Aurelia berdiri tegak di depan meja kerja Septimus, tangannya bertaut di depan d**a dengan sikap yang tegas. “Mulai besok, aku akan kembali ke perusahaan,” ucapnya dengan nada tenang, seolah hanya mengumumkan sesuatu yang biasa.
Alis Septimus berkerut, wajahnya tampak bingung. “Kenapa tiba-tiba?” tanya Septimus, suaranya bernada sedikit kecewa. “Bukankah dulu kau bilang tidak mau terjun ke dunia bisnis?”
Aurelia menatapnya lurus, sorot matanya dingin dan menusuk. “Itu dulu, sebelum aku sadar bahwa aku tidak bisa mempercayaimu lagi.”
Septimus menegakkan tubuhnya, nada suaranya meninggi. “Apa maksudmu? Kau tidak bisa bicara begitu seolah aku mengkhianatimu. Aku tidak pernah selingkuh, Aurelia. Aku setia padamu.”
Aurelia tersenyum tipis, senyum yang menusuk dan penuh arti. “Setia? Aku tidak percaya. Kau sendiri yang selalu terlihat begitu baik dan begitu menempel pada sekretarismu itu.”
Wajah Septimus menegang, ia tahu jika Aurelia benar-benar curiga, posisinya berbahaya. Ia masih butuh tanda tangan Aurelia di atas berkas pemindahan saham. Septimus menarik napas panjang, berusaha menahan amarahnya.
“Aurelia, kau salah menilai,” kata Septimus, suaranya dibuat selembut mungkin. “Tidak ada apa-apa antara aku dan Bella. Aku hanya ingin memastikan semua pekerjaan berjalan lancar.”
Aurelia menoleh ke arah jendela, enggan menatapnya lagi. “Aku sudah mendengarkan terlalu banyak, Septimus. Yang kulihat cukup untuk membuatku muak.”
Di balik wajahnya yang penuh penyesalan pura-pura, Septimus mulai menyusun strategi untuk mempertahankan posisinya.
Septimus menyadari bahwa ia tidak bisa memaksa Aurelia sekarang, karena itu hanya akan memperburuk keadaan. Ia harus membuatnya luluh, harus merayu dengan kata-kata manis dan gerakan yang tepat, harus mencari celah untuk menunda kecurigaan itu dan membuatnya percaya kembali. Selama Aurelia belum menyentuh berkas di mejanya, selama ia belum menyadari apa yang sebenarnya sedang ia rencanakan, masih ada harapan bagi Septimus untuk mempertahankan kontrol atas perusahaan dan menjalankan rencananya tanpa halangan. Ia harus berhati-hati dan sabar, karena satu langkah yang salah bisa membuatnya kehilangan segalanya.
**
Aurelia memalingkan wajah dari Septimus, seolah sedang menimbang kata-kata pria itu. Padahal dalam hati, ia sudah tahu persis apa yang sedang terjadi. Septimus pasti tengah memutar otak, merancang cara agar ia bisa kembali mempercayainya.
Aurelia bisa membaca gelagatnya. Senyum lembut yang dipaksakan, nada suara yang dibuat penuh penyesalan, semuanya hanya topeng. Ia sengaja menahan diri untuk tidak menyingkap lebih jauh. Biar Septimus merasa masih punya peluang. Biar ia berusaha keras membujuk, merayu, bahkan menjual harga dirinya hanya demi satu hal, tanda tangan Aurelia.
Dalam hati Aurelia bergumam, saat ini permainan baru saja dimulai. Ia tidak akan terburu-buru. Tarik ulur akan menjadi senjatanya. Ia ingin Septimus merasakan perih yang sama seperti saat tangannya mencekik lehernya di masa depan, ketika nyawanya direnggut dengan cara paling menyedihkan.
Septimus tiba-tiba meraih tangan Aurelia, genggamannya erat seolah takut wanita itu pergi meninggalkannya. “Kumohon, Aurelia. Kau tahu ibuku sangat suka padamu. Dia wanita yang selalu menunggu kedatanganmu ke rumahnya, kan. Apa kau rela jika dia sedih, jika tahu kau marah padaku? Aku sumpah, aku tidak selingkuh. Aku setia padamu.”
Aurelia menahan napas, seluruh tubuhnya menegang. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menarik tangannya dengan kasar. Wajahnya tetap dingin, meski dalam hati ia merasa jijik. Kata-kata Septimus terdengar memelas, tetapi bagi Aurelia semuanya hanya racun yang menambah muak.
Dalam batinnya, ia tahu ibunya Septimus tidak pernah benar-benar menyukainya. Perempuan itu hanya menyukai apa yang bisa ia bawa. Kekayaan keluarga Hartman, nama besar, dan perusahaan yang berdiri di belakang Aurelia. Ia masih ingat jelas bagaimana diam-diam ia mendengar sang ibu berkata pada teman-temannya bahwa perusahaan milik Aurelia seolah-olah kini menjadi milik Septimus.
Aurelia ingin tertawa sinis. Ia tahu setiap hadiah, setiap permintaan, setiap barang mewah yang dibelikan Septimus untuk ibunya, sesungguhnya berasal dari keringat keluarganya. Bukan karena cinta, bukan karena penghargaan, hanya karena kerakusan.
Aurelia menatap Septimus dengan sorot tajam, menahan jijik yang hampir pecah. Dalam hatinya, ia bersumpah kali ini bukan hanya Septimus yang akan ia buat hancur. Semua orang yang pernah memperlakukannya sebagai boneka juga akan merasakan balasannya.
Aurelia menarik perlahan tangannya dari genggaman Septimus, gerakannya tenang tetapi penuh penolakan. Ia menatap pria itu lurus, suaranya datar namun setiap kata mengiris. “Kalau kau benar setia, kau tidak perlu terus-terusan bersumpah. Kesetiaan tidak perlu diucapkan, cukup terlihat dari sikap. Dan sejauh ini, yang kulihat hanya bayanganmu di sisi sekretarismu.”
Septimus menelan ludah, wajahnya memerah, matanya bergetar di antara marah dan panik. “Aurelia, jangan bilang begitu. Aku bisa jelaskan. Jangan buat kesimpulan hanya dari pandangan orang lain.”
Aurelia tersenyum tipis, senyum yang dingin dan tanpa rasa. “Aku tidak butuh penjelasanmu. Yang aku butuh hanyalah memastikan diriku sendiri tidak lagi dibodohi. Karena itu, mulai sekarang aku akan turun tangan di perusahaan. Aku ingin melihat segalanya dengan mataku sendiri.”
Nada bicaranya lembut, tapi tak memberi ruang untuk perdebatan. Septimus terdiam, rahangnya mengeras. Ia ingin membantah, namun tahu Aurelia tidak akan goyah. Dalam hati, Aurelia merasa puas melihat wajahnya yang panik. Ia sudah menegakkan pendiriannya, dan kali ini, tidak ada satu pun kata manis yang bisa menggoyahkan keputusannya.
Aurelia melangkah keluar dari ruangan Septimus, menutup pintu dengan tenang tanpa menoleh lagi. Gaun elegannya bergoyang ringan mengikuti setiap langkah, sepatu haknya berdentum mantap di lantai marmer. Pandangannya lurus ke depan, wajahnya teduh namun penuh wibawa.
Beberapa karyawan yang berpapasan segera menundukkan kepala memberi salam hormat.
“Nona Aurelia,” ucap mereka sopan. Aurelia membalas dengan senyum anggun, matanya ramah meski dalam hatinya terselubung bara.
Ia tahu, senyum kecil yang ia berikan adalah penanda bahwa dirinya bukan sekadar pewaris, melainkan pemimpin yang siap berdiri di garis depan. Hatinya berdesir oleh tekad yang semakin kuat. Inilah jalannya. Ia akan memimpin, ia akan menjaga perusahaan yang dibangun kakeknya dengan darah dan keringat, dan ia akan menyingkirkan Septimus dari dalam tanpa ragu.
Di setiap langkah, Aurelia merasakan dirinya semakin berkuasa. Bukan lagi wanita muda yang bisa dituduh, dipermainkan, lalu dibuang begitu saja. Ia kini adalah Aurelia Selene Hartman, pewaris sah yang akan mengembalikan kehormatan keluarganya sekaligus menuntut balas pada pria yang pernah merenggut nyawanya di masa depan.
Begitu Aurelia keluar dari lobi utama dan menuruni anak tangga menuju area parkir, ponselnya bergetar. Ia melirik layar, nama yang muncul membuat senyum tipis terbentuk di bibirnya. Nyonya Desinta Dorian.
“Aurelia, sayang, kau ke mana saja akhir-akhir ini? Mama rindu padamu. Sudah lama kau tidak datang berkunjung, rasanya rumah ini hampa tanpa kehadiranmu,” kata Nyonya Desinta dengan suara lembut yang dipaksakan.
Aurelia menatap kosong ke arah deretan mobil, langkahnya melambat. Hatinya berdesir, bukan karena terharu, melainkan karena jijik. Ia tahu betul, ucapan itu tidak pernah tulus. Wanita itu hanya menginginkan apa yang bisa ia bawa, bukan dirinya.
“Benarkah, Mama?” ucap Aurelia dengan nada halus, meski dalam hati ia mencibir. “Mungkin suatu hari aku akan berkunjung, Mama. Sekarang aku sibuk mengurus perusahaan.”
Nyonya Desinta terdengar agak tergesa. “Oh, tentu saja, Mama mengerti. Tapi ingatlah, Aurelia, keluarga selalu lebih penting dari bisnis.”
Aurelia menarik napas panjang, senyum tipis di bibirnya semakin melebar. “Terima kasih atas perhatiannya, Mama. Aku akan ingat.” Ia memutus panggilan dengan tenang, menatap layar ponselnya yang kini kembali redup.
Ia sudah siap menghadapi permainan mereka dengan strategi yang berbeda. Aurelia melangkah menuju mobilnya, siap untuk mengambil langkah berikutnya dalam permainan ini.
Tiba-tiba, Aurelia teringat kembali momen di masa depan, saat dirinya sudah menjadi istri Septimus. Ia teringat bagaimana ibunya, Nyonya Desinta, memperlakukannya layaknya pembantu, bukan menantu yang disayangi.
Aurelia masih ingat kata-kata pedas yang terlontar dari bibir Nyonya Desinta.
“Kau memang putri dari keluarga Hartman, tapi kau tidak lebih dari sekadar kantong uang bagi kami. Septimus tidak akan pernah mencintaimu, dia hanya membutuhkan hartamu untuk membangun kekuasaannya.”
Aurelia merasa jijik dan marah, mengingat bagaimana dirinya diperlakukan seperti boneka, seperti barang yang bisa dibuang begitu saja. Ia teringat bagaimana Nyonya Desinta selalu memerintahkannya untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga, seperti memasak, membersihkan rumah, dan mengurus segala kebutuhan Septimus.
Aurelia merasa bahwa dirinya telah diperlakukan tidak adil, seperti manusia yang hanya diperas hartanya saja.
“Kau memang beruntung memiliki keluarga kaya seperti Hartman,” kata Nyonya Desinta suatu hari, “tapi kau tidak memiliki kecerdasan atau kecantikan yang sebanding dengan itu. Septimus hanya menikahimu karena dia membutuhkan hartamu untuk membangun bisnisnya.”
Aurelia merasa sakit hati dan marah, mengingat bagaimana dirinya telah diperlakukan seperti itu. Ia bersumpah bahwa dirinya tidak akan pernah memaafkan Septimus dan ibunya, dan bahwa dirinya akan melakukan segala cara untuk mengambil alih perusahaan dan menghancurkan mereka berdua.
“Aku tak akan pernah melupakan itu, Mama,” kata Aurelia dengan suara dingin. “Aku akan membuat kalian berdua menyesali perbuatan kalian.”
Senyum samar muncul di bibirnya. Kali ini ia tidak akan jatuh pada rayuan palsu, tidak pada Septimus, tidak juga pada ibunya. Ia sudah siap menghadapi permainan mereka dengan strategi yang berbeda.
Tak lama, ponselnya berdering, satu nama muncul membuat tubuhnya seketika meremang.
“Damian?”
Aurelia meremas ponselnya. Dia lupa, dia berhutang keputusan pada Damian, tenggatnya hari ini.
“Halo?”
“Nona Aurelia, aku tak suka berbasa-basi, kapan kita bisa bertemu?”