Reigan menatap cangkir kopi di tangannya—aroma mocca Swiss yang samar membungkus udara pagi dengan nuansa nostalgia yang menyesakkan d**a. Tapi bukan rasa kopinya yang membuat dadanya bergemuruh seperti ini, melainkan kehadiran gadis di hadapannya.
Baby duduk di sisi kursi yang sama, tangannya saling menggenggam di atas pangkuan, tubuhnya sedikit menegang. Ia tidak tahu kenapa Reigan diam begitu lama setelah meminum kopinya. Wajah pria itu terlihat jauh... terlalu dalam untuk dijangkau oleh pikiran biasa.
Namun Baby tahu, ada sesuatu yang berubah. Udara pagi itu tak lagi dingin. Ia bisa merasakan hawa panas mengendap di antara mereka. Jantungnya mulai berdebar cepat, membuat napasnya terasa berat.
Reigan memandang gadis itu, dan di dalam tatapannya, ada sesuatu yang tak biasa—seolah dia sedang menatap bukan hanya Baby, tapi juga... kenangan. Luka. Dan harapan yang menolak untuk mati.
“Bolehkah aku memelukmu?” bisiknya, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat tubuh Baby seolah tersambar listrik.
Baby menatapnya, matanya membulat. Ia tak bisa berpikir jernih. Ucapan itu... terdengar seperti permintaan dari seseorang yang terluka, bukan rayuan pria yang terbiasa memerintah.
“A-apa... kenapa kau ingin memelukku, Rei?” suaranya bergetar, jari-jarinya mengepal perlahan.
“Karena aku... tidak tahu kenapa, tapi aku merasa sangat mengenalmu.” Reigan mendekat, tubuhnya hanya beberapa jengkal dari Baby sekarang. “Dan aku lelah berpura-pura tidak peduli.”
Baby merasa tubuhnya terkunci di tempat. Sorot mata itu—hangat, kelam, dan menyimpan gejolak yang tak bisa ia pahami. Lalu, tanpa sempat berpikir lebih lama, tubuhnya sudah terperangkap dalam dekapan Reigan.
Pelukan itu dalam. Panas. Tegas. Tapi juga mengandung kerinduan yang seolah telah menunggu bertahun-tahun.
Jantung Baby berdentum keras. Ini bukan pelukan biasa. Bukan pelukan sekadar ucapan terima kasih. Tapi pelukan yang mampu membuat tubuhnya bergetar.
“Rei...”
“Hanya sebentar saja.” Suaranya berat di dekat telinga Baby. “Biarkan aku merasa... bahwa aku tidak kehilangan segalanya.”
Baby menutup matanya. Ia tidak mengerti sepenuhnya apa yang Reigan rasakan, tapi saat tubuh pria itu merapat padanya, ia tahu satu hal pasti: ia tidak ingin pelukan itu berakhir.
Saat Reigan perlahan melepaskannya, suasana jadi begitu hening. Sorot mata mereka bertemu lagi, dan kali ini, tak satu pun dari mereka mampu berpura-pura tidak terpengaruh.
“Aku... tidak tahu siapa aku sebenarnya, Rei,” bisik Baby pelan, hampir seperti pengakuan. “Tapi untuk alasan yang juga tak bisa kujelaskan... aku ingin berada di sini. Di dekatmu.”
Reigan menatapnya lebih lama sebelum akhirnya bangkit dari kursinya. “Beristirahatlah. Hari ini... akan jadi hari yang panjang.”
Dan begitu pria itu melangkah pergi, Baby memegangi dadanya yang terasa berdebar sangat keras—seperti gendang perang yang tak tahu kapan akan berhenti. Ia menatap punggung Reigan hingga pria itu menghilang di balik dinding.
Di dalam dirinya, ada gejolak asing yang tumbuh semakin tak bisa dikendalikan. Dan ia tahu, perasaan itu bukan hanya karena secangkir kopi.
Itu adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih rumit. Lebih dalam. Lebih berbahaya.
***
Setelah pelukan singkat itu, Reigan kembali ke ruang kerjanya. Tapi pikirannya tak lagi fokus pada laporan, atau rapat, atau apa pun yang biasanya menjadi pelarian dari rasa kehilangan.
Hari ini… pelariannya tidak bekerja.
Hari ini… ada yang menggoyahkan.
Bayangan Baby—dengan mata bening dan senyuman yang terasa familiar—terus muncul dalam benaknya. Wajah polos itu, cara bicaranya yang kadang gugup, bahkan aroma tubuhnya yang samar… mengingatkan Reigan pada sesuatu yang telah lama ia kubur dalam.
Callista.
Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menatap langit-langit kosong ruangan sambil menarik napas panjang.
