Selasa (20.05), 08 Juni 2021
----------------------
Diaz berjalan mondar-mandir dengan gelisah di ruang tengah apartemennya. Otaknya terus memutar rekaman pertemuannya dengan Alan. Mungkin saja dirinya salah mengenali orang. Apalagi Diaz hanya mengenali wajah Alan Rayyandra dari foto-fotonya.
Mendadak lelaki yang juga memiliki nama belakang Rayyandra itu berhenti. Dia memukul kening karena menyadari kebodohannya.
Kenapa dia harus takut Alan mengenalinya?
Terakhir kali Alan Rayyandra tinggal di rumah besar keluarga Rayyandra ketika usia Diaz masih tiga tahun. Dirinya hanya mengingat samar wajah remaja bernama Alan yang pernah tinggal di rumah itu. Dari cerita orang tuanya lah Diaz baru mengetahui tentang seorang Alan Rayyandra. Selain itu, foto-foto Alan di rumah itu masih terpajang rapi dan terawat.
Awalnya Diaz tidak memendam kebencian dan rasa takut terhadap orang bernama Alan. Bahkan ada kenangan-kenangan manis akan kebersamaannya bersama Alan. Dalam ingatan Diaz, Alan adalah kakak yang selalu menemaninya bermain. Diaz sangat manja pada remaja itu. Dia juga masih ingat pernah menangis seharian karena hilangnya Alan.
Namun layaknya bocah tiga tahun pada umumnya, perhatian Diaz mudah teralihkan. Perlahan dia tidak lagi memikirkan dan merindukan seorang Alan Rayyandra.
Sampai suatu ketika, Diaz harus mendengar rahasia yang disimpan rapat kedua orang tuanya. Selain itu, hasutan orang tuanya juga berhasil membuat kebencian Diaz akan sosok Alan timbul.
Jemari Diaz mengepal kuat. Dia harus segera memberitahu hal ini pada kedua orang tuanya. Jangan sampai orang-orang itu berhasil menemukan keberadaan Alan Rayyandra lebih dulu sebelum Diaz dan orang tuanya memiliki rencana. Kalau tidak, apa yang selama ini mereka perjuangkan akan hancur tak tersisa.
***
“Kak Alan, bisa kita belajar sekarang?” tanpa permisi Destia masuk ke kamar Alan yang tidak pernah terkunci. Tapi mendadak langkahnya terhenti. Wanita itu segera berbalik dengan wajah memerah malu. “Aku akan tunggu di luar.” Gumam Destia seraya keluar dari kamar Alan.
Alan yang baru keluar kamar mandi dengan selembar handuk melilit pinggang, hanya bisa menggeleng pelan akan tingkah Destia. Tingkah wanita itu benar-benar masih seperti anak kecil. Wajar saja kalau Alan tidak percaya akan usia Destia sebenarnya karena tingkah dan wajah wanita itu.
Alan tidak bisa membayangkan kalau seandainya Destia tidak bertemu dengannya ketika mabuk di Fly Club dan malah pergi bersama lelaki hidung belang yang tidak segan-segan memanfaatkannya.
Yah, bukan berarti Alan sendiri adalah orang suci. Masa lalunya jelas menunjukkan bahwa dia bukan lelaki yang baik. Tapi setidaknya Alan tidak akan memanfaatkan seseorang yang membutuhkan bantuannya. Selama Alan mampu, dia akan berusaha berbuat baik pada orang lain. Anggap saja itu sebagai penebusan dosa-dosanya selama menjadi gigolo untuk mengurangi hukumannya di neraka kelak.
Alan mengeringkan rambutnya yang basah sambil meringis. Pikirannya tentang surga dan neraka membuat Alan teringat kakek dan neneknya. Wajahnya berubah sendu. Ada perasaan sedih yang begitu menyayat hati Alan ketika mengingat bahwa dirinya tidak bisa mengikuti amanat kakek dan neneknya. Kehidupan kelamnya sepeninggal kedua orang tua yang telah mengasuh Alan itu memaksa dirinya masuk ke dunia malam.
Buru-buru Alan menghapus air mata yang dirasakannya jatuh membasahi pipi. Segera dia menuju lemari untuk menyibukkan diri agar kenangan pahit akan masa lalunya tidak menyeruak kembali.
Lima menit kemudian Alan telah selesai berpakaian dan sedang menuju ruang makan. Seperti sudah menjadi kebiasaan, Destia telah menunggunya dengan hidangan tersaji di meja.
Sebuah perasaan aneh menggelitik hati Alan. Ada rasa senang yang tidak bisa Alan jabarkan tiap Destia menyiapkan makanan untuknya, terutama ketika wanita itu dengan cekatan mengambilkan makanan ke atas piring Alan. Rasanya seperti Alan memiki.....istri?
Segera Alan mengenyahkan pikiran itu seraya duduk di samping Destia. Pikiran itu muncul pasti akibat Alan sering makan bersama keluarga Rafka dan Freddy. Dia sering iri melihat kedua lelaki itu dilayani dengan telaten oleh istri-istri mereka. Biasanya Alan hanya bisa memprotes karena hanya dirinya yang harus menyendok makanan sendiri. Tapi akibatnya, kedua lelaki itu malah membully dirinya habis-habisan.
“Kak?”
“Hah? Apa?” tanya Alan bingung karena Destia memanggilnya dengan suara keras bahkan sampai mengguncang bahunya.
Destia merengut. “Dari tadi aku bertanya, kau akan mengajariku membuat minuman apa hari ini? Aku sudah mengulang pertanyaan itu sebanyak tiga kali.”
Alan meringis mendengar nada kesal Destia. “Minuman kesukaanku adalah Black Russian. Aku akan mengajarimu membuat minuman itu. Cara membuatnya sangat mudah.”
“Dari namanya terdengar sangat sulit untuk membuatnya.”
“Kau terkecoh hanya karena nama. Bahkan tidak diperlukan pengocok koktail untuk membuatnya. Kita hanya perlu es batu, liqueur kahlua dan vodka.” Jelas Alan sambil mulai menyantap sarapan siangnya. Bekerja di kelab malam membuat Alan tidak pernah bangun pagi hingga sarapannya pasti tengah hari.
“Kalau vodka aku sudah tahu. Tapi apa itu liqu—“ Destia menggaruk pelipisnya untuk mengingat.
“Habiskan dulu sarapanmu. Kita bahas hal itu nanti.”
Destia menurut. Dia menyuap sesendok nasi lalu kembali bertanya. “Dimana kita belajar? Aku sama sekali tidak melihat peralatan bartender di rumah ini. Apa kita akan ke Fly Club?”
Alan menoleh lalu menatap tajam Destia. “Kau bisa tersedak kalau terus berbicara sambil makan.”
“Aku bicara setelah menelan makanan.” Destia ngotot.
“Kalau sudah seperti ini kau persis anak umur tiga belas tahun. Aku jadi menyesal sudah mempercayai usiamu sebenarnya.”
“Kalau Kakak kembali yakin bahwa usiaku tiga belas tahun, dengan senang hati aku akan memanggilmu ‘Paman’ lagi.” Ujar Destia sambil memasang senyum manisnya.
Alan menggeram sambil melotot ke arah Destia.
“Kakak, kau jadi terdengar seperti macan dimusim kawin.”
“Kau—”
“Jangan bicara di saat makan. Nanti kau tersedak.” Ujar Destia santai lalu fokus pada makanannya. Dengan sengaja mengabaikan wajah Alan yang memerah kesal.
***
Malam minggu yang sibuk di Fly Club membuat Destia harus turun tangan untuk membantu mengantar minuman. Walaupun tubuhnya pendek, namun gerakannya sangat lincah menyeruak lautan manusia.
Ketika sedang sibuk mengantar pesanan, seseorang menepuk bahu Destia. Kegembiraan langsung terpancar dari wajah wanita itu ketika melihat sahabatnya datang memenuhi janji.
“Kukira kau tidak akan datang.” Jelas Destia girang sambil memeluk Diaz.
“Kapan aku pernah ingkar janji padamu.” Diaz tersenyum seraya membalas pelukan Destia dan mengecup keningnya.
Di luar dugaan Destia malah menggeliat menjauh dari pelukan Diaz, membuat lelaki itu kecewa. Tapi penjelasan Destia selanjutnya berhasil membuat tawa Diaz pecah.
“Jangan terlalu dekat denganku. Badanku bau keringat.”
“Pantas saja tadi aku mencium bau kecut.”
Tanpa peringatan Destia langsung memukul lengan atas Diaz dengan kepalan tangannya. “Ah, kau ini sangat menyebalkan.” Gerutu Destia sambil berjalan kembali ke bar untuk mengantar pesanan yang lain.
“Kalau kau meninggalkanlku, sebaiknya aku pulang saja.” Diaz sengaja berkata demikian untuk melihat reaksi Destia.
Destia berhenti. Dia kembali ke tempat Diaz masih berdiri hingga membuat sudut bibir lelaki terangkat membentuk senyum tertahan.
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi sebelum kau mencoba minuman buatanku. Jadi, silahkan pilih tempat duduk. Kursi di depan meja counter bar sudah penuh.” Ujar Destia sambil merangkul lengan Diaz.
“Tidak masalah walau aku harus berdiri, asalkan bisa melihatmu membuat minuman.”
“Baguslah, ayo cepat!” Destia menarik lengan Diaz agar mengikutinya.
Sesampainya di meja bar, Destia segera membuatkan minuman untuk Diaz sedangkan lelaki itu menunggu sambil berdiri.
“Ini minuman pertama yang berhasil kubuat tanpa gagal. Jadi aku berani membuatkannya untuk tamu.” Jelas Destia dengan bangga.
“Minuman apa itu?” tanya Diaz tertarik.
“Black Russian.”
Ingatan Diaz melayang ke pertemuannya dengan Destia kemarin malam. Saat itu Alan juga memesan Black Russian dan berjanji akan mengajari Destia membuat minuman siang tadi.
“Apa Alan yang mengajarimu?” tanya Diaz dengan pandangan melekat pada jemari mungil Destia yang sedang mencampur minuman.
“Bagaimana kau tahu?”
“Kemarin Alan bilang akan mengajarimu.”
“Iya, Kak Alan yang mengajariku. Sekarang cobalah!” perintah Destia sambil menyerahkan minuman itu kepada Diaz.
Lelaki itu menerimanya dengan enggan tapi berusaha untuk tidak menunjukkannya pada Destia. Memikirkan Destia menghabiskan waktu dengan Alan—walau jelas untuk belajar—sungguh membuat Diaz kesal.
“Dimana kalian belajar?” selidik Diaz tapi berusaha bersikap acuh.
“Di sini.”
“Di sini? Siang tadi? Apa club ini buka dua puluh empat jam?”
“Aku kan sudah memberitahumu bahwa Kak Alan pemilik club ini. Tentu saja dia bisa masuk kapan pun tanpa perlu izn.” Lalu Destia melanjutkan sambil menunjuk gelas di tangan Diaz. “Bagaimana rasanya?”
Kekesalan Diaz berubah menjadi kemarahan yang berusaha ditutupinya. Diaz menenggak minuman itu yang mendadak terasa hambar. “Enak.” Ungkapnya bohong. “Jadi kalian hanya berdua di sini?” kali ini Diaz sedikit menunjukkan kemarahannya. “Destia, tidak peduli bahwa Alan sudah sering membantumu. Tapi dia tetap seorang lelaki. Jika kau memberinya kesempatan, bukan mustahil dia akan berbuat macam-macam padamu.”
Destia melirik kanan kirinya untuk memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan mereka. Bagaimanapun Alan adalah pemilik club itu. Pasti akan ada pegawai atau pengunjung yang tersinggung jika mendengar Alan dijelek-jelekkan.
“Meja di sebelah sana kosong. Sebaiknya kita bicara di sana saja.” Destia menoleh pada Fajar lalu berbicara sedikit keras untuk mengalahkan suara musik. “Fajar, aku akan mengantar Diaz mencari tempat duduk. Sebentar lagi aku kembali.”
Si bartender hanya mengangguk singkat. Kembali Destia merangkul lengan Diaz lalu sedikit menyeret lelaki itu agar mengikuti langkahnya.
“Duduk di sini!” perintah Destia. Setelah Diaz duduk, barulah Destia duduk di kursi sebelahnya. “Dengar, kak Alan adalah lelaki yang baik. Bahkan sejak aku kabur dari rumah, dia yang memberiku tempat tinggal.”
“Jangan bilang kalau dia menawarimu tinggal di rumahnya.” Mata Diaz berkilat marah.
“Memang. Tapi buktinya sudah hampir dua minggu aku tinggal bersamanya, dia tidak pernah berbuat macam-macam.”
“Mungkin dia tidak melakukan apa-apa padamu ketika kau sadar. Tapi bagaimana kau tahu apa yang dilakukannya ketika kau sedang tidur?”
Mendadak wajah Destia memerah. Walau Diaz tidak bisa melihat perubahan wajah Destia karena suasana club yang sedikit remang, tapi dia bisa membaca dari sikap tubuh wanita itu. Cara Destia yang memalingkan muka dari Diaz sambil menggigit bibirnya pelan, jelas menunjukkan kalau wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu.
Dengan kasar Diaz meraih dagu Destia lalu menghadapkan wajah wanita itu kembali padanya. “Apa yang kau sembunyikan? Apa benar dugaanku bahwa dia telah berbuat sesuatu yang tidak sopan padamu?”
“Bukan Kak Alan yang berbuat tidak sopan. Tapi aku.”
Diaz mengerutkan kening dengan bingung. Jemarinya masih menahan dagu Destia. “Aku tidak mengerti.”
“Aku mencium bibir Kak Alan ketika dia tidur.”
Walau suara Destia begitu lirih, tapi Diaz bisa mendengarnya dengan jelas. Dengan kemarahan yang telah mencapai ubun-ubun, Diaz menjauhkan jemarinya dari Destia lalu meneguk minumannya seperti dia kehausan.
“Des, aku mencarimu dari tadi. Fajar bilang butuh bantuanmu untuk mengantar minuman.”
Destia mendongak menatap Alan yang kini sudah berdiri di dekatnya. Dia mengangguk singkat lalu kembali menoleh pada Diaz yang kini juga sedang menatapnya. Destia melotot pada sahabatnya itu dengan pandangan yang seolah berkata “Awas kau mengatakan yang tadi pada Alan."
Alan menatap kedua orang yang seperti berkomunikasi dengan mata itu dengan kemarahan yang aneh dalam hatinya. Sebenarnya Alan sudah memperhatikan mereka dari ruangannya di lantai dua sejak Diaz datang. Kedua orang itu terlihat serasi. Tapi entah mengapa kenyataan itu membangkitkan perasaan aneh yang sejak kemarin dirasakan Alan.
Begitu Destia pergi, Alan duduk di kursi seberang Diaz. Sengaja dia menjadikan meja sebagai pembatas antara mereka karena Alan merasakan keinginan yang tidak masuk akal untuk menghajar lelaki dihadapannya itu. Dan tampaknya Diaz juga merasa begitu jika dilihat dari raut wajahnya yang tidak bersahabat.
“Sepertinya kau akan menjadi pelanggan tetap di sini.” Ujar Alan basa-basi.
“Hanya selama Destia bekerja di sini.” Jelas Diaz dengan dingin.
“Apa kau menyukai Destia?” Alan sengaja bertanya dengan nada menantang Diaz untuk mengakui perasaannya.
“Kalau iya, kenapa?” Diaz membalas sorot tajam Alan.
Mereka saling pandang selama beberapa saat lalu mendadak Alan tertawa keras. “Kau jadi terlihat seperti anak kecil yang takut mainan kesayangannya direbut.” Alan kembali terdiam sambil menggaruk pelipisnya seperti berpikir. “Dan itu membuatku teringat pada adik kecilku dulu yang juga bernama Diaz. Aku sering menggodanya dengan mengambil mainannya. Bukannya menangis, dia pasti akan memukuliku dengan marah. Tapi setelahnya kami akan tertawa-tawa bersama.” Mata Alan yang semula menerawang kembali menatap Diaz. “Kalau boleh aku tahu, siapa nama lengkapmu?”
Keringat dingin mulai membasahi punggung Diaz. Sengaja dia berlama-lama menyesap minumannya sambil memikirkan sebuah nama untuk diberitahukan pada Alan. Selama Alan tidak mengkonfirmasi nama tersebut pada Destia, Diaz tidak perlu khawatir kebohongannya terbongkar.
Namun sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak pada Diaz. Belum sempat dia mengucapkan satu nama pun, mendadak Alan bangkit sambil melihat ke belakang Diaz.
“Apa-apaan itu?” geram Alan sambil berjalan menuju tempat yang diperhatikannya.
Dengan penasaran Diaz mengikuti arah perginya Alan yang rupanya sedang terjadi keributan. Kedua lelaki itu menyeruak kerumunan orang yang sedang mengelilingi sesuatu.
Begitu keduanya berhasil melihat apa yang menjadi objek perhatian pengunjung club, mereka tertegun lalu berkata bersamaan dengan suara lantang.
“Destia!”
Rupanya gadis itu sedang bergulat dengan salah satu pengunjung lelaki. Pertarungan tersebut terlihat tidak seimbang karena tubuh Destia kecil sedangkan lawannya tinggi dan berotot. Tapi ternyata hal itu bukan masalah bagi Destia karena sekarang wanita itu sedang duduk mengangkang di atas perut lawannya sambil menghantamkan tinjunya yang mengandalkan buku-buku jari ke wajah lelaki di bawahnya.
Bukannya melerai, para pengunjung malah bersorak memberi semangat. Barulah ketika para pelayan yang sedari tadi sibuk bekerja datang, kedua orang itu berusaha dijauhkan.
Alan yang mulai sadar dari rasa terkejutnya segera menghampiri lelaki berotot yang masih meronta-ronta ketika dipegang para pelayan Fly Club sambil memaki Destia. Sedangkan Diaz segera menghampiri Destia yang juga masih menatap marah pada lelaki yang menjadi lawannya.
“Aku tidak terima ini. Panggilkan pemilik club sekarang!” teriak lelaki berotot itu dengan marah.
“Aku pemilik club.” Sahut Alan dengan tenang.
“Lihat pegawaimu itu! Berani-beraninya dia menghajarku! Bagaimana bisa kau mempekerjakan orang barbar seperti dia!” lelaki itu berteriak sambil menunjuk ke arah Destia.
“Aku juga tidak sudi mengotori tanganku untuk menghajarmu seandainya kau tidak meremas bokongku!”
“Dasar p*****r! Tidak perlu sok suci di sini. Aku tahu semua pegawai di sini mantan p*****r karena aku sudah menjadi pelanggan sejak Maya masih hidup.”
Kesalahan besar. Yang semula lelaki berotot itu hanya melecehkan Destia, kini dalam kemarahannya dia malah menghina seluruh pegawai di Fly Club. Alan bisa melihat rekan-rekannya mulai berang dan sangat ingin turut menghajar lelaki itu.
“Tolong antar pelanggan kita ini keluar!” perintah Alan yang mendapat tatapan dan sorak kecewa dari pegawai dan pengunjung Fly Club. Tapi lalu dia menambahkan, “Setelah ini aku akan menghubungi Freddy.”
Hanya para pegawai yang mengerti maksud ucapan Alan. Akhirnya mereka bisa tersenyum puas. Kalau hanya dipukuli, lelaki itu bisa sembuh setelah beberapa minggu. Tapi kalau Freddy ikut turun tangan, dia bisa membuat orang itu dipenjara cukup lama dan membayar denda yang tidak sedikit.
Dua pegawai yang sedang menahan lelaki berotot itu segera menyeretnya dengan kasar. Setelah lelaki tadi keluar, semua pengunjung kembali ke urusannya masing-masing.
“Kalian kembalilah bekerja! Biar aku yang mengurus Destia.” Perintah Alan pada para pegawainya yang masih menatap Destia cemas.
“Sebaiknya aku membawamu ke rumah sakit.” Ucap Diaz sambil membopong Destia di depan tubuhnya secara tiba-tiba hingga wanita itu tidak sempat menolak.
“Kau berlebihan. Cepat turunkan aku! Aku masih bisa berjalan.” Pinta Destia sambil memukul bahu Diaz.
“Sebaiknya bawa dia ke lantai dua. Ada ruang bersantai di sana.” Ujar Alan dari balik bahu mereka.
Sekilas Destia menatap Alan dengan kecewa karena lelaki itu hanya mengikuti langkah Diaz dengan tenang dari belakang sambil sesekali memberi arahan menuju ruang bersantai. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat cemas.
Di ruang bersantai, Diaz mendudukkan tubuh Destia di sofa sedangkan Alan pergi mengambil kotak obat.
“Kau yakin tidak perlu ke rumah sakit?” tanya Diaz khawatir.
“Sudah kubilang kau berlebihan. Apa kau tidak lihat tadi bahwa lelaki b******n itu yang babak belur?” ujar Destia bangga.
“Dasar bodoh! Kenapa kau menghajarnya sendiri? Kau hanya perlu berteriak minta tolong biar orang lain yang menghajar si b******k itu.” Diaz mengamati wajah Destia yang terdapat beberapa bekas pukulan kemerahan dan sudut bibirnya yang terluka. “Aku ingin sekali menghabisi lelaki b******k itu.”
“Sudahlah, lupakan. Toh aku baik-baik saja.”
Selalu seperti itu. Diaz tersenyum karena Destia yang dikenalnya memang tidak akan pernah menunjukkan bahwa dirinya lemah. Walau jelas sedang sakit—baik fisik maupun batin—wanita itu akan tetap bilang bahwa dirinya baik-baik saja.
Mereka tidak berbicara lagi karena Alan datang sambil membawa kotak obat. Tanpa permisi Diaz mengambil kotak itu dari tangan Alan. Dia tidak akan membiarkan Alan menyentuh Destia.
Alan sendiri menyadari sikap Diaz tapi memilih mengabaikan hal itu dan memusatkan perhatian pada Destia. Bukannya dia tidak khawatir. Tapi melihat Diaz yang tampak lebih cekatan menolong Destia membuat Alan sedikit tidak percaya diri. Mungkin kehadiran Diaz lah yang memang dibutuhkan Destia.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Alan dengan tenang.
“Seluruh tubuhku rasanya remuk.” Jelas Destia dengan suara lemah. Dia sangat tidak suka ketika Alan hanya melihatnya dengan tenang.
Penjelasan singkat Destia rupanya memberi efek yang sangat buruk pada Diaz. Di depannya Destia bilang baik-baik saja namun di depan Alan wanita itu malah berkata sebaliknya, seolah dengan sengaja berusaha mendapat perhatian Alan.
“Kalau kau tidak mau ke rumah sakit, aku akan mengantarmu pulang.” Putus Diaz sambil berdiri.
“Diaz, aku tidak mau pulang sekarang dan kembali bertengkar dengan Papa.”
“Kalau begitu kau harus pindah ke apartemenku!” bentak Diaz.
“Tidak mau! Percuma aku kabur kalau hanya ke apartemenmu. Papa pasti akan menemukanku.” Destia beralasan padahal sebenarnya dia tidak mau pindah dari rumah Alan. Sesekali dia melirik Alan yang masih berdiri tenang memperhatikan perdebatannya dengan Diaz. Wanita itu semakin kesal karena Alan sama sekali tidak mencoba melarang Diaz untuk membawanya.
Diaz masih memiliki seribu pernyataan yang bisa dia lontarkan untuk membujuk Destia. Namun kenyataan bahwa Destia hanya beralasan agar bisa tinggal lebih lama bersama Alan telah menyakiti hati Diaz begitu dalam. Akhirnya tanpa permisi lelaki itu berbalik meninggalkan Alan dan Destia.
Sepeninggal Diaz, ruangan itu menjadi hening. Butuh waktu beberapa saat bagi Destia untuk mencari bahan pembicaraan.
“Sepertinya aku ingin istirahat di rumah saja.” Akhirnya Destia berkata.
“Baiklah, tunggu aku di depan. Aku akan membereskan kotak obat ini dulu.” Ujar Alan.
“Tapi mendadak kakiku terasa lemas. Jangankan berjalan, aku bahkan tidak yakin sanggup berdiri sendiri.” Jelas Destia dengan suara lemah.
“Tadi kau bilang pada Diaz bisa berjalan sendiri.”
Destia menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah malu. “Iya, tadi aku merasa baik-baik saja. Tapi sekarang.....” Destia tidak melanjutkan dan malah menaikkan kakinya ke sofa, bersiap membaringkan tubuhnya. “Maaf, merepotkan. Aku akan tidur di sini saja untuk sementara.”
Sebelum kepala Destia menyentuh sofa, Alan telah menyusupkan kedua tangannya di belakang lutut dan punggung wanita itu lalu membopongnya. Sambil berpura-pura lemah, Destia menyandarkan kepala di sisi leher Alan sementara sorak kemenangan bergemuruh dalam hatinya.
---------------------
♥ Aya Emily ♥