Selama dua minggu terakhir, strategi pemasaran yang Nadine rancang mulai berjalan. Kampanye sosial yang menampilkan inovasi Bima Cakra Group dalam dunia teknologi mulai menarik perhatian media. Beberapa berita buruk tentang Zayn berhasil ditekan, dan investor mulai melihat perubahan dalam citra perusahaan.
Namun, meskipun strategi PR mereka mulai menunjukkan hasil, sumber masalah utamanya belum benar-benar berubah—Zayn Rayden Natamanggala tetap menjadi CEO yang sulit dikendalikan.
Hari ini, Nadine menghadiri pertemuan penting dengan beberapa investor besar. Zayn seharusnya hadir untuk memberikan pidato, tetapi seperti biasa, pria itu datang telat dua puluh menit.
Saat akhirnya pintu ruang konferensi terbuka, Zayn berjalan masuk dengan langkah santai, mengenakan setelan mahal tanpa dasi, seolah rapat ini bukan sesuatu yang serius baginya.
Para investor menoleh, beberapa dari mereka jelas tidak senang dengan kehadirannya yang terlambat.
Namun, seperti biasa, Zayn hanya tersenyum menawan dan mengisi kursinya seolah tidak ada yang terjadi.
Nadine harus menahan keinginan untuk menegurnya di depan semua orang. Ia sudah terbiasa dengan sikapnya, tetapi ini mulai melewati batas.
Ketika giliran Zayn untuk berbicara, pria itu bangkit dengan santai, menyisipkan satu tangan ke saku celananya.
“Terima kasih telah meluangkan waktu untuk datang ke sini,” katanya dengan suara rendah yang khas. “Saya tahu beberapa dari Anda mungkin ingin berbicara tentang reputasi saya yang sering muncul di media. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya tidak peduli dengan apa yang mereka katakan.”
Ruangan menjadi hening.
Nadine hampir memejamkan mata. Astaga, Zayn.
Zayn menatap sekeliling, lalu melanjutkan, “Tapi yang saya pedulikan adalah perusahaan ini. Saya yakin Anda semua ada di sini bukan karena ingin membahas kehidupan pribadi saya, tetapi karena Anda percaya pada pertumbuhan bisnis kita. Jadi, mari kita fokus pada hal yang benar-benar penting.”
Beberapa investor tampak lebih tenang, tetapi Nadine tahu pidato ini masih jauh dari sempurna.
Saat rapat selesai, para investor mulai meninggalkan ruangan. Begitu hanya tersisa mereka berdua, Nadine menoleh ke arah Zayn dengan ekspresi datar.
“Kita perlu bicara.”
Zayn menyeringai kecil. “Oke sayang.”
Nadine berjalan keluar dari ruang konferensi dengan langkah cepat, menuju ruangannya sendiri. Begitu Zayn mengikutinya masuk, ia menutup pintu di belakangnya dan berbalik menatap pria itu dengan tajam.
“Apakah Anda tidak bisa berusaha sedikit lebih profesional?”
Zayn menyandarkan tubuhnya ke meja, masih dengan ekspresi santai. “Aku pikir pidatoku cukup bagus.”
“Bagus?” Nadine menatapnya tak percaya. “Anda baru saja mengatakan kepada para investor bahwa Anda tidak peduli dengan citra Anda sendiri. Apa menurut Anda itu akan meningkatkan kepercayaan mereka?”
Zayn mengangkat bahu. “Aku tidak suka berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diriku.”
Nadine menghela napas panjang. “Bukan soal berpura-pura, Zayn. Ini tentang memahami bahwa tindakan Anda mempengaruhi perusahaan, bukan hanya diri Anda sendiri.”
Zayn menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Kamu benar-benar menganggap ini serius, ya?”
“Tentu saja,” jawab Nadine tanpa ragu. “Ini pekerjaan saya.”
Zayn tiba-tiba berdiri tegak dan berjalan mendekatinya. Jarak mereka kini hanya satu langkah. “Dan bagaimana kalau aku mengatakan bahwa aku menikmati melihatmu bekerja keras untuk mengubahku?”
Nadine menatapnya tajam. “Maka saya akan mengatakan bahwa Anda buang-buang waktu saya.”
Zayn tersenyum kecil, tetapi ada sesuatu di matanya yang berbeda kali ini. Sebuah tantangan baru.
Nadine tahu, permainan mereka baru saja naik level.
***
Untuk menyeimbangkan citra buruk Zayn di media, Nadine mengusulkan agar Bima Cakra Group mengadakan acara amal besar. Acara ini akan menunjukkan sisi sosial perusahaan sekaligus memperkenalkan Zayn dalam citra yang lebih positif.
Zayn tentu saja, tidak langsung menyetujuinya.
“Aku harus berdiri di panggung, tersenyum, dan berpura-pura peduli?” katanya saat mereka membahas acara ini di kantornya.
“Bukan berpura-pura,” kata Nadine sabar. “Anda hanya perlu menunjukkan bahwa Anda memiliki sisi lain selain sekadar CEO kaya yang penuh skandal.”
Zayn menghela napas, lalu akhirnya berkata, “Baiklah. Tapi aku punya syarat.”
Nadine mengangkat alis. “Syarat?”
Zayn menyandarkan punggung ke kursinya dengan senyum penuh misteri. “Kamu harus datang sebagai partner-ku di acara itu.”
Nadine menatapnya curiga. “Maksud Anda, sebagai kolega?”
Zayn tersenyum, tetapi sorot matanya berkata lain. “Kamu tahu maksudku, Nadine.”
Nadine menghela napas. “Tidak ada hal pribadi dalam pekerjaan ini, Zayn.”
“Tapi publik enggak perlu tahu itu, kan?”
Nadine berpikir sebentar lalu mengangguk pelan. “Baiklah.” Menghasilkan smirk di bibir Zayn.
Nadine tahu ini bisa menjadi masalah, tetapi pada akhirnya ia setuju. Jika ini bisa membantu acara berjalan lebih sukses, maka ia akan melakukannya.
Namun, ia tidak menyadari bahwa keputusan ini akan membawa konsekuensi yang lebih besar dari yang ia duga.
***
Malam itu, Nadine mengenakan gaun hitam elegan yang membuatnya terlihat lebih anggun dari biasanya.
Kulit putihnya tampak bersinar dan lekukan di pinggang terpampang nyata membuat siapa saja mengarahkan tatap padanya saat melangkah masuk ke venue acara.
Dan saat Zayn berjalan mendekat, mengenakan setelan formal yang sangat rapi dan karismatik, perhatian publik semakin terfokus.
“Kamu terlihat luar biasa,” katanya sambil tersenyum.
Nadine tetap menjaga ekspresi profesionalnya. “Kita di sini untuk bekerja, Zayn.”
Zayn mengangkat bahu. “Tentu saja.”
Sepanjang malam, mereka berdampingan, berbicara dengan tamu-tamu penting, dan menghadapi kamera yang terus mengambil gambar mereka.
Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Saat acara hampir berakhir, seorang reporter dari media mendekati mereka dengan mikrofon.
“Pak Zayn, apakah benar rumor yang mengatakan bahwa Anda dan bu Nadine memiliki hubungan lebih dari sekadar profesional?”
Nadine terkejut, tetapi Zayn tidak terlihat sedikit pun terganggu.
Sebaliknya, ia tersenyum—senyum yang membuat Nadine tahu bahwa pria itu telah merencanakan ini.
Dan kemudian, di depan kamera yang merekam, Zayn meraih tangan Nadine lalu berkata dengan suara tenang, “Aku tidak akan menyangkal bahwa aku tertarik padanya.”
Ruangan terasa membeku. Nadine menahan napas, matanya melebar sedikit.
Dalam beberapa detik, media sudah mendapatkan berita besar baru.
Dan Nadine tahu, ini adalah permainan baru Zayn yang tidak pernah ia duga sebelumnya.