"Ini tidak masuk akal..." gumamnya lirih.
Callista adalah satu-satunya wanita yang mampu menenangkan badai dalam hidupnya. Wanita yang membuat segalanya terasa cukup. Tapi saat maut memisahkan mereka enam tahun lalu, Reigan merasa seperti kehilangan arah dan makna.
Dan kini, tiba-tiba, seorang gadis misterius dengan ingatan yang terhapus—muncul tanpa permisi dan mulai mengisi ruang-ruang kosong yang bahkan tidak ingin dia akui masih ada.
Bibir Baby memang tidak sama dengan Callista. Tapi ketika dia tersenyum... mengangguk pelan... atau menyebut namanya dengan suara pelan yang penuh kehangatan—suara itu menusuk memorinya seperti pisau halus yang tak terlihat.
Reigan memijit pelipis.
"Kenapa kau begitu mirip dengannya?"
Ia tidak tahu apakah ini takdir yang sedang mempermainkannya. Tapi satu hal yang dia tahu dengan pasti—semakin ia mencoba menjauh dari Baby, semakin besar ketertarikan yang tumbuh.
Bukan hanya karena Baby mengingatkannya pada cinta lamanya,
tapi karena Baby memiliki sesuatu yang bahkan Callista pun tidak punya: kekacauan yang tidak bisa ditebak.
Baby seperti oase yang tiba-tiba muncul di tengah gurun batin yang kering dan retak-retak.
Segar, tapi bisa menyesatkan.
Menyembuhkan, sekaligus mengancam kehancuran baru.
Reigan membuka kembali catatan kecil dari Baby yang tertinggal di meja: tulisan tangan yang lugu, dengan kalimat sederhana.
"Terima kasih karena sudah pulang. Aku lega, karena malam ini aku bisa tidur dengan tenang."
Tangannya mengepal. Hatinya memanas.
"Apa yang kau lakukan padaku, Baby?" bisiknya lirih.
Ia bangkit, berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman, tempat Callista dulu sering duduk dan membaca buku. Sekarang, bayangan itu tergantikan oleh Baby yang tertidur di sofa, dengan tubuh menggeliat kecil seperti anak kucing yang kelelahan menunggu.
Reigan mendesah.
“Callista… jika kau masih hidup, apa kau akan cemburu pada gadis itu?”
Dan saat itu, dia sadar...
Baby bukanlah Callista. Tapi Baby telah membuatnya mulai merindukan hidup.
Dan itu… lebih berbahaya dari apa pun.
***
Sementara itu, di kamar, Baby masih duduk di pinggir ranjang, memeluk lututnya sendiri.
Jantungnya belum kembali normal. Masih berdebar seperti baru saja lari maraton.
“Kenapa aku begini…” bisiknya pelan.
Pipinya hangat. Lehernya terasa gatal. Bahkan kulitnya meremang hanya karena mengingat bagaimana tangan Reigan tadi menyentuh wajahnya, lalu… pelukan itu.
Bukan pelukan yang erat, bukan juga pelukan yang lama. Tapi cukup untuk membuat detak jantungnya kacau dan pikirannya keruh.
Tatapan mata Reigan juga… seolah melihat sesuatu yang lebih dari sekadar dirinya.
Dan itu membuat Baby gugup. Panas. Canggung.
Sejak kapan dirinya bisa bereaksi seperti itu hanya karena seorang pria?
“Aku bahkan tidak tahu siapa aku sebenarnya, tapi kenapa tubuhku seperti mengenalnya…?” gumamnya, menunduk sambil menatap jari-jarinya yang tak bisa diam.
Ia menutup wajah dengan kedua tangan.
“Suara dia... tatapan dia... membuatku merasa seperti... sedang disentuh meski dia tak menyentuh.”
Tubuhnya merespons sesuatu yang tak bisa dia kendalikan. Seolah... terlalu akrab. Seolah... pernah terjadi. Di kehidupan yang lain? Atau... di masa lalunya yang hilang?
Helaan napasnya makin cepat. Dadanya makin sesak. Dan ketika ia mencoba memejamkan mata untuk menenangkan diri, yang muncul justru wajah Reigan. Suaranya. Cara dia mengatakan:
"Panggil aku Rei saja."
Baby menggigit bibir bawahnya. Perasaan itu tak wajar. Tapi juga tak bisa ia tolak.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak ia sadar di rumah megah milik pria itu—Baby merasa takut.
Bukan karena merasa terancam.
Tapi takut... karena ia mulai menginginkan sesuatu yang tak seharusnya ia inginkan.
---
"Jika dia bukan siapa-siapa bagiku, kenapa tubuhku bereaksi seolah dia adalah bagian dari aku yang pernah hilang?"