Malam itu, Aurelia meninggalkan Hotel Imperial dengan langkah ringan tapi hati yang bergejolak. Damian masih terlelap di ranjang suite, sementara dirinya memilih pulang diam-diam. Nafasnya masih terasa berat, namun pikirannya sudah dipenuhi dengan strategi selanjutnya.
Begitu menuruni lobi hotel, langkahnya terhenti. Di depan pintu kaca, ia melihat pemandangan yang tak pernah ia duga. Septimus berdiri tegang, wajahnya merah oleh emosi, sementara Bella menatapnya dengan air mata yang tertahan. Suara keduanya cukup keras untuk terdengar.
“Jangan paksa aku, Septimus. Aku tidak mau melakukan itu,” Bella membentak, nada suaranya bercampur tangis. “Aku tidak akan menggugurkan kandungan ini!”
Aurelia terbelalak. Kandungan? Bella hamil?
Darahnya berdesir. Di balik dinding marmer hotel, ia bersembunyi, tubuhnya menempel rapat. Dadanya naik turun, telinganya menangkap setiap kata.
Septimus meraih pergelangan tangan Bella dengan kasar, wajahnya penuh kegelisahan. “Kau mau kita hancur? Ini bukan waktunya, Bella. Jika orang lain tahu, semua bisa berantakan. Masuk ke dalam, jangan bicara di sini.”
Dengan cepat, ia menarik Bella masuk ke lift. Pintu menutup, meninggalkan kesunyian yang menyesakkan.
Aurelia keluar dari persembunyiannya. Jantungnya berdegup kencang, tapi bukan karena sedih. Bibirnya perlahan melengkung, senyum tipis penuh arti terukir di wajahnya.
Dulu, di masa depan, ia menyaksikan kehancurannya sendiri di tangan Septimus. Dicekik, dikhianati, dibuang. Namun kini, ia melihat kehancuran Septimus dengan mata kepala sendiri. Kehancuran yang datang bukan dari dirinya, melainkan dari ulahnya sendiri bersama Bella.
Air matanya tak jatuh. Tidak ada kesedihan. Hanya kepuasan yang mendesir hangat di dadanya. Aurelia melangkah keluar dari lobi, kepalanya tegak, hatinya berkata tegas.
“Inilah awal kehancuranmu, Septimus. Dan aku akan menikmatinya.”
**
Ponsel Aurelia kembali berdering ketika ia baru saja melangkah keluar dari pelataran Hotel Imperial. Nama yang muncul di layar membuatnya langsung tahu siapa yang berada di seberang. Nyonya Desinta Dorian.
Dengan nada sopan, Aurelia mengangkat telepon.
“Aurelia, Sayang,” suara lembut namun sarat kepura-puraan terdengar. “Mama ingin membicarakan sesuatu yang penting. Pertunanganmu dengan Septimus harus segera dipercepat. Kau tahu kan, Mama hanya ingin yang terbaik untuk kalian berdua.”
Aurelia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam rasa muak yang kembali menyeruak. Di masa depan, saat mendengar kalimat yang sama, dirinya begitu bahagia. Ia merasa diinginkan, merasa dipeluk oleh sebuah keluarga. Ia yang baru saja menangis karena Septimus lupa hari jadi mereka, menerima saran itu tanpa berpikir panjang. Ia bahkan tersenyum sambil mengusap air matanya, berkhayal akan menjadi istri yang dicintai.
Namun kebahagiaan itu hanya fatamorgana. Pada akhirnya ia mendapati kebenaran, Septimus menghabiskan malam itu dengan Bella di hotel yang sama. Itulah malam yang menghancurkan segalanya.
Kini, mendengar kata-kata Nyonya Desinta lagi, Aurelia tak merasakan apa pun selain jijik. Ia tahu pola yang akan terjadi. Jika ia mengangguk, dua bulan setelah pertunangan ibunya Septimus akan mendorong pernikahan. Lalu, hidupnya akan kembali hancur.
Aurelia mengangkat dagunya, meski sang ibu mertua pura-pura berbicara dengan nada manis. “Mama, aku menghargai perhatianmu,” ucapnya tenang. “Tapi aku belum membuat keputusan apa pun. Ada banyak hal yang harus kupikirkan terlebih dahulu.”
“Aurelia, jangan menunda lagi,” suara Nyonya Desinta terdengar lebih menekan. “Septimus sangat menyayangimu. Mama ingin melihat kalian segera resmi menjadi keluarga. Semakin cepat, semakin baik.”
Aurelia tersenyum tipis, senyum yang penuh arti namun tak bisa terbaca dari seberang. “Mama, aku paham keinginanmu. Tapi aku juga tahu kapan waktunya tepat. Aku tidak terburu-buru. Aku akan memutuskan dengan caraku sendiri.”
Ia menutup panggilan dengan elegan, jemarinya mengepal di sisi tubuh. Di dalam hati, Aurelia berjanji, kali ini ia tidak akan lagi masuk ke dalam perangkap manis keluarga Dorian. Tidak ada pertunangan manis yang berujung kematian, tidak ada pesta pernikahan yang membuatnya jadi boneka.
Yang ada hanyalah permainan dendam. Aurelia akan membalikkan semua skenario. Septimus, Bella, bahkan nyonya Desinta, akan terseret ke dalam sumur yang ia gali.
Dan kali ini, Aurelia lah yang akan berdiri di atas kehancuran mereka.
**
Saat Aurelia hendak masuk ke apartemen miliknya, sosok yang sudah sangat ia kenal lebih dulu menghadang langkahnya. Nyonya Desinta. Kejadian itu persis seperti yang pernah ia alami di masa depan. Wanita paruh baya itu memasang senyum lebar, wajahnya seolah penuh kerinduan, lalu membuka tangan lebar-lebar.
“Calon menantu Mama akhirnya pulang juga. Sini, biar Mama peluk,” ucap Desinta penuh semangat.
Namun Aurelia bergeser sedikit, menolak pelukan itu dengan sikap anggun tapi tegas. “Maaf, kenapa Anda di sini?”
Wajah Desinta sontak menegang. Padahal tadi di telepon Aurelia masih terdengar ramah, tapi kini sikapnya dingin dan menjaga jarak. Ia buru-buru menutupi keterkejutannya dengan tawa kecil yang dipaksakan.
“Mama rindu padamu, Aurelia. Lama sekali kita tidak bertemu. Mama sengaja datang untuk memastikan semua persiapan pertunangan lancar. Ada beberapa keperluan yang perlu segera dibayar, Mama pikir kau bisa membantu melunasinya.”
Aurelia hanya tersenyum tipis. Ingatannya melayang pada masa depan, ketika ia dengan polos mengangguk dan menyerahkan uang tanpa banyak tanya. Saat itu ia merasa dihargai, merasa diterima. Kini semua itu hanya terlihat menjijikkan.
Ia menatap tajam, lalu bergumam lirih namun cukup jelas, “Apa harus kupercepat saja pertunjukannya? Rupanya nyonya Desinta yang terhormat memang tak sabaran.”
Desinta sempat kebingungan. “Maksudmu, Aurelia?”
Aurelia melangkah lebih dekat, sorot matanya berkilat. “Barusan aku melihat sesuatu di Hotel Imperial. Septimus bersama sekretarisnya. Mereka masuk ke kamar yang sama. Jadi, apa yang mereka lakukan di dalam? Tidur bersama?”
Mata Desinta terbelalak. Wajahnya pucat seketika, jemarinya bergetar. Gugup jelas tergambar, seakan tidak menyangka Aurelia akan berkata seberani itu.
Aurelia tersenyum dingin, lalu melangkah melewati wanita itu. Tanpa menoleh, suaranya terdengar lantang dan mantap.
“Nyonya Desinta, hentikan semua sandiwara ini. Besok saya akan umumkan pembatalan pertunangan dengan Septimus. Anda pasti tahu, di malam penghargaan saya sudah meninggalkannya karena dia berselingkuh dengan Bella. Saat itu dia masih berkeras membuktikan dirinya tidak salah. Tapi malam ini, saya lihat sendiri dengan mata kepala saya. Jadi jangan harap saya akan diam lagi.”
Desinta yang tadi sempat membeku langsung tersentak. Ia meraih lengan Aurelia, suaranya panik, hampir memohon.
“Aurelia, jangan salah paham, Sayang. Itu tidak seperti yang kau lihat. Mama mohon, jangan batalkan pertunangan ini. Kau harus percaya pada Septimus.”
Aurelia menoleh singkat, tatapannya tajam menusuk bagai pisau. “Kepercayaan saya sudah habis, Nyonya. Dan Anda tahu, putra Anda sendiri yang menghancurkannya.”
Dengan tenang Aurelia melepaskan diri, melangkah masuk ke lift. Desinta terdiam di lobi, wajahnya hancur oleh rasa panik, sementara Aurelia tersenyum tipis, puas karena permainan balas dendamnya baru saja dimulai.
**
Damian terbangun ketika matahari sudah menembus tirai tipis kamar Hotel Imperial. Ia mengulurkan tangan ke sisi ranjang, namun yang ditemuinya hanyalah dinginnya seprai yang kosong. Sepasang alisnya terangkat, senyum samar tersungging di bibirnya. Aurelia pergi.
Di atas meja kecil di samping ranjang, secarik kertas terlipat rapi. Damian meraihnya, membaca tulisan tangan Aurelia yang tegas namun lembut.
“Aku menikmati malam ini, Damian. Tapi aku harus pergi lebih dulu, ada urusan yang tak bisa kutunda. Jangan khawatir, kita akan bertemu lagi.”
Damian menatap kertas itu cukup lama. Bibirnya membentuk senyum puas, seolah kalimat singkat itu sudah cukup menjadi pengakuan bahwa Aurelia telah menyerahkan sesuatu yang tak ternilai. Ia menggenggam kertas itu erat, lalu bangkit dengan tatapan penuh tekad.
Tangannya meraih ponsel di nakas. Begitu tersambung, suara beratnya terdengar tenang namun berisi perintah.
“Persiapkan semuanya. Besok malam, aku akan melamar seorang wanita. Aku ingin semuanya sempurna. Tidak ada penundaan, tidak ada celah. Dia akan menjadi istriku segera.”
Di seberang sana, asistennya terdiam sejenak, kaget, lalu menjawab dengan terbata, “Baik, Tuan. Akan saya persiapkan segera.”
Damian menutup telepon, tatapannya jatuh kembali pada seprai yang masih menyimpan aroma Aurelia. Senyum tipisnya melebar, penuh kepastian. Permainan ini baru dimulai, dan kali ini, dia tidak berniat melepas buruannya.