Bella menggertakkan giginya, mengingat masa lalu. Semua orang di lingkaran sosialita kala itu membicarakan Damian Corvin Constantine sebagai pria yang cacat, pria yang tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai lelaki.
Ia menelan mentah-mentah gosip itu, dan saat keluarga besar mencoba menjodohkannya dengan Damian, ia langsung menolak tanpa berpikir dua kali.
“Aku menyesal menolakmu, Damian, dulu aku menolaknya karena aku percaya semua kata-kata busuk itu. Aku kira aku pintar. Nyatanya, aku yang paling dungu!” Bella menendang vas bunga hingga pecah berantakan di lantai.
Kini kenyataannya terpampang jelas. Damian bukan pria cacat, bukan pria lemah, melainkan konglomerat besar dengan kekuasaan yang sulit digoyahkan. Lebih menyakitkan lagi, pria itu kini justru dekat dengan Aurelia Selene Hartman, wanita yang selalu membuatnya merasa terancam.
Bella menghantam meja dengan keras, napasnya terengah. “Aurelia … kau selalu jadi penghalangku. Semua yang kuinginkan, entah bagaimana caranya, selalu berakhir di tanganmu. Dan sekarang Damian pun lebih memilih menatapmu, bukan aku. Menjijikkan!”
Ia meraih segelas wine, meneguknya habis dalam sekali teguk, lalu melempar gelas itu ke dinding hingga pecah berderai. Tubuhnya gemetar karena amarah bercampur rasa muak pada dirinya sendiri.
“Seandainya aku tidak percaya rumor itu. Seandainya aku bisa sedikit lebih sabar, aku yang akan berada di sisinya sekarang, bukan kau, Aurelia. Aku yang akan menjadi wanita yang dicari Damian, bukan kau yang tiba-tiba muncul dengan wajah malaikat dan sikap penuh drama.”
Bella menatap bayangan dirinya di cermin, wajah cantiknya tampak kusut oleh emosi. Ia mengangkat dagunya, matanya menyala dengan kebencian yang semakin mengakar.
“Aku tidak akan diam. Kalau Damian memang lebih memilih Aurelia, maka aku akan memastikan Aurelia hancur sebelum semuanya dimulai. Aku yang akan berdiri di sisinya, bukan dia.”
Septimus membuka pintu apartemen tanpa permisi. Pandangannya langsung tertuju pada Bella yang berdiri di tengah ruangan, wajahnya dingin, tidak lagi manja seperti biasanya. Kekacauan di sekeliling membuat d**a Septimus sesak, tapi yang paling menghantam adalah tatapan Bella yang menusuk.
“Bella, apa yang terjadi? Kenapa kau seperti ini?” suara Septimus terdengar cemas ketika ia melangkah mendekat, tangannya hendak meraih bahu Bella.
Bella menepis kasar. “Jangan sentuh aku! Keluar dari sini, Septimus!”
Septimus terkejut, tubuhnya seolah membeku. Selama ini Bella selalu memanjakan dirinya, selalu menempel padanya, kini justru menatap dengan kebencian. “Bella, kau tidak bisa mengusirku begitu saja! Semua ini kulakukan untukmu. Kau pikir dari mana semua kemewahan yang kau nikmati? Dari aku!”
Bella menatap tajam, suaranya bergetar oleh amarah. “Dari hasil membodohi Aurelia! Dari uang yang kau rampas dengan cara kotor! Kau menyebut itu pengorbanan? Kau menjijikkan, Septimus!”
Wajah Septimus memerah, napasnya memburu. “Aku bisa pastikan posisimu di perusahaan tetap aman. Kau tidak akan kehilangan apa pun, Bella. Aku jamin itu!”
Bella menggeleng cepat. “Aku tidak butuh jaminanmu! Aku hanya ingin kau keluar dari hidupku sekarang juga!”
Septimus melangkah maju, suaranya meninggi. “Bella, jangan lakukan ini padaku!”
“Aku bilang keluar!” teriak Bella, matanya basah namun penuh ketegasan.
Tubuh Septimus melemah. Ia menelan ludah, lalu berlutut di hadapan Bella. Tangannya meraih ujung gaunnya, wajahnya hancur oleh rasa takut.
“Aku mohon, Bella. Jangan tinggalkan aku. Aku akan melakukan apa pun yang kau mau. Jangan buang aku seperti ini!”
Bella berdiri tegak, menatap pria yang bersimpuh di kakinya. Dulu pemandangan itu mungkin membuatnya luluh. Kini yang ia rasakan hanyalah jijik.
“Bangun, Septimus. Kalau kau ingin membuktikan sesuatu, lakukan tanpa mengorbankanku. Sampai saat itu tiba, keluar dari sini!”
Septimus bangkit dari lantai dengan wajah penuh emosi. Tangannya langsung meraih lengan Bella, menarik tubuhnya dengan kasar hingga Bella terhuyung. Ia mendekat tanpa memberi kesempatan, bibirnya menekan bibir Bella secara paksa.
“Lepaskan aku! Jangan, Septimus!” jerit Bella sambil mendorong dadanya sekuat tenaga. Ia berusaha melepaskan diri, namun genggaman pria itu semakin kuat.
Bella menatapnya dengan mata berkaca, suaranya bergetar oleh ketakutan dan amarah. “Hentikan, Septimus! Jangan sentuh aku lagi!”
Septimus tertawa getir, tawanya pahit dan menakutkan. “Apa katamu? Jangan sentuh? Kita sudah melakukannya bertahun-tahun, Sayang. Kau pikir aku akan percaya kata-kata manismu itu? Kita tahu betapa panasnya hubungan terlarang ini. Kita lakukan di belakang Aurelia dengan apik, dan kita menikmatinya. Ayolah, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja, Bella. Kau jauh lebih berarti dibandingkan Aurelia.”
Wajah Bella menegang, hatinya seperti ditikam. Kata-kata Septimus yang dulu pernah membuatnya tersanjung kini terasa menjijikkan. Ia menggertakkan gigi, menahan air mata yang jatuh. Andai saja aku tidak menolak Damian. Andai saja aku tahu Damian bukan pria cacat, aku tidak akan pernah jatuh ke pelukan Septimus, batinnya getir.
Namun Septimus semakin brutal. Ia mendorong Bella hingga terjatuh di sofa, tubuhnya menindih dengan paksa. Tangannya menahan pergelangan Bella di atas kepala.
“Sayang, jangan berontak!” suara Septimus berat, penuh obsesi. “Kau milikku. Selalu milikku.”
Bella berteriak, meronta dengan sekuat tenaga. “Lepaskan aku, Septimus! Kau gila!”
**
Aurelia berjalan ke perusahaan, ingin memeriksa apakah Septimus ada di ruangannya. Saat dia tiba di kantor, dia melihat bahwa Septimus tidak ada di sana. “Hari ini dia tidak ke kantor?” gumam Aurelia, sambil memeriksa meja kerja Septimus.
Tiba-tiba, dia melihat sebuah berkas yang terselip di bawah tumpukan kertas. Aurelia mengambil berkas itu dan membukanya. Saat dia melihat isi berkas, dia tercengang. “Apa ini?” bisik Aurelia, mata dia melebar karena shock.
Berkas itu berisi rencana untuk memindahkan aset perusahaan atas nama Aurelia menjadi milik Septimus. Aurelia merasa seperti ditampar, dia tidak percaya bahwa Septimus bisa begitu licik. “Sejak pertemuan pertama... semua ini sudah direncanakan?” Aurelia bertanya pada dirinya sendiri, rasa sakit hati dan kemarahan mulai menguasai dirinya.
Aurelia merasa seperti dunia dia runtuh, dia tidak percaya bahwa orang yang dia percayai bisa melakukan hal seperti itu. “Tidak ada cinta secuil pun ... semua murni ingin memanfaatkan aku,” gumam Aurelia, air mata mulai menggenang di matanya.
Dengan tekad yang membara, Aurelia memutuskan untuk menerima tawaran Damian. “Aku akan menghancurkanmu, Septimus,” bisik Aurelia, sambil menutup berkas itu dengan keras.
Aurelia tengah meremas kertas itu dengan keras, rasa marah dan sakit hati masih membara di dalam dirinya. Tiba-tiba, pintu terbuka dan Aurelia panik, tapi dia cepat mengendalikan dirinya. Dia meletakkan kertas itu di dalam laci seperti semula, berusaha untuk tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia baru saja menemukan sesuatu yang mengejutkan.
Septimus masuk ke dalam ruangan, terkejut melihat Aurelia berdiri di dekat mejanya. “Aurelia, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Septimus, dengan senyum yang biasa-biasa saja.
Aurelia berusaha untuk tetap tenang, dia tidak ingin Septimus curiga bahwa dia sudah mengetahui tentang rencana liciknya. “Aku ingin bertemu denganmu, tapi aku kira kau tidak di kantor,” kata Aurelia, dengan suara yang biasa-biasa saja.
Septimus tersenyum dan mendekati Aurelia. “Aku ada di sini sekarang, apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Septimus, dengan nada yang sedikit menggoda. “Apa kau menyesal karena kau nyaris menghancurkan momenku kemarin? Baiklah, Aurelia, aku maafkan, kita bisa mulai dari awal.”
Aurelia merasa muak dengan kata-kata Septimus, tapi dia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa marahnya. Dia tersenyum dan berkata.
“Mulai besok, aku akan mengambil alih kembali perusahaan. Jadi, bersiaplah.”
Dia menatap Septimus dengan mata yang tajam, seolah-olah menantang Septimus untuk mencoba menghentikannya.
“Mungkin ini waktunya aku menjalankan keinginan mendiang kakekku.”
Septimus terkejut dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Aurelia. “Apa maksudmu?” tanya Septimus, dengan nada yang sedikit ketakutan.