Ranjang Yang Membara 🔞

1285 Kata
Napas mereka masih terengah ketika bibir akhirnya terlepas. d**a Aurelia naik-turun cepat, bibirnya basah, matanya berkilat seperti baru saja terseret ke dalam pusaran tak terduga. Damian menatapnya lekat, pandangannya gelap dan mendominasi. “Rasanya manis sekali,” bisik Damian, suaranya rendah dan serak. “Bibir ini… lidahmu… kau diciptakan untuk membuat pria kehilangan akal.” Wajah Aurelia memanas, namun bukan karena malu. Tubuhnya berdesir, jantungnya berdegup keras. Kata-kata kotor itu anehnya tidak membuatnya jijik. Justru semakin menusuk, semakin membuat aliran panas turun ke sela pahanya. Ia bisa merasakan kelembaban yang memalukan, tubuhnya bereaksi tanpa bisa dikendalikan. Damian tersenyum tipis, melihat setiap perubahan kecil pada wajah Aurelia. “Kau tahu, aku bisa merasakan gairahmu. Kau terbakar sekarang, Aurelia. Kau tidak bisa menyembunyikannya dariku.” Aurelia menelan ludah, ingin menyangkal, tapi kata-kata itu benar-benar menelanjangi dirinya. Damian meraih map hitam di meja, mengetuknya sekali. “Ingat, aku sudah menuliskan jelas dalam perjanjian ini. Aku tidak akan menyentuhmu tanpa persetujuanmu. Kau yang menentukan kapan aku boleh. Kau yang memutuskan sejauh mana aku masuk ke dalam hidupmu.” Ia mencondongkan tubuh, wajahnya hanya sejengkal dari Aurelia. “Tapi satu hal yang perlu kau ingat. Kau bebas menyentuhku kapan pun kau mau. Aku tidak akan menolak. Tidak pernah.” Suara itu menekan jantung Aurelia, membuat tubuhnya kembali gemetar. Ia sadar kontrak ini tidak sekadar tulisan, tapi jerat yang bisa membuatnya hancur sekaligus merasakan hidup. Damian tiba-tiba berdiri, tangannya bergerak ke kancing jas lalu membukanya satu per satu. Suaranya tenang, seolah tanpa maksud apa pun. “Ruang ini terasa agak gerah,” katanya sambil melepas jas dan membuka kemejanya. Padahal pendingin ruangan berhembus normal, dinginnya stabil. Aurelia menelan ludah, matanya tak bisa mengalihkan pandangan. d**a bidang Damian terlihat jelas, ototnya tegas, garis perutnya tercetak sempurna. Tubuhnya tampak gagah, berkelas, dan memabukkan hanya dengan sekali tatap. Hatinya berdesir kencang, tubuhnya panas meski udara dingin menyelimuti ruangan. Ingatannya sempat melayang pada Septimus, pria yang selama ini dielu-elukan banyak orang. Namun kini, melihat Damian berdiri di depannya, perbandingan itu terasa memalukan. Septimus bahkan tidak seujung kuku Damian. Aurelia menggigit bibir bawahnya, dadanya berdebar keras. Untuk pertama kalinya, ia merasa tubuh pria yang berdiri di depannya benar-benar menggiurkan, membuatnya sadar betapa jauh perbedaan antara pria busuk di masa lalunya dan sosok di depannya sekarang. Damian tersenyum samar, menangkap setiap reaksi Aurelia. “Apa yang kau lihat membuatmu sulit bernapas, hm?” suaranya rendah, terdengar seperti tantangan sekaligus godaan. Aurelia menggenggam erat tangannya sendiri di pangkuan, berusaha sekeras mungkin menahan gejolak aneh yang mulai melanda tubuhnya. Matanya menatap lurus, namun pandangan itu terus saja kembali ke d**a bidang Damian, ke otot yang bergerak setiap kali ia bernapas. Damian tertawa pendek, suaranya berat dan menggetarkan ruangan. “Kau menahan diri terlalu keras, Aurelia. Padahal tubuhmu sudah berteriak ingin menyentuhku.” Ia mendekat, jaraknya begitu dekat hingga Aurelia bisa mencium aroma maskulinnya yang pekat. Aurelia menegakkan bahu, mencoba menjaga kewibawaan. “Aku tidak—” Damian langsung memotong, suaranya rendah dan vulgar. “Kau basah di sela pahamu hanya karena aku melepas bajuku, kan? Jangan pura-pura suci di depanku. Aku bisa membuatmu gila hanya dengan kata-kata.” Aurelia membeku, wajahnya panas, napasnya tersengal. Kata-kata itu menusuk masuk, menelanjangi isi pikirannya yang paling dalam. Damian menunduk, menatap tajam ke arah matanya. “Sentuh aku kalau kau mau. Remas aku, gores aku, bahkan lecehkan aku sekalipun. Aku rela. Karena aku tahu, setiap kali jarimu menempel di tubuhku, kau akan merasa hidup.” Aurelia menggertakkan giginya, berusaha menahan diri, tapi darahnya mendidih. Detak jantungnya tak terkendali. Damian menunduk sedikit lebih dekat, bibirnya nyaris menyentuh telinga Aurelia, lalu berbisik kotor, “Kau ingin tahu rasanya mengendalikan tubuh pria sekuat aku? Coba saja. Aku tidak akan melawan. Aku akan menyerahkan diriku padamu.” Aurelia tak sanggup lagi. Nafasnya berat, dadanya naik turun seperti hendak pecah. Semua kata-kata kotor Damian, tatapan matanya, tubuh gagah yang sengaja dipamerkan, membuat pertahanannya runtuh seketika. Tanpa aba-aba, ia menubruk Damian dan menghantam bibir pria itu dengan ciuman liar. Bibirnya panas, basah, penuh nafsu yang selama ini ia pendam. Damian menyambutnya, lidahnya menelusup, membuat tubuh Aurelia bergetar hebat. Tangan Aurelia naik ke d**a bidang Damian, meremas otot keras itu seolah ingin memastikan semua ini nyata. Jemarinya menelusuri kulit panas pria itu, lalu kukunya mencakar tipis, meninggalkan garis merah samar yang membuat Damian mengerang rendah. “Aurelia…” Damian mendesah, suaranya serak, penuh gairah. Aurelia tak peduli. Ia menggigit leher Damian dengan kasar, asal-asalan, meninggalkan bekas merah di kulit pria itu. Nafasnya liar, tubuhnya gemetar oleh gelombang gairah yang tak bisa ia bendung lagi. Ia mencium, menggigit, bahkan menjilat dengan gerakan tak teratur, seperti binatang yang akhirnya menemukan mangsanya. Damian meremas pinggang Aurelia, menariknya lebih dekat. “Ganas sekali kau … persis seperti yang kubayangkan,” bisiknya di telinga, membuat tubuh Aurelia semakin panas. Damian menatap Aurelia dengan sorot yang tak lagi menyembunyikan nafsunya. Tatapannya menjelajahi setiap lekuk tubuh wanita itu, membuat Aurelia tersentak oleh panas yang merayap di kulitnya. Bibir Damian mendekat ke telinganya, suaranya berat dan dalam. “Kau menyadarinya, Aurelia? Setiap inci tubuhmu membuatku menginginkanmu lebih dari siapa pun. Kau gemetar hanya karena kata-kataku. Kau tahu betapa itu menggairahkan?” Aurelia mendesah pelan, tubuhnya seakan kehilangan kendali. Tangannya refleks meraih d**a Damian, merasakan keras dan padatnya otot pria itu. Damian terkekeh rendah, matanya berkilat penuh gairah. “Septimus bodoh karena menyebutmu tidak menarik. Bagiku, kau adalah racun paling manis. Lihat dirimu sekarang, bibirmu bergetar, napasmu tercekat, matamu penuh api. Kau terlalu berharga untuk disia-siakan oleh lelaki sepertinya.” Aurelia memejamkan mata, desahannya pecah di antara bibir yang bergetar. Ia menggigit bibir Damian dengan berani, seakan tak kuasa menahan gelora yang dipancing oleh setiap kata. Damian menahan dagu Aurelia, suaranya semakin intim namun tajam menusuk. “Aku bisa menghabiskan malam hanya untuk memuja tubuhmu. Kau bukan boneka dingin, kau adalah ratu yang haus akan api. Dan aku akan menyalakan api itu sampai kau terbakar.” Tubuh Aurelia bergetar hebat. Tangannya tak lagi tenang, ia meremas bahu Damian, bibirnya menelusuri leher pria itu, menggigit dengan ganas. Damian mengerang rendah, suara itu membuat Aurelia makin hanyut. “Desahanmu indah sekali,” bisik Damian dengan nada rendah yang memabukkan. “Setiap suara darimu adalah pengakuan betapa kau menginginkanku. Kau tidak akan bisa berhenti, Aurelia. Kau terlahir untuk dipuja, untuk dimanjakan, dan aku akan melakukannya dengan cara yang tak pernah kau bayangkan.” Aurelia hampir menangis oleh derasnya hasrat yang menguasainya. Tubuhnya bergetar, dadanya naik turun, dan ia merasakan bagaimana kata-kata Damian menusuk sampai ke pusat gairahnya. ** Aurelia terbaring lemah di ranjang, tubuhnya masih bergetar, napasnya cepat dan tersengal. Damian memeluknya erat, lengan kokohnya menahan seakan ia tidak akan pernah membiarkan Aurelia pergi. Tatapan Damian tajam, menelusuri wajah Aurelia yang memerah. Ia mengusap pelipis Aurelia dengan lembut. “Kau tidak perlu takut lagi. Malam ini kau membuktikan dirimu jauh lebih hidup dari yang pernah mereka katakan.” Aurelia menatapnya dengan mata melebar. Kata-kata itu terdengar terlalu tepat, seakan Damian tahu apa yang pernah ia lalui. Damian menunduk dan mengecup dahinya singkat. “Aku tahu rasanya ketika pria yang kau percaya mengkhianatimu, ketika dia membuatmu merasa tidak berharga.” Aurelia menahan napas. Kata-kata itu membuat jantungnya berdegup kencang. Tangannya meremas selimut. Bagaimana Damian bisa berbicara seolah ia pernah melihat masa depannya bersama Septimus? Damian menatapnya lama, senyum samar muncul di bibirnya. “Aku tidak perlu mendengar pengakuanmu. Matamu sudah mengatakan segalanya. Kau pernah dikhianati, kau pernah disakiti, dan itu yang membuatmu kuat malam ini.” Aurelia terdiam, pikirannya berputar cepat. Damian berbicara seperti seseorang yang tahu jauh lebih banyak dari yang terlihat. Kata-katanya terlalu tepat, terlalu menusuk, seakan ia menyimpan rahasia yang sama dengannya. Damian menarik dagu Aurelia agar kembali menatapnya. “Aku akan menepati janjiku. Selama kau bersamaku, kau tidak akan pernah sendirian. Mereka yang menyakitimu akan mendapat balasan setimpal.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN