Begitu pintu rumah terbuka, langkah Nyonya Desinta terdengar berat dan tergesa. Tumit sepatunya menghantam lantai marmer, menggema di ruang tamu yang tenang. Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Dengan rahang menegang, ia menyambar bingkai foto di atas meja lalu menghantamkannya ke lantai. Pecahannya berserakan, suara retakannya memicu amarah yang sudah membara.
Nafasnya terengah, matanya liar. Tangannya lalu meraih vas bunga, dilemparkannya ke dinding hingga hancur berantakan. Hiasan kristal yang dulu ia banggakan pun tak luput dari amukan, jatuh satu per satu ketika ia menyapunya dengan tangan. Ruang tamu yang biasanya tertata rapi kini berubah jadi medan kekacauan.
“Bagaimana mungkin dia berani mempermainkan aku seperti ini!” geramnya, tubuhnya bergetar.
Tepat saat itu, suara langkah terdengar dari arah dalam. Septimus muncul dari ruang tamu samping, mengenakan kemeja yang sebagian kancingnya terbuka. Ia terdiam di ambang pintu, matanya melebar melihat pemandangan di hadapannya. Kursi bergeser, pecahan kaca berserakan, dan ibunya berdiri dengan wajah penuh amarah.
“Ma? Ada apa ini? Kenapa rumah berantakan begini?” suara Septimus terdengar gugup, kaget sekaligus bingung.
Nyonya Desinta menoleh cepat, matanya melotot. Ia menudingkan jari tajam ke arah putranya. “Kenapa kau sangat bodoh, Septimus!”
Septimus terkejut, tubuhnya kaku. “Tenanglah, Ma. Ada apa sebenarnya?” tanyanya, meski suaranya goyah.
“Aurelia bilang kau menghamili sekretarismu!” bentak Nyonya Desinta, nadanya nyaring seperti cambuk yang menghantam udara.
Wajah Septimus seketika pucat, napasnya tercekat. “Apa? Aurelia… Aurelia bilang begitu?”
Nyonya Desinta menghentakkan kakinya, tubuhnya bergetar karena marah. “Kau memang anak bodoh! Selangkah lagi kita akan dapatkan perusahaan Hartman, dan kau malah sibuk dengan nafsumu! Apa sekretarismu itu lebih hebat dari Aurelia? Lebih berharga dari perusahaan yang hampir jadi milik kita?”
Septimus menggeleng panik, suaranya terbata. “Ma, dengarkan aku dulu. Aurelia salah paham. Aku—”
“Diam!” potong Nyonya Desinta tajam. “Aurelia sudah bilang besok dia akan umumkan pembatalan pertunangan. Besok, Septimus! Kau tahu apa artinya itu? Semua rencana kita runtuh! Semua yang sudah kuatur sia-sia karena kebodohanmu!”
Septimus berusaha maju, tapi Nyonya Desinta menepisnya dengan kasar. “Aku tidak mau dengar alasanmu lagi. Kau harus lakukan sesuatu, malam ini juga. Besok Aurelia tidak boleh membatalkan pertunangan. Apapun caranya, dia harus tetap jadi milikmu. Kau dengar aku, Septimus? Kau harus!”
Septimus terdiam, wajahnya menegang. Rahangnya mengeras, matanya merah karena tekanan. Perlahan ia mengangguk, suara lirihnya nyaris tak terdengar, tapi penuh tekad. “Aku akan lakukan sesuatu, Ma.”
Nyonya Desinta mendekat, matanya menusuk seperti belati. “Ingat baik-baik, ini bukan sekadar harus. Ini satu-satunya jalan agar kita tidak hancur.”
**
Hari itu, gedung pusat perusahaan Hartman berdiri megah dengan cahaya pagi memantulkan kaca-kaca jendelanya. Para karyawan berdatangan seperti biasa, tapi suasana di lantai eksekutif berbeda. Semua orang tahu, hari ini adalah awal dari sesuatu yang baru.
Aurelia Selene Hartman melangkah masuk dengan langkah mantap. Penampilannya anggun, setelan formal berwarna gelap membalut tubuhnya, rambutnya tertata rapi, sorot matanya dingin namun memukau. Para staf segera menunduk memberi salam hormat, beberapa bahkan saling berbisik, seakan tak percaya pewaris utama keluarga Hartman akhirnya benar-benar turun tangan.
Di masa depan, Aurelia ingat jelas bagaimana hari ini harusnya berbeda. Seharusnya ia menyerahkan kendali perusahaan kepada Septimus sebagai hadiah pertunangan mereka. Seharusnya ia duduk di samping pria itu, tersenyum polos tanpa sadar bahwa ia hanya sedang menyerahkan seluruh hidupnya pada pengkhianat. Namun tidak kali ini. Aurelia kembali, membawa dendam yang membara. Kini, ia sendiri yang akan duduk di tahta itu, dan Septimus akan dipaksa merasakan luka yang sama seperti yang pernah ia derita.
Lift eksekutif berbunyi lembut ketika pintunya terbuka. Aurelia melangkah keluar, menuju ruangan yang dulu ia jarang masuki. Papan akrilik yang terpasang di depan pintu kini sudah berganti. Huruf timbul berwarna perak berkilau menuliskan dengan jelas. Aurelia Selene Hartman – Chief Executive Officer.
Bukan lagi nama Septimus Dorian.
Aurelia menyentuh sebentar papan itu dengan jemarinya lalu tersenyum dingin. Ia masuk ke ruangan, duduk di kursi eksekutif besar yang selama ini ditempati Septimus. Ruangan itu kini miliknya sepenuhnya.
Tak lama kemudian, pintu terbuka keras. Septimus masuk dengan wajah penuh percaya diri, seakan ingin menantang ucapan Aurelia sebelumnya. Namun langkahnya terhenti begitu melihat pemandangan di hadapannya.
Aurelia sudah duduk di kursinya. Tangannya bertaut di atas meja, wajahnya tenang, sorot matanya menusuk. Dan papan nama akrilik di atas meja itu memperlihatkan kenyataan pahit. Namanya sudah tidak ada lagi.
Suara Septimus tercekat. Matanya membesar. Ia melangkah perlahan, seakan sulit mempercayai. “Apa ini. Kau benar-benar mengambil alih?”
Aurelia mengangkat dagu. Bibirnya membentuk senyum tipis. “Kau pikir aku hanya menggertak?”
Septimus masih berdiri kaku di tengah ruangan, matanya tidak lepas dari papan nama di meja eksekutif. Ia berusaha menelan kenyataan pahit, namun suaranya tetap bergetar. “Kau tidak bisa melakukan ini, Aurelia. Perusahaan ini—”
Aurelia menyela dengan tenang, nada bicaranya penuh wibawa. “Perusahaan ini milik keluarga Hartman. Aku pewaris sah, Septimus. Aku hanya mengambil kembali apa yang seharusnya sudah menjadi milikku sejak awal.”
Tepat saat itu, pintu diketuk pelan sebelum terbuka. Seorang wanita muda masuk dengan langkah sigap. Rambutnya terikat rapi, kemeja putih yang dipadukan dengan rok pensil hitam membuatnya tampak profesional. Ia menunduk hormat. “Nona Aurelia, rapat internal akan segera dimulai. Semua dewan direksi sudah berkumpul.”
Aurelia berdiri anggun dari kursinya. “Terima kasih, Gaby.” Ia kemudian menoleh pada Septimus yang masih terperangah. Senyum tipis terbentuk di wajahnya. “Ayo ikut. Kau juga harus tahu apa yang akan terjadi dengan perusahaan Hartman sebentar lagi.”
Septimus spontan melangkah maju, tangannya terulur hendak meraih pergelangan Aurelia, tapi gerakan itu segera terhenti. Gaby sigap mencekal tangan Septimus sebelum sempat menyentuh Aurelia. Sorot matanya tajam, cengkeramannya kuat.
Septimus menoleh, wajahnya terkejut. “Siapa kau berani—”
Aurelia mengangkat tangan, memberi isyarat pada Gaby untuk tenang. Senyumnya tetap elegan, suaranya datar namun penuh kuasa. “Tidak apa-apa, Gaby. Dia tidak akan berani melukaiku terang-terangan.”
Gaby melepas cekalannya perlahan, tapi matanya tetap awas menatap Septimus, seakan setiap detiknya siap melindungi Aurelia.
Septimus memandang ke arah Aurelia dengan campuran marah dan bingung. Untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya bukan lagi pusat kendali. Sementara Aurelia, dengan penuh wibawa, melangkah menuju ruang rapat, seolah sudah benar-benar mengambil alih panggung permainan.
Septimus menarik napas panjang, mencoba menahan amarah yang mendidih dalam dirinya. Namun akhirnya suaranya pecah lantang di dalam ruangan. “Siapa dia? Kenapa dia ikut campur di sini?”
Aurelia berhenti melangkah, tubuhnya berputar perlahan. Senyumnya tipis namun menusuk, tatapannya tenang tetapi penuh kuasa. Ia menoleh sekilas pada Gaby, lalu kembali menatap Septimus.
“Dia adalah Gaby, asisten pribadiku. Tuan Damian yang mengirimnya untuk membantuku, sekaligus menjagaku.” Suaranya tegas, setiap kata terdengar seperti tamparan halus yang menyakitkan. “Aku tidak lagi berjalan sendirian, Septimus.”
Septimus memucat. Nama Damian meluncur begitu saja dari bibir Aurelia, membuat darahnya berdesir antara panik dan cemburu. Sementara Gaby berdiri tegap di samping Aurelia, tatapan matanya dingin, seolah siap menghabisi siapa pun yang berani macam-macam.
Aurelia melanjutkan dengan nada elegan, seolah kalimatnya adalah vonis. “Jika kau merasa terusik, anggap saja itu peringatan. Aku sekarang memiliki sekutu yang jauh lebih berharga daripada sekadar calon tunangan yang penuh kebohongan.”
Dengan langkah anggun, Aurelia kembali berjalan menuju pintu, Gaby mengikutinya dengan sigap. Septimus hanya bisa berdiri terpaku, rahangnya mengeras, matanya memandang kepergian Aurelia dengan campuran benci dan takut.
Ruang rapat perusahaan Hartman terasa tegang. Aurelia duduk anggun di kursi pimpinannya, menatap semua orang dengan ketenangan yang menusuk. Para pemegang saham terdiam, hanya suara kertas dibalik dan denting pena terdengar.
Lalu Septimus tiba-tiba bangkit, tangannya menghantam meja hingga membuat beberapa orang terlonjak. “Saya keberatan!” serunya. “Keputusan sepenting ini tidak bisa diambil sepihak. Aurelia tidak pernah berdiskusi dengan saya sebelumnya. Apakah pantas pewaris muda yang masih terbawa emosi langsung duduk di kursi ini tanpa pertimbangan matang?”
Beberapa pemegang saham mulai berbisik, suasana kacau. Septimus memanfaatkan momen itu, mengangkat dagunya tinggi. “Saya sudah lama mengurus perusahaan ini. Tanpa saya, Hartman tidak akan sebesar sekarang. Saya berhak dilibatkan dalam setiap keputusan penting.”
Aurelia hanya menatapnya sambil menyandarkan tubuh, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. Dia tahu semua kata-kata Septimus hanyalah topeng panik.
Saat suasana rapat semakin panas, pintu terbuka. Langkah sepatu terdengar mantap memasuki ruangan. Damian Corvin Constantine masuk dengan wibawa yang membuat semua kepala otomatis menoleh. Di belakangnya, seorang pria tinggi tegap menyusul, wajahnya tenang, membawa map hitam di tangan.
Pria itu berdiri tegak lalu sedikit membungkuk. “Izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Ricko, asisten pribadi Tuan Damian.” Suaranya jelas, berwibawa, membuat semua orang kembali diam.
Ricko melanjutkan dengan tenang. “Kami mohon maaf telah menyela rapat ini. Kehadiran Tuan Damian bukan tanpa alasan. Beliau hadir sebagai salah satu pemegang saham terbesar kedua dan ingin menyaksikan langsung arah perusahaan Hartman.”
Bisik-bisik kembali pecah. Para pemegang saham saling melirik, terkejut dengan fakta itu. Wajah Septimus menegang, jemarinya mengepal.
Ricko menghela napas singkat sebelum menyampaikan kalimat berikutnya. “Selain urusan bisnis, Tuan Damian juga memiliki kepentingan pribadi. Dan beliau ingin menyampaikannya di hadapan Anda semua.”
Damian melangkah maju, berhenti tepat di samping Aurelia. Ia menatap seluruh ruangan dengan senyum tipis yang penuh percaya diri.
Ricko kembali bersuara, suaranya mantap menusuk keheningan. “Tuan Damian bermaksud melamar Nona muda Aurelia Selene Hartman sebagai calon istrinya.”
Suasana ruang rapat pecah seketika. Beberapa pemegang saham ternganga, yang lain menahan napas, sementara wajah Septimus memucat.
Aurelia sempat terdiam kaku, matanya melebar tak percaya. Bibirnya terbuka tipis, suara bergumam lolos tanpa sadar. “Melamarku? Apa maksudnya ini…”
Dadanya berdebar keras, napasnya tercekat. Ia tahu Damian pria penuh kejutan, tetapi tidak pernah membayangkan akan mendengar pengakuan itu di hadapan semua orang, di ruang rapat yang penuh pemegang saham, bahkan di depan Septimus.
Damian melirik ke arahnya dengan senyum tipis, seolah sengaja menikmati keterkejutan Aurelia.