Seminggu di Bima Cakra Group telah memberikan Nadine cukup waktu untuk memahami satu hal penting: Zayn Rayden Natamanggala tidak pernah benar-benar mengikuti aturan.
Sejak pertemuan pertama mereka, pria itu memang tidak lagi terang-terangan menolak rencana Nadine. Namun, bukan berarti ia benar-benar bekerja sama.
Sebagai CEO, Zayn tetap menjalankan hidupnya seperti biasa—datang ke kantor sesukanya, meninggalkan rapat tanpa peringatan, dan tetap terlihat di berbagai acara sosial dengan wanita-wanita cantik di sisinya.
Namun, ada satu perbedaan mencolok.
Kini, setiap kali Zayn melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan skandal baru, ia pasti akan menemui Nadine lebih dulu, seolah ingin melihat bagaimana reaksinya.
Dan itu terjadi pagi ini.
Nadine sedang berada di ruang rapat, membahas strategi pemasaran baru dengan timnya, ketika seorang staf mendekatinya dan membisikkan sesuatu.
“Pak Zayn ingin menemui Anda di ruangannya sekarang.”
Nadine menghela napas, sudah bisa menebak bahwa ini pasti ada hubungannya dengan berita baru yang muncul pagi ini.
Ia mengucapkan terima kasih pada stafnya sebelum berdiri dan berjalan keluar ruangan. Begitu sampai di depan ruang CEO, ia mengetuk pintu sekali sebelum masuk.
Zayn sedang duduk santai di belakang meja, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, dasi yang longgar, dan senyum malas yang sangat dikenalnya.
Di mejanya, sebuah koran terbuka dengan headline besar yang langsung menarik perhatian Nadine:
“CEO Bima Cakra Group Tertangkap Kamera Bersama Aktris Terkenal di Restoran Mewah”
Nadine menatap koran itu selama beberapa detik sebelum mengalihkan pandangannya ke Zayn.
“Jangan katakan bahwa Anda memanggil saya hanya untuk ini.”
Zayn tersenyum kecil, seperti menikmati setiap detik interaksi mereka. “Aku hanya ingin tahu bagaimana pendapatmu.”
Nadine melipat tangan di d**a. “Pendapat saya? Saya pikir Anda ingin membuat pekerjaan saya lebih sulit.”
Zayn mengangkat bahu. “Aku hanya makan malam. Tidak ada yang salah dengan itu, kan?”
Nadine menatapnya tanpa ekspresi. “Kalau Anda makan malam sendirian, tentu tidak ada yang salah. Tapi kalau Anda melakukannya dengan seorang aktris terkenal yang pernah dikabarkan dekat dengan Anda sebelumnya, lalu foto-foto kalian muncul di media dengan cara yang sangat ‘kebetulan’, itu jadi masalah.”
Zayn tertawa kecil. “Jadi menurutmu ini kebetulan yang dirancang?”
Nadine tidak menjawab. Ia tahu Zayn cukup cerdas untuk memahami maksudnya.
Zayn menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatapnya dengan mata penuh godaan. “Aku penasaran, Nadine. Apakah kamu marah karena ini merusak rencana PR-mu, atau karena alasan lain?”
Nadine tidak bereaksi. “Saya tidak punya waktu untuk permainan ini, Zayn.”
Zayn mengangkat alisnya. “Zayn, ya? Kamu sudah mulai santai denganku.”
Nadine mendesah dalam hati. Pria ini benar-benar tidak bisa dibawa serius.
“Kalau Anda tidak berniat membicarakan strategi perbaikan citra, saya akan kembali bekerja,” katanya sambil berbalik menuju pintu.
Namun, sebelum ia sempat menyentuh gagang pintu, Zayn sudah lebih dulu berdiri dan berjalan mendekat, menghentikannya dengan suara rendah yang membuat udara di ruangan sedikit lebih tegang.
“Aku serius ingin tahu, Nadine.”
Nadine berhenti. Ia tidak berbalik, tapi bisa merasakan Zayn berdiri sangat dekat di belakangnya.
“Apakah aku benar-benar masalah sebesar itu bagimu?”
Nadine akhirnya menoleh, menatapnya dengan ekspresi netral. “Anda bukan masalah bagi saya, Zayn. Tapi kebiasaan Anda adalah masalah bagi perusahaan ini.”
Zayn tersenyum kecil, tapi tatapan matanya menunjukkan sesuatu yang lebih dalam. Sebuah peringatan halus bahwa ia tidak akan mudah diatur.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “aku ingin melihat sejauh mana kamu bisa mengubahku.”
Nadine tidak menjawab. Ia hanya memandang pria itu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah keluar.
Satu hal yang ia tahu pasti—Zayn tidak akan berubah begitu saja.
Dan yang lebih berbahaya lagi, pria itu menikmati permainan ini.
***
Beberapa hari kemudian, Nadine harus menghadiri rapat dewan direksi untuk membahas strategi pemasaran terbaru perusahaan.
Ia tiba lebih awal di ruang konferensi, memastikan semua materi presentasi telah siap. Namun, lima menit setelah rapat dimulai, Zayn masih belum datang.
Beberapa anggota dewan mulai berbisik. Salah satu dari mereka, seorang pria tua dengan rambut mulai memutih, menghela napas.
“Ini bukan pertama kalinya Zayn terlambat dalam rapat penting seperti ini,” katanya dengan nada tidak puas.
Nadine tetap tenang. “Saya yakin pak Zayn punya alasan.”
Namun, dalam hati Nadine tahu, Zayn memang selalu begini—datang sesukanya, bertindak seolah semua orang bisa menunggunya.
Tepat saat itu, pintu ruang rapat terbuka.
Semua kepala menoleh saat Zayn masuk dengan langkah santai, mengenakan setelan mahal tapi tanpa dasi, seolah rapat ini hanya sebuah formalitas baginya.
Ia mengambil kursinya di ujung meja, tersenyum kecil. “Maaf, ada urusan mendesak tadi.”
Tidak ada yang berani menegurnya secara langsung, tetapi Nadine bisa merasakan ketidakpuasan di ruangan itu.
Setelah beberapa detik keheningan, Nadine akhirnya berdiri dan mulai mempresentasikan strategi barunya.
“Seperti yang kita tahu, citra publik pak Zayn telah menjadi topik utama di media selama beberapa bulan terakhir. Jika kita ingin mempertahankan kepercayaan investor, kita perlu langkah strategis yang lebih agresif dalam mengubah persepsi publik.”
Ia menampilkan slide pertama—data tentang penurunan kepercayaan investor akibat skandal Zayn.
Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, suara berat Zayn memotongnya.
“Jadi, kamu ingin aku berubah demi mereka?”
Nadine menoleh, mendapati Zayn menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Ia tahu ini adalah ujian. Zayn ingin melihat apakah ia akan tetap pada pendiriannya, atau mundur.
Nadine tetap berdiri tegak. “Saya ingin Anda mempertimbangkan dampak dari tindakan Anda. Bukan hanya pada perusahaan, tapi juga pada orang-orang yang bergantung pada perusahaan ini.”
Sebuah ketegangan mengisi ruangan. Para anggota dewan menunggu reaksi Zayn.
Lalu, tiba-tiba, Zayn tersenyum.
“Baiklah,” katanya santai. “Aku akan mendengarkan rencanamu, Nadine.”
Nadine menatapnya sejenak sebelum melanjutkan presentasinya.
Ia tahu, ini bukan berarti Zayn benar-benar setuju.
Ini hanya babak baru dari permainan tarik-ulur mereka.
Dan ia harus siap untuk menghadapi babak selanjutnya.