Pelukan Yang Salah

1412 Kata
“Kau lihat sendiri, kan, Ma? Reigan, Dia bukan manusia! Bisa saja dia berubah jadi tidak waras sejak istrinya meninggal!” Maudy tampak berpikir keras. Tapi Gladys tak peduli apa pun yang ada di kepala ibunya. Yang dia inginkan hanya satu, Maudy menghentikan segala upaya mereka masuk ke kehidupan Reigan. Kekuasaan dan kekayaan bisa pergi ke neraka; dia sudah tak sanggup lagi. “Ma, kenapa diam saja? Jangan bilang kau sedang menyusun rencana gila lagi!” “Tenanglah! Mama sedang berpikir, mencari jalan untukmu,” ujar Maudy, masih serius. Gladys mengusap wajahnya, frustrasi. “Kumohon... hentikan.” “Baik. Sekarang Mama tahu, bagaimana caranya agar kau bisa menikah dengan Reigan, Sayang.” “Oh, Gosh! Tolong, Ma. Jangan mulai lagi.” “Mama yakin kali ini berhasil. Kau hanya perlu lakukan yang Mama perintahkan.” Gladys sudah terlalu sering menuruti Maudy. Tapi hasilnya? Tak satu pun berhasil. “Aku lelah. Kenapa Mama sendiri saja yang menikah dengan Reigan?!” “Gladys! Kau mau ke mana, hah?!” “Aku ada janji.” Gladys melangkah pergi tanpa menoleh. “Jangan bilang kau pergi menemui pria berandal itu! Berhenti dan jauhi dia!” Langkah Gladys terhenti. Dia menarik napas malas. Percuma. Bahkan jika dia tidak pergi, keadaan takkan berubah. Dia butuh ruang untuk bernapas, meski hanya sebentar. “Kembali ke kamarmu sekarang!” Gladys mengepalkan tangan. Dia sudah mengambil keputusan. Apa pun yang terjadi, dia harus pergi. “Maaf.” Gadis itu berlari keluar rumah. Maudy mengejar, namun gagal menghentikannya. “Gladys! Kau akan menyesal!” Maudy mengangkat ponsel dan menelepon seseorang. “Aku punya permintaan. Kali ini, aku harap kau tidak menolaknya, Tuan Mark.” ** Reigan masih memeluk Baby. Hangat. Rasanya mengingatkannya pada saat-saat bersama Callista. Tapi ini gila. Dia tak boleh menyamakan Baby dengan Callista. Mereka dua orang yang berbeda. Pelan-pelan, dia melepaskan pelukan dan menyeka air mata yang sempat menetes. Untung saja Baby tak melihatnya. “Terima kasih,” ujar Baby lirih. Ia merasa tak nyaman. Tindakan Reigan yang tiba-tiba memeluknya membuatnya terkejut. Tapi... pelukan itu berarti. Baby menyukainya. “Katakan apa yang ingin kau tanyakan.” Baby tersadar. Ini bukan saatnya melamun. “Baiklah. Aku ingin bertanya sesuatu.” “Silakan.” Reigan menyesap kopi buatan Baby. “Kenapa kau menolongku, Rei? Jujur saja, apa kau hanya kasihan padaku?” Tatapan Reigan mengarah padanya. Baby tampak ragu. “Itu sangat mengganggumu?” tanya Reigan tenang. “Iya. Aku selalu bertanya-tanya, mengapa kau menolongku sejauh ini? Aku berterima kasih karena kau menolongku saat aku pingsan, tapi kau memberiku lebih dari itu. Aku bingung, aku tak tahu bagaimana harus membalasnya nanti.” Reigan sendiri tak tahu alasan pasti kenapa dia menolong Baby. Dia hanya mengikuti suara hatinya. “Aku sudah bilang, aku hanya ingin menolong.” “Tapi...” Baby tetap heran. Apa mungkin Reigan memang tulus? “Kenapa? Kau mencurigaiku?” ujar Reigan sambil meletakkan cangkir kopi ke meja. “Kau pikir aku berniat buruk padamu?” “Bu-bukan! Maksudku bukan begitu, Rei.” “Lantas? Kalau begitu, tak perlu penasaran. Aku menolongmu karena kau pingsan di depan rumahku dan tak ingat apa pun. Gadis sepertimu akan mudah dimanfaatkan. Tapi kau tenang saja. Aku tak pernah berniat menyakitimu.” Kata-kata itu membuat Baby berhenti ragu. Mungkin ini memang anugerah dari Tuhan setelah semua kesialan yang menimpanya. Untung ada Reigan. Jika tidak... mungkin dia sudah jadi mangsa orang jahat. “Terima kasih banyak... aku benar-benar tak tahu harus membalas bagaimana. Rasanya aku berutang besar padamu.” “Aku tak menganggapmu berutang. Aku hanya melakukan apa yang ingin kulakukan. Jadi kau tak perlu pusing soal itu.” Sikap Reigan yang dingin membuatnya dihormati semua orang. Mark dan para pelayan jelas segan padanya. Tapi bagi Baby, dinginnya Reigan justru jadi daya tarik yang membuatnya tak bisa tenang setiap kali berada di dekat pria itu. “Awalnya kupikir hidupku benar-benar sial. Dibuang dalam kondisi lupa ingatan. Tapi ternyata aku beruntung bisa bertemu denganmu, Rei.” “Kau penyelamatku. Izinkan aku mengenalmu lebih dalam. Aku ingin melakukan sesuatu yang kau sukai, untuk membalas kebaikanmu. Sungguh, aku tak keberatan.” Mendengar itu, Reigan menatapnya. Dia menyentuh tangan Baby dan memandangnya lekat. “Apa yang bisa kau lakukan untukku, Baby?” Jantung Baby berdetak cepat saat mendengar namanya disebut begitu lembut. Lidahnya kelu. Dia bahkan tak sanggup bergerak. “Kau ingin mendekatiku, begitu?” Reigan tahu, pada akhirnya semua wanita sama. “Kau menginginkanku?” Baby menggeleng cepat. “Bukan begitu! Kau salah paham, aku bukan—” “Jangan pura-pura jual mahal. Kurasa aku tahu maksudmu. Kalau kau pikir bisa masuk ke hidupku karena merasa berutang, kau salah besar.” Reigan berdiri, memberi jarak. “Aku ingin kau tetap di sini sampai ingatanmu kembali. Kalau kau ingin tahu alasanku, akan kukatakan. Dulu, aku pernah ditolong seseorang saat hidupku hancur. Saat melihatmu, aku teringat padanya. Dia sangat berarti. Itulah alasannya. Jadi berhenti merasa perlu membalas. Aku tak butuh apa-apa darimu. Pergilah jika kau sudah mengingat segalanya.” Baby seperti ditampar. Dia tidak berniat menggoda Reigan. Dia hanya ingin berterima kasih. Tapi sikap Reigan begitu tajam dan menyakitkan. “Aku minta maaf, Rei. Tadi aku hanya—” “Sudahlah. Aku akan mengajakmu jalan-jalan. Kurasa kau butuh udara segar. Bersiaplah, aku tunggu di depan.” “Jalan-jalan? Kau serius?” “Aku tunggu di depan.” Baby hendak menjawab, tapi Reigan sudah berlalu. “Dia mengajakku pergi? Apa itu artinya dia tak marah atas kesalahpahaman tadi?” ** “Gladys, maaf. Kita tak bisa melanjutkan hubungan ini.” “Apa? Han, kau bilang apa?” “Maaf, Glad. Hubungan ini terlalu membebani. Mamamu, terlalu keterlaluan. Dia bahkan menyuruh orang memukulku. Bukan karena aku tak mencintaimu, tapi aku tak kuat lagi.” Gladys tak percaya. Han adalah satu-satunya yang ia pikir mengerti dirinya. Selama tiga tahun terakhir, mereka pacaran diam-diam setelah dia lelah dengan Reigan. Han memang bukan orang kaya, tapi dia memberi hal yang tak pernah Gladys dapat dari Reigan. “Kumohon, Han. Kau tahu aku tak bisa tanpamu, kan?” “Glad, kau sudah dewasa. Tolong hentikan semua ini. Hubungan kita tak sehat. Aku lelah terus bersembunyi. Aku sadar, akulah yang salah karena menerima hubungan diam-diam ini tiga tahun lalu. Tapi sekarang aku tak bisa lagi. Kumohon, izinkan aku pergi.” “Tidak, Han. Aku rela melakukan apa pun asal kau jangan pergi.” “Tak perlu begitu. Dan, aku harus jujur. Aku sudah punya kekasih baru. Kami mulai pacaran sebulan lalu. Maaf.” “Kau selingkuh?!” “Seperti yang kau lakukan di belakang kekasihmu. Karena kau tak tahan. Begitu juga aku, Gladys. Aku tak tahan lagi.” “Kau jahat, Hanzel! Aku benci kau!” Gladys menampar pipi Hanzel, lalu berlari pergi dengan hati remuk. “Maafkan aku, Glad. Aku mencintaimu. Tapi aku tak bisa, bukan setelah mamamu mengancam menyakitimu. Aku tak ingin kau tersakiti karena aku. Tolong, jadilah bahagia.” “Argh! b******k! Semuanya hancur!” ** Mark baru saja keluar dari minimarket saat melihat sosok yang dikenalnya. “Itu Nona Gladys?” Dia melihat gadis itu menangis sendirian di depan sebuah kafe. Mark pun mendekat. Setelah yakin itu benar Gladys, dia memanggil, “Nona Gladys?” Gladys cepat menoleh. Melihat Mark, dia kaget. Dengan cepat ia menghapus air mata dan tersenyum seolah semuanya baik-baik saja. “Tuan Mark? Wah, kebetulan sekali kita bertemu.” “Iya, saya sedang libur. Sedang apa Anda di sini?” “Aku baru saja menjenguk seseorang di rumah sakit. Maaf, kau lihat air mataku, ya? Orang itu baru saja meninggal.” “Saya turut berduka cita.” “Ya, dia sudah pergi,” ucap Gladys sambil menunduk. “Ini, minumlah.” Mark memberikan sekaleng minuman rasa apel. “Apel?” gumam Gladys, menatap pilu. Itu buah kesukaan Hanzel. “Ya. Nona tak suka apel?” “Oh, tidak. Aku suka kok. Tapi aku sedang diet minuman manis.” “Baiklah.” Mark menarik kembali minumannya. “Kalau begitu, saya pamit pulang. Apa Nona butuh tumpangan?” “Tak perlu. Aku naik taksi saja.” “Baik. Hati-hati di jalan, Nona.” “Tuan Mark, sebentar. Bolehkah aku mampir ke rumahmu?” “Ke rumah saya?” “Kau tak keberatan, kan?” Mark menggaruk tengkuk. Ia bingung jika harus menolak, tapi juga cemas akan muncul kesalahpahaman. “Untuk apa Anda ke rumah saya?” “Aku hanya ingin ngobrol. Aku sedang sedih. Hanya sebentar saja, temani aku bicara, tak lebih.” Mark akhirnya mengangguk. “Baiklah. Rumah saya dekat dari sini.” “Terima kasih, Tuan Mark.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN