalu cuek dengan suasana tegang di antara kedua lelaki itu atau memang tidak menyadarinya, wanita itu malah berucap dengan semangat. “Karena kalian sudah pernah bertemu, sebaiknya aku perkenalkan saja.” Destia menoleh kepada Diaz. “Diaz, kenalkan ini Alan. Dia pemilik club ini dan yang selalu membantuku selama di sini.” Lalu Destia menoleh pada Alan. “Kak, ini sahabatku Diaz. Tapi aku sudah menganggapnya sebagai saudara. Kami teman seangkatan sejak SMP.” Alan mengangguk singkat pada Diaz untuk menghargai usaha Destia memperkenalkan mereka lalu kembali menyesap minumannya. Diaz sendiri berpura-pura tidak melihat ke arah Alan. Perhatiannya tertuju pada Destia seraya berdiri. “Aku benar-benar harus pergi sekarang, Des.” Sekali lagi Diaz pamit. “Berjanji dulu kau akan kembali besok.” Diaz tersenyum. Selalu seperti ini. Dia tidak pernah bisa mempertahankan topeng dinginnya di depan Destia. “Tentu saja, Manis.” Seperti yang biasa dilakukannya, Diaz menangkup pipi Destia lalu mencium kening wanita itu. Sesudahnya lelaki itu berbalik lalu berjalan menjauh diiringi lambaian tangan Destia. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena bisa berjumpa dengan sahabat yang sangat disayanginya itu. Namun tanpa dia sadari, Alan mencengkeram gelas di tangannya dengan hati panas melihat kemesraan mereka.  -------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN