Aurelia menatap ponsel yang tergeletak di atas meja. Sisa tangis masih tertinggal di matanya, namun yang mengendap kini bukan harap, melainkan nyala amarah yang tak lagi bisa ia jinakkan. Ia merasa terjebak di antara dua kehidupan yang sama-sama menyesakkan.
Nada dering tiba-tiba memecah hening. Nama Septimus muncul di layar, dan detak jantungnya langsung melonjak. Rasa panas menjalari tengkuknya, setiap memori penghinaan kembali muncul tanpa ampun.
"Sialan!" Aurelia ingin langsung mencabik-cabik wajah Septimus, teringat kembali dengan segala yang telah menimpanya di masa depan. Kini, dia kembali, dan dia ingin membalas segalanya dengan harga yang mahal.
"Tidak, aku tak boleh gegabah. Aku harus berpikir cerdas!"
Akhirnya Aurelia menerima panggilan itu, dan mencoba bersikap normal.
“Aurelia, apakah kau sudah siap untuk makan malam?” Suara itu terdengar tenang, terlalu ringan untuk pria yang pernah mencekiknya tanpa penyesalan. “Kau ingat, kan, kau harus mendampingiku menerima penghargaan? Aku sudah tak sabar, ini momen yang ku nantikan," kata Septimus.
Aurelia membeku. Kalimat itu menghantamnya seperti cambuk. Ia mengangkat wajah, matanya menyipit tajam. Ia ingat persis apa yang terjadi di masa depan. Malam ini bukan sekadar pesta penghargaan. Ini adalah perayaan besar Hartman Corporation, milik keluarganya.
Yang berdiri di atas panggung nanti adalah pria yang hanya menumpang nama Hartman, bukan pemilik sahnya. Septimus akan menerima kehormatan atas kerja keras orang lain, dan Aurelia dipaksa berdiri di sampingnya seperti properti yang dipajang. Tentu saat itu Aurelia merasa tersentuh. Namun malam ini, semua akan lain cerita.
Suaranya keluar perlahan, tapi sarat ketegangan yang nyaris meledak. Aurelia berusaha sekuat tenaga menahannya. “Aku sudah siap,” ucapnya dingin. “Aku tidak akan melewatkan momen berhargamu itu.”
Septimus menutup panggilan. Tawa rendah Aurelia melambangkan benci dan jijik.
Ponselnya masih dalam genggaman. Suara Septimus belum hilang dari kepala. “Kenakan gaun yang kupilihkan. Itu akan cocok di tubuhmu.”
Aurelia menoleh ke kotak besar di atas meja rias. Warnanya mencolok. Pita emas masih utuh melingkar seperti hiasan hadiah palsu.
Ia tidak langsung membuka kotaknya. Ia hanya menatapnya, lama. Wajahnya tak berekspresi, tapi di dalam kepalanya, sesuatu terbuka.
Di masa depan, ia pernah berdiri di luar ruangan kantor Septimus. Telinganya jelas menangkap tawa Bella. “Biar aku yang pilihkan gaunnya. Dia cocok pakai model yang itu.”
Septimus tertawa, membiarkan semuanya dilakukan sesuka hati sekretarisnya. Ia tak tahu Aurelia ada di balik pintu mendengarnya cukup jelas.
“Waktu itu aku terlalu naif. Tapi kali ini, aku bukan lagi perempuan yang seperti itu.”
Kini, ia buka kotaknya. Lihat sekilas. Senyum kecil muncul di bibirnya, lebih ke cemoohan. “Rendahan, seperti selera perempuan yang memilihnya.”
Ia tidak akan memakai itu. Ia bukan lagi boneka di tangan mereka. Ia tidak akan memamerkan diri dengan pilihan orang yang menusuk dari belakang.
Tangannya bergerak ke lemari. Ia ambil salah satu koleksi lamanya. Lebih berkelas, lebih seksi dan lebih menantang.
Aurelia berdiri di depan cermin besar. Ia mengenakan gaun satin hitam ketat dengan belahan tinggi di paha dan bagian punggung terbuka. Lehernya dihiasi choker emas tipis, rambutnya digerai rapi, dan makeup-nya tegas dengan lipstik merah menyala.
Sepatunya hak tinggi stiletto berwarna hitam, melengkapi siluet tubuhnya yang ramping dan elegan. Potongan d**a rendah memperlihatkan belahan halus yang terpampang berani, cukup untuk menarik perhatian siapa pun yang memandang.
"Aku tidak bisa tampil sendiri, aku butuh partner. Tentu saja agar membuat Septimus tumbang, harus punya sekutu yang kuat."
Aurelia berpikir sebentar, hingga dia terbayang kata-kata Septimus yang merendahkan dirinya tidak menarik. Namun kini saat dia bercermin, dia baru sadar, dia cantik, dia sangat menarik.
Aurelia mengambil ponsel, mengatur kamera, lalu memotret dirinya dalam posisi berdiri menyamping. Belahan paha terlihat, tatapannya menusuk.
"Aku cantik, aku tidak boleh merasa rendah diri karna pria yang sangat menjijikkan itu."
Aurelia membuka aplikasi eksklusif tempat hanya orang-orang berduit dan berpengaruh berkumpul. Semalam, saat akhirnya dia sadar penuh dirinya sudah kembali ke masa sebelum ia menikahi Septimus.
Satu keajaiban untuk jiwanya yang dihancurkan, kini dia hidup kembali sebagai jiwa baru yang akan membalas segalanya.
Ia menemukan satu aplikasi, di dalamnya dipenuhi dengan kalangan elite. Itu aplikasi yang sangat gila, para wanita kelas atas menawarkan kerja sama dengan tawaran tubuh telanjang dan popularitas. Demi sekutu konglomerat.
"Tuhan kembali memberi jalan, aku akan mencobanya."
Dengan perasaan yang menggebu, Aurelia memosting foto dirinya di aplikasi itu.
Namaku Aurelia Hartman. Aku belum pernah disentuh siapa pun. Aku butuh partner, yang bisa memberikan aku kekuatan. Mari buat kesepakatan.
"Selesai. Mari kita coba, jika ini tak berhasil, aku harus jalankan plan B."
Ia unggah foto itu, lalu melempar ponsel ke tempat tidur. Notifikasi mulai berdatangan.
"Ini? Respon kilat?"
Nama-nama asing, tawaran-tawaran, hingga pesan pribadi berisi pujian dan permintaan.
"Aplikasi ini, kenapa aku baru mengetahuinya sekarang," gumam Aurelia dengan tangan gemetar.
Aurelia tidak peduli siapa mereka. Ia hanya ingin mencari kekuatan baru yang bisa membantunya untuk membalaskan dendam terhadap Septimus.
**
Seorang pria duduk tenang di lounge hotel bintang lima. Jas hitamnya rapi, dasi gelap terikat sempurna, dan sebatang cerutu belum dinyalakan terselip di jarinya. Tatapannya tajam, fokus menatap layar ponsel yang baru saja menyala.
Ia membaca satu unggahan yang membuatnya bersandar lebih dalam ke kursi. Tubuh wanita itu terlihat sempurna dalam balutan gaun hitam terbuka, penuh percaya diri dan tantangan. Teks yang menyertainya membuat sudut bibir pria itu terangkat sedikit.
Namanya Aurelia Hartman. Bukan hanya pewaris keluarga terpandang, tapi sekarang mempermainkan batasan dengan penawaran yang mengguncang. Pria itu mengetuk-ngetuk ponselnya sebentar, lalu tersenyum kecil.
“Balas utas ini, aku sangat tertarik. Gunakan nama Damian Corvin Constantine,” ucapnya datar pada asisten di seberang sambungan.
“Baik, Tuan."
Ponsel Aurelia bergetar. Satu notifikasi dari aplikasi masuk dengan warna merah menyala. Ia membuka cepat, jantungnya memacu lebih cepat dari biasanya.
Aku tertarik dengan penawaranmu.
Ia mengernyit, membaca ulang pesan itu, lalu turun ke bagian nama pengirim. “Damian Corvin Constantine?"
Aurelia langsung membuka pencarian dan mengetik nama itu. Beberapa detik kemudian, halaman demi halaman muncul memenuhi layar.
Wajah pria tampan dengan setelan formal, artikel bisnis dari berbagai media asing, dan catatan kekayaan yang menyentuh angka triliunan.
Aurelia terpaku. Tangannya menahan layar, matanya menelusuri informasi dengan napas tak stabil.
CEO muda. Pengusaha global. Pemilik konglomerasi teknologi dan media di tiga benua. Damian bukan orang biasa.
Ia menelan ludah. Pertama kali dalam hidupnya, ia sadar bahwa keputusannya tidak lagi sekadar impuls emosional. Ini sudah jadi permainan kekuasaan.
"Baiklah, kau beruntung sekali lagi, Aurelia."
**
"Aku sudah mengirimkan detilnya pada pria itu. Jadi, dia dan aku sepakat bertemu di sini. Di pesta Hartman. Baiklah, semua akan berjalan lancar, kau harus percaya itu, Aurelia yang baru," gumamnya pada diri sendiri.
Aurelia berhenti tak jauh dari meja koktail, matanya terpaku pada seorang pria yang sedang berbicara dengan dua tamu pria lain. Setelan hitam pekat membalut tubuh atletisnya, rambutnya tersisir rapi, dan jam tangan mahal melingkar di pergelangan kirinya.
Wajahnya membuat Aurelia terdiam. Bukan karena ketampanannya semata, tapi karena dia terlihat sangat mirip dengan Andreas. Sopir Septimus di masa depan. Dimana Septimus menuduhkan hal gila, menuduh Aurelia selingkuh dengan sopirnya sendiri.
"Andreas? Mana mungkin?"
Terlalu mirip.
Pria itu menyadari tatapan Aurelia. Ia menghampiri dengan langkah percaya diri dan senyum tipis. “Kau Aurelia Hartman, kan?”
Suara itu terdengar tenang, jernih, dan tidak tergesa-gesa. Ia seperti tahu persis siapa yang sedang dihadapinya. Tapi tidak terdengar seperti sedang mengintimidasi.
Aurelia mengangguk, sedikit canggung. “Ya. Dan Anda...?”
“Damian Corvin.” Ia mengulurkan tangan, matanya menatap lurus.
Aurelia meraih tangannya sebentar. Ia merasa sedikit bingung harus mengatakan apa. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi lidahnya terasa berat. "Dia bukan Andreas, tapi dia Damian, ini seperti mustahil, lagi," batinnya.
Meskipun ia menganggap itu satu kegilaan lain. Tapi, dia harus tetap melangkah maju demi misi barunya.
Damian tetap tenang, tidak terburu-buru membuka obrolan. Ia hanya menatap Aurelia seolah sedang menilai seseorang yang penting, tapi tidak membuatnya merasa tertekan.
Damian mengangguk pelan. “Kau yakin ingin membicarakan detailnya di sini?”
Aurelia menyambar gelas sampanye dari baki pelayan yang lewat. Ia menatap Damian lebih dalam kali ini, berusaha mengurai siapa sebenarnya pria ini.
“Kau keberatan kalau aku minta satu hal sebelum kita bicara lebih jauh?” tanyanya.
“Tentu tidak.”
“Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya. Maksudku ... kenapa pria seperti kau tertarik dengan tawaranku?"
Damian tersenyum kecil. Tidak terlalu lebar, tapi cukup membuat Aurelia sadar bahwa pria ini bukan orang sembarangan.
“Aku suka hal-hal yang sulit dipahami orang kebanyakan. Dan kau tampaknya bukan perempuan biasa.”
Aurelia ingin membalas, tapi suara panggilan dari kejauhan membuatnya menoleh. Wajah Septimus terlihat tegang saat ia berjalan cepat menghampiri.
“Aurelia, kau?” Septimus tampak tercengang.
"Kau tak pakai gaun yang kuberikan?"
Aurelia masih diam di tempatnya, namun tidak gentar sama sekali.
Damian berdiri tenang di depan mereka. Matanya meneliti Septimus tanpa senyum, seperti menakar sesuatu yang tak tampak di permukaan. Septimus yang awalnya berjalan percaya diri, langsung kehilangan pijakan saat menyadari siapa pria di hadapannya.
“Kau ... kau Tuan Damian Corvin?” suaranya terdengar pelan namun terdengar jelas, campuran gugup dan terkejut yang tak bisa ia sembunyikan.
Damian hanya menatap tanpa banyak reaksi, sorot dinginnya tetap terjaga. Lalu pandangannya beralih pada Aurelia. “Dia kenalanmu?”
Aurelia tersenyum tipis, elegan namun mematikan. “Dia calon tunanganku. Atau, lebih tepatnya ... dulu kupikir begitu. Tapi sekarang, aku mulai ragu.”
Damian mengangkat alis sedikit. Ia tidak perlu berkata apa-apa, karena keraguan Aurelia sudah cukup membuat suasana di sekitar mereka mengeras.
Sementara itu, Septimus terpaku. Matanya menelusuri tubuh Aurelia dari atas ke bawah, dan untuk pertama kalinya sejak mengenalnya, ia melihat sosok wanita itu begitu mencolok, menggoda, memikat di depan mata semua orang.
Gaun yang membalut tubuh Aurelia membuatnya terdiam, bahkan napasnya sempat tertahan. Ia tidak pernah menyangka Aurelia bisa tampil seperti itu.
“Apa maksudmu, Aurelia? Kau bercanda, kan? Kau bicara macam apa itu?” Nadanya melesak antara marah dan panik.
Aurelia tidak menjawabnya. Ia hanya menoleh sedikit, mengalihkan wajah, membuat Septimus semakin tidak yakin pada posisinya.
“Maafkan saya, Tuan Damian,” kata Septimus dengan senyum yang jelas dipaksakan.
“Pasangan saya sedang lelah. Saya akan mengajaknya bicara sebentar," lanjut Septimus tidak tahu diri. Itu makin membuat Aurelia jijik.
Ia hendak menarik tangan Aurelia, tapi Damian langsung melangkah ke depan. Gerakannya tenang, namun cukup membuat Septimus berhenti.
“Kalau begitu,” ucap Damian dengan suara datar yang dingin, “bolehkah aku menggantikan posisinya?